Sunday, November 09, 2008

Obama, Adiknya (Maya Soetoro), Indonesia dan Islam

Satrio Arismunandar wrote:

WAWANCARA MAYA SOETORO-NG
Antara Obama, Indonesia, dan Islam
Rabu, 05 November 2008, 13:33:51 WIB

Laporan: Teguh Santosa

BARACK Obama telah terpilih sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat.

Kemenangan laki-laki kelahiran Hawaii yang pernah menghabiskan empat tahun masa kecilnya di Indonesia itu adalah catatan baru dalam sejarah panjang Amerika Serikat. Inilah kali pertama Amerika Serikat memiliki presiden keturunan Afro-Amerika.

Beberapa waktu lalu saya pernah bertanya kepada Maya Soetoro-Ng, apa arti Indonesia bagi Obama.

Wawancara berlangsung bulan Februari lalu, beberapa saat setelah Obama menang dalam kaukus Partai Demokrat di Hawaii.

Kepada saya, Maya bercerita tentang hubungan Obama, Indonesia dan Islam. Berikut petikannya.

Bagaimana hubungan Anda, Obama, dan ibu?

Keluarga kami sangat informal. Kami senang tertawa, duduk di lantai, bermain di taman, memanjat pohon. Ibu memberikan perhatian besar kepada kami dan ia senang berbicara panjang-panjang.

Pada 1973, kami (kembali) ke Hawaii dan tinggal di Jalan Poke sampai 1976. Ketika ibu kembali ke Indonesia untuk melakukan penelitian, saya ikut dengannya. Sementara Obama tinggal bersama kakek dan neneknya sampai 1979, saat ia lulus dari SMA.

Ketika dipisahkan jarak yang begitu jauh, ibu selalu menulis surat panjang untuk Obama dan Obama juga menuliskan surat panjang untuk Ibu. Tapi, praktis kami tidak pernah berpisah. Kami selalu menghabiskan musim panas bersama. Di masa-masa itu Obama juga beberapa kali kembali ke Indonesia.

Apa yang diwarisi Obama dari sifat ibu?

Banyak. Kebaikan hati, semangat, kemampuan mengenal orang lain dengan latar belakang berbeda, bersimpati, dan berempati. Ibu idealistis sekaligus praktis. Ini juga yang diwarisi Obama. Ibu menyukai bahasa dan pembicaraan, serta cerita dan bercerita.

Saya kira kemampuan Obama merangkul banyak orang dalam kampanyenya karena ia memang menyukai cerita. Ia merangkai cerita-cerita itu dan menemukan bahwa satu cerita mewarnai cerita lain. Ia mengangkat pengalaman hidup individu sebagai pengalaman hidup bersama rakyat AS.

Bagaimana pengalaman Obama di Indonesia dan apakah pengetahuannya tentang negara ini bisa membantu bila ia terpilih sebagai Presiden AS?

Obama mempelajari banyak hal dari Indonesia. Ini adalah tempat pertama ia belajar seni memahami.

Di Indonesia, untuk pertama kali ia belajar bernegosiasi, berteman dengan orang-orang yang berbeda latar belakang. Indonesia adalah tempat pertama ia mempelajari fleksibilitas. Lebih jauh lagi, Indonesia adalah tempat pertama ia memahami kompleksitas dunia.

Obama terakhir kali ke Indonesia pada 1991, saat ia menulis buku Dream From My Father. Ia bilang kepada saya, dalam kunjungan itu ia makin memahami Indonesia dan masyarakatnya.

Apakah Obama masih bisa berbahasa Indonesia?

Oh, ya, bisa sedikit. Setiap kali saya ke Chicago, ia bilang, ‘Eh, Maya, pijit dikit, pijit dikit.’ Lalu, ‘Aduh, kuat tangannya.’ Selebihnya, ia tidak percaya diri untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan orang lain. Dengan saya, ia cukup confident.

Apakah benar nama tengah Obama adalah Hussein?

Benar. Ia adalah Barack Hussein Obama Junior.

Kelihatannya Obama khawatir dirinya dikaitkan dengan Islam…

Faktanya, Obama adalah penganut Kristen. Ia tidak menampik dan tidak khawatir, tapi ia peduli agar semua hal dilaporkan secara akurat. Ia telah menjelaskan secara terbuka hubungannya dengan Islam. Tapi, penjelasan ini telah digunakan untuk menyerang seolah-olah Obama berbohong dan menyembunyikan sesuatu yang rahasia. And it is terrible.

Saya pernah ditanya sebuah media, apa hubungan Anda dengan Islam. Saya katakan bahwa saya bukan penganut Islam, tapi semua keluarga saya adalah orang Islam. Maksudnya adalah semua keluarga saya di Indonesia (dari pihak ayah, Lolo Soetoro).

Mereka menggunakan ini berulangkali untuk menyerang Obama dan mengatakan ia berbohong. ‘Lihat, Barry berbohong. Adiknya, Maya, mengatakan semua anggota keluarganya orang Islam.’ Padahal, konteks dari pembicaraan itu adalah keluarga saya di Indonesia.

Bila Anda mencari informasi tentang ayah saya, Anda akan menemukan bagian yang mengatakan bahwa ia adalah seorang Islam fundamentalis. Atau, yang lebih parah lagi, ibu saya, Stanley Ann Dunham, disebutkan sebagai orang yang secara rahasia mendukung Islam fundamentalis dan ingin agar anaknya didoktrinasi nilai-nilai Islam fundamentalis.

Tentu, kami pernah tinggal di Indonesia dan mendengarkan adzan untuk shalat di pagi hari. Ibu saya bilang itu sungguh indah. Ayah mungkin bukan orang Islam yang baik, tapi ia tetap Islam. Saya kembali ke kuburannya dan mengadakan seremoni untuk mengenangnya, berdoa. Anyway, it was lovely.

Tapi, cerita ini diambil begitu saja, dicabut dari konteksnya, dan digunakan untuk mendistorsi perhatian orang.

Ini situasi yang menantang. Secara personal, saya merasa bagus bila AS punya presiden yang punya pengalaman dengan Islam, yang pernah menghabiskan waktu di negara muslim, di mana manusia adalah manusia. Mereka melakukan hal-hal yang sama seperti yang dilakukan manusia lain di muka bumi untuk menghidupi keluarga dan sebagainya.

Wednesday, October 22, 2008

Menanti Sumbangsih Kaum Akademik

Lima bait membaca tulisan di bawah ini, saya yakin para intelektual kampus apalagi mereka yang telah menyandang guru besar akan merasa tersentak. Akan sangat mulia jika kritik yang ditulis Agus Wibowo, di Harian Suara Merdeka, ini menjadi motor penggerak bagi mereka untuk lebih bersemangat dalam melakukan riset dan penelitian yang berguna di tengah masyarakat kita sekarang. Tidak perlu jauh-jauh untuk melakukan riset yang rumit, justru lebih berharga jika riset mereka sangat bermanfaat secara langsung tersentuh masyarakat.

Semoga kritik ini menjadi pemicu semangat para dosen dan guru besar di seluruh perguruan tinggi Indonesia, untuk lebih banyak berkarya lagi. Kritik ini pula ada baiknya kita pahami bukan hanya untuk kaum intelektual kampus saja, tapi 'menyindir' kita semua yang pernah mengenyam bangku kuliah. Sumbangsih pemikiran memang banyak muncul dari kalangan akademisi, namun tidak menutup kemungkinan di luar 'menara gading' ini ada orang-orang cerdas yang dapat memberikan sebuah pemikiran yang akan memperkaya pemikiran akademisi.

Selamat berkarya para dosen dan guru besar di mana pun Anda berkiprah. Semoga karya-karya penelitian Anda berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. amin

20 Oktober 2008
Menanti Sumbangsih Kaum Akademik

  • Oleh Agus Wibowo

SEJARAWAN Sartono Kartodirdjo pernah mengkritisi para doktor, dosen, dan kaum intelektual di Indonesia. Mereka, kata Sartono, ibarat pohon pisang yang hanya berbuah sekali, selanjutnya vakum. Atau, sekali berkarya yakni ketika menyusun disertasi, setelah itu tamat dan tutup buku.

Tidak dimungkiri, para doktor dan kaum akademisi pada umumnya miskin dengan karya; entah karya tulis ilmiah (hasil penelitian), buku, apalagi artikel di media massa. Sebagai gambaran, di Universitas Gadjah Mada (UGM), lebih dari 300 guru besar yang dimiliki, hanya 30 persen saja yang melakukan penelitian (Kompas Jogja, 2/2/2007).

Pertanyaannya, jika UGM saja seperti itu, bagaimana dengan perguruan tinggi negeri (PTN) yang lain? Bagaimana dengan perguruan tinggi swasta (PTS)? Maka wajar, jika hadiah Nobel —penghargaan tertinggi terhadap karya seseorang di berbagai bidang— terutama masalah sains, ekonomi, sastra, dan perdamaian tidak pernah mampir di negeri ini.

Selain miskin karya, kaum intelektual itu, tidak pernah memiliki ide-ide ”gila”, atau melakukan penelitian yang luar biasa dan sangat urgen bagi kemanusiaan. Kaum intelektual, kata Fauzil Adhim (2006), dalam keseharian lebih dekat dengan dunia kata-kata.

Artinya, mereka lebih banyak terjun dalam kegiatan ceramah-ceramah, rutinitas akademik di kampus, entah mengajar, membimbing skripsi / tesis / desertasi, atau kegiatan akademik lainnya. Kegiatan ini memang tidak salah, hanya kurang tepat bagi kaum intelektual yang merupakan penyuluh masyarakat bawah (grass roots).

Bukan Ahlinya

Para dosen dan akademisi kampus pada umumnya memiliki tugas ganda. Artinya, selain membimbing mahasiswa, juga dituntut menjadi penyuluh dan pencerah bagi masyarakat di sekitarnya. Itu merupakan praksis nyata Tridarma dunia kampus, agar tidak sekadar di menara gading.

Misalnya, kaum akademisi mempublikasikan hasil penelitian atau rajin menulis artikel di media massa. Sayangnya, sedikit sekali akademisi yang mau menulis di media massa. Jika ada, kebanyakan sekadar mencari pencitraan, ketimbang memberikan pencerahan.

Akibatnya, media massa justru dibanjiri para penulis yang bukan ahlinya. Mereka kebetulan memiliki keterampilan menulis, atau mempu menyuguhkan tulisan yang sesuai dengan selera media massa. Wajar jika hasil analisis tentang sebuah hal menjadi kurang mendalam, parsial dan tidak jarang ”ngawur”. Berbeda tentunya dengan analisis dari pakarnya. Sebagai contoh, persoalan pendidikan akan lebih tajam jika ditulis oleh ahli pendidikan, atau persoalan hukum yang ditulis oleh ahli hukum, dan lain-lain.

Dunia akademik, kata Mahfud MD (2007), makin sering dinodai banyak kecurangan. Misalnya klaim secara sepihak karya tulis orang lain (shadow writer), dosen yang sampai hati menjiplak skripsi, tesis atau desertasi mahasiswa yang dibimbingnya dan sebagainya. Bahkan, banyak dosen yang melakukan penelitian atas pesanan pihak-pihak tertentu. Misalnya penelitian yang dilakukan Jurusan Komunikasi UGM serta Pusat Pengkajian dan Pelatihan Ilmu Sosial-Ilmu Politik (P3-ISIP) Universitas Indonesia. Kedua lembaga itu telah meneliti pemberitaan majalah Tempo dan Koran Tempo mengenai dugaan korupsi penggelapan pajak Asian Agri.

Tidak Terbiasa

Tampaknya, kengganan akademisi menulis di media massa disebabkan beberapa hal. Pertama, mereka tidak memiliki keterampilan menulis. Ketika masih menjadi mahasiswa, mereka terlalu konsen pada studi dan kegiatan akademik lainnya. Mereka tidak mau menyempatkan sedikit waktunya untuk bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kepenulisan, atau komunitas-komunitas kepenulisan lainnya. Bagi mereka, menulis bukan sesuatu yang penting, ketimbang dunia akademiknya. Akibatnya, mereka tidak memiliki skill menulis, hingga diangkat menjadi dosen.

Kedua, rutinitas akademik. Banyak dosen mengkambinghitamkan rutinitas akademik, sebagai alasan mereka tidak menulis. Waktu mereka konon habis untuk kegiatan tersebut. Hemat penulis, rutinitas akademik bukan kendala, masih banyak waktu tersisa hanya untuk menulis artikel pendek media massa (hanya sekitar 5.500-6.500 kata). Mestinya, rutinitas itu justru mengilhami banyak tulisan, bukan menjadi kambing hitam.

Ketiga, model atau ragam bahasanya. Kaum dosen terbiasa menulis dengan bahasa ilmiah, sementara media massa menggunakan ragam bahasa ilmiah popular. Kedua ragam bahasa ini memang memiliki perbedaan. Ragam bahasa ilmiah misalnya, cenderung mengikuti tata aturan formal Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kering, dan kaku. Sementara ragam ilmiah populer lebih komunikatif dan dapat diterima seluruh lapisan masyarakat. Tentu saja, dosen sangat kesulitan menyesuaikan dengan bahasa model tersebut. Memang, ada beberapa dosen ahli yang mampu mengatasinya, karena kebetulan ketika masih menjadi mahasiswa terbiasa menulis di media massa. Kenyataan ini menjadi dilema. Di satu sisi kerja dosen adalah mencerahkan masyarakat, sementara di sisi lain media atau saluran pencerahan tidak bisa menjembatani.

Hemat penulis, sudah saatnya model ragam bahasa ilmiah akademik diselaraskan dengan ragam bahasa ilmiah popular (bahasa media massa). Tujuannya, agar ide-ide cerdas dan pemikiran positif kaum dosen bisa lebih dekat dan bermanfaat bagi masyarakat. Bukankah dengan mentradisikan penggunaan ragam bahasa ilmiah popular di kalangan dosen, tidak bertentangan dengan metode ilmiah yang menjadi ”jargon” dunia akademik?
Meski demikian, independensi, keberpihakan kepada masyarakat, dan kejujuran harus diletakkan sebagai kerangka acuannya. Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian. Artinya, kejujuran dan kebenaran pembacaan akan realitas kehidupan yang terpancar dalam tulisan yang kita suguhkan, bakal terus memengaruhi pembacanya.

Kita pun sudah ikut menyumbangkan nilai positif bagi peradaban masyarakat. Sebaliknya, karya tulis yang dimulai dengan pembacaan keliru dan dibalut dengan kebohongan —meski hanya secuil— bakal merugikan masyarakat pembaca. Sudah saatnya hasil penelitian yang menghabiskan banyak waktu, harta, dan tenaga, tidak hanya menumpuk di ruang sempit dan pengap. Karya-karya tersebut mesti bersilaturahmi, membimbing, dan menjawab persoalan krusial dalam masyarakat. (32)

—Agus Wibowo, peneliti utama pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Saturday, October 18, 2008

Profesional dalam Profesi Jurnalis

Saya pikir, yang menjadi persoalan utama yang diangkat oleh Iqbal, adalah benturan antara identitas wartawan sebagai profesi yang memiliki etika dengan identitas sebagai buruh (jika wartawan itu sebagai buruh di perusahaan media) yang harus mengikuti aturan perusahaan dan mengikuti aturan struktural yang berlaku di perusahaan itu.

Persoalan benturan identitas dan benturan kepentingan itu, saya pikir menjadi persoalan besar bagi wartawan di mana pun. Misalnya, ketika seorang wartawan akan menulis sebuah kasus yang melibatkan perusahaan tempatnya bekerja, dia akan terjebak di dalam konflik identitas seperti yang saya sebutkan di atas. Isu itu bukan isu baru tentunya. Tadi siang di Bandung saya baru saja berdiskusi tentang sistem kerja seperti apa yang cocok bagi wartawan. Apakah dia harus bergabung menjadi buruh di perusahaan atau lebih baik menjadi freelancer yang bisa menjual karyanya ke media mana pun.

Muncul perdebatan hangat, karena dua-duanya memiliki aspek untung dan rugi. Menjadi buruh, dengan gaji tetap, menjadi pilihan karena menjanjikan "stabiltas" penghasilan untuk jangka waktu tertentu, walaupun tidak bisa dikatakan akan menjanjikan "sustainability." Juga ada kemungkinan wartawan itu harus menggadaikan etika demi kepentingan perusahaan.

Menjadi freelancer, idealisme dan etika bisa tetap kita pegang teguh, tapi --setidaknya di Indonesia-- tidak bisa menjanjikan penghasilan yang stabil. Sustainability juga masih menjadi persoalan, namun hal itu tergantung kepada seberapa kuat niat dan usaha seorang wartawan untuk tetap memegang profesi itu. Idealnya bagi wartawan-buruh, tentu, adalah jika idealisme dan etika profesi bisa berjalan seiringan dengan kepentingan perusahaan, sehingga tidak perlu terjadi benturan kepentingan dan identitas seperti yang saya sebutkan di atas. Namun, kita tahu, tidak banyak perusahaan media yang membiarkan wartawannya untuk bekerja sesuai dengan idealisme dan etika kewartawanan.

Bahkan lebih buruk lagi, belakangan di Indonesia ada upaya untuk mendorong wartawan menjadi bagian dari marketing perusahaan dalam mencari iklan, promosi, dll. Hal itu, mungkin merupakan strategi perusahaan media untuk mengurangi beban biaya produksinya, dan melepaskan risiko dari pemberitaan yang bisa merugikan perusahaan.

Ada juga isu, kontributor atau wartawan kontrak atau wartawan tidak tetap (buruh kontrak) yang menuntut diangkat menjadi karyawan, diberi pilihan untuk membuat kantor berita sendiri dan perusahaan media akan membeli berita dari perusahaan kontributor itu. Ada juga perusahaan media yang memberi pilihan, kontributor daerah disuruh menjalankan kantor perwakilan yang TIDAK TERIKAT ke kantor pusat. Wartawannya diberi tugas memasarkan koran dan mencari iklan, sekaligus mencari berita. Tindakan perusahaan itu sangat tidak etis baik dilihat dari perspektif perburuhan maupun jurnalisme, tapi itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia ini.

Bagi wartawan freelancer, ada persoalan tarif berita yang mereka tulis. Tidak banyak perusahaan media di negara ini yang secara layak menghargai karya jurnalisme. Mau panjang, mau pendek, mau straight news, mau investigative reporting, tetap saja dibayar rendah.

Benturan kepentingan atau strategi perusahaan yang "mematikan" idealisme dan etika kewartawanan seperti itu sudah lama terjadi di Amerika Serikat. Contoh kasusnya di Seattle Times, di mana newsroom "dikuasai" oleh editor yang juga personel marketing perusahaan (baca When MBAs Rule the Newsroom, 1995, p.159). Dari penelitian di buku itu, ada satu kesimpulan yang menarik, yang diambil dari
pernyataan para wartawan di sana. Kira-kira begini bunyinya, "Menjadi wartawan pada akhirnya tidak lebih menjadi buruh perusahaan seperti IBM atau buruh di perusahaan asuransi."

Saya, sebagai wartawan, tidak menginginkan hal itu terjadi di Indonesia atau di media tempat saya bekerja. Tapi sekarang masalah itu mulai terjadi. Dan pernyataan Iqbal, bagi saya, telah membuktikan terjadinya kebingungan atau disorientasi di kalangan wartawan, sebagai akibat perubahan situasi industri media di negeri ini, yang sedikit banyak mengikuti pola yang terjadi di Amerika. [dikutip dari milis pantau-komunitas. ditulis oleh: Zaky Yamani dari HU. Pikiran Rakyat]

Wednesday, July 02, 2008

Selamat Menempuh Ujian SNMPTN 2008

Tepat hari ini dan besok, (Selasa-Rabu, 2-3/7), para calon mahasiswa yang mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang tersebar di seluruh Indonesia, sedang mengikuti ujian seleksi. Persaingan masuk ke PTN dari tahun ke tahun semakin ketat. Tak mudah. Para calon harus mempersiapkan diri seperti layaknya seorang tentara mempersiapkan segala peralatan perang sebelum terjun ke medan perang. Hidup atau mati.

Di Lampung misalnya, panitia lokal SNMPTN Unila menyebutkan terdapat peningkatan sebanyak 11,5 persen jumlah calon mahasiswa yang mengikuti SNMPTN, seperti dikutip dari Lampung Post (Selasa, 1/7). Sehingga tahun ini diikuti sebanyak 14.169 orang. Sedangkan tahun kemarin diikuti sebanyak 12.537 orang.

Melihat angka yang cukup meningkat tersebut, semakin memperlihatkan kepada kita bahwa minat calon-calon mahasiswa itu ingin melanjutkan ke PTN semakin tinggi. Apakah meningkat jumlah peminat diimbangi dengan meningkatnya jumlah kursi daya tampung di PTN juga?

Memang tidak seluruhnya para calon mahasiswa yang mengikuti seleksi itu adalah mereka ingin masuk Unila. Ada pula mungkin memilih PTN di luar Lampung. Entah berapa jumlah mereka yang ingin masuk ke Unila. Belum lagi di provinsi/kota lain yang hendak masuk ke Unila pun kita semua tidak mengetahui jumlah pastinya.

Adik-adik, selamat menempuh ujian SNMPTN 2008. Semoga niat dan usaha kalian masuk ke PTN yang diinginkan terwujudkan. Jika belum lulus/diterima masuk PTN yang dikehendaki, janganlah putus asa. Bukan berarti hidup kalian berhenti di sana, tapi masih banyak pilihan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi lain. Saya mendo'akan untuk kalian. Semoga sukses dan tercapai cita-citanya. Amin.

Saturday, June 28, 2008

Salah Paham Maksud "Anarki"

Hari ini banyak sekali penggunaan kata "anarkis" di pemberitaan soal demo ricuh. Dari mulai di TV, radio dan yang paling mengecewakan kalimat itu juga ada di surat kabar sekaliber Koran Tempo yang di halaman dua memuat judul "Warga Kecam Aksi Anarki". Kata "Anarkis" ini benar-benar disalah artikan. Anarki dianggap berarti brutal, seenaknya, rusuh, padahal arti kata anarki bukan itu!!.

Anarki berasal dari dua kata A dan Narki. A : tidak, NArki : pemerintah. KATA anarki adalah tiruan kata asing seperti anarchy (Inggris) dan anarchie (Belanda/Jerman/ Prancis), yang juga cuma meniru kata Yunani anarchos/anarchia. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/tanpa/ nihil)yang disisipin dengan archos/ archia (pemerintah/ kekuasaan) .Anarchos/ anarchia = tanpa pemerintahan. Kata anarki kalau ditambah ism jadi anarkism sebuah ideologi yang dipopulerkan oleh Max Stirner (1806-1856), Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), Mikhail Bakunin (1814-1876), Peter Krapotkin (1842-1921). Mereka tokoh-tokoh anarkis awal yang bukan hanya
teoretis tapi berupaya mewujudnyatakan faham anarkisme dengan program-program yang sistemik.

So jadi teman-teman saya usulkan jangan pernah memakai kata anarkis anarki atau anarkism untuk mengambarkan sesuatu yang brutal. KARENA PENGGUNAAN KATA ANAKRIS UNTUK MENGGAMBARKAN SESUATU YANG RUSUH, BRUTAL ITU SANGAT SANGAT SANGAT SALAH BESAR!!. Ada indikasi penyimpangan arti kata anarkis di Idnonesia dengan tujuan tertentu.

Hal yang sama terjadi atas singkatan "PKI" yang kemudian sering dianggap sebagai salah satu kata yang menggambarkan sesuatu yang jahat sadis dan brutal. Padahal PKI khan sekedar Partai Komunis Indonesia. soalnya gue ketemu dengan beberapa orang yang menggunakan kata "PKI" untuk mengungkapkan sesuatu yang sadis seperti , " itu PKI tuuh kalau orang tua memerkosa anak kandungnya!" , lhoo apa hubungannya PKI dengan memerkosa anak?. Orang yang anggota PKS sekalipun kalau moralnya emang bejat bisa memerkosa anak kandungnya.

Ada lagi salah kaprah yang sudah menginternasional dan sudah melembaga. Pasti familiar dengan kata MAFIA khan?. MAFIA itu arti awalnya adalah "Morte Alla Francia Italia Anela" artinya Maut di Tangan Perancis adalah Tangis Italia. Ini menggambarkan kebencian orang Sicilia Italia atas prancis.Legenda lain menceritakan bahwa setelah seorang gadis Sisilia diperkosa dan dibunuh oleh serdadu Perancis, ibunya meratap, "Ma fia, ma fia" ("putriku, putriku!"). Jauh kan dengan gambaran bahwa arti MAFIA adalah kejahatan terorganisir.

Tapi yah begitulah kondisinya teman- ada beberapa kata-kata yang mengalami penyimpangan arti dan jadi salah kaprah. kita harus hindari itu teman...

Kalau mau menggambarkan kerusuhan sebaiknya saya usul pakai kata "brutal", "ricuh", atau apa sajalah. hindari kata anarkis karena emang itu salah kaprah

Kata mafia bisa kita ganti dengan kata sindikat.

begitu saja temanssss... .

Rezki Hasibuan
KBR68H

*Dikutip dari milis jurnalisme (Wed Jun 25, 2008 3:28 am)

Sunday, June 22, 2008

Tuduhan Kepada Maftuh Sangat Kejam

Sungguh tuduhan keji bagi almarhum Maftuh Fauzi, mahasiswa Universitas Nasional dinyatakan positif terkena virus HIV/AIDS. Keterangan itu hasil pemeriksaan resmi yang dikeluarkan tim medis Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta, Jumat (20/6). Hasil tersebut dikeluarkan mendadak setelah sebelumnya dikeluarkan pernyataan tim medis RSPP bahwa almarhum mengalami infeksi di kedua paru-parunya, serta penurunan sistem kekebalan tubuh.

Hasil keterangan dokter dari RSPP juga menyebutkan hasil pemeriksaan scan di kepalanya tidak ada kelainan. Rekan-rekan almarhum Maftuh tak percaya begitu saja keterangan RSPP . Padahal, di kepala almarhum yang juga termasuk salah satu 31 mahasiswa yang ditahan polisi karena demonstrasi pada 24 Mei lalu, itu terdapat jahitan akibat pukulan benda tumpul. Tampak nyata bahwa pihak RSPP mencoba menutupi keterangan yang seharusnya dibuka. Bukan sebaliknya, pihak RSPP mengeluarkan keterangan bahwa almarhum meninggal karena virus HIV/AIDS. Tuduhan yang terlalu dini dikeluarkan dari pihak RSPP.

Usaha rekan-rekan almarhum untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan otopsi dan sekaligus menyusut meninggalnya almarhum Maftuh ke Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) adalah usaha yang patut didukung demi tegaknya keadilan. Tampak dibalik peristiwa meninggalnya almarhum Maftuh ada sebuah konspirasi yang ditutup-tutupi dari mulai pihak kepolisian dan RSPP.

Jika pemeriksaan ulang terhadap almarhum dilakukan kembali oleh pihak kepolisian dan RSPP, bisa diyakini tidak menjamin akan mendapatkan keterangan yang independen dan dipercaya. Kepolisian menempati pada posisi tertuduh karena melakukan pemukulan terhadap 31 mahasiswa yang ditahan karena demonstrasi menentang kenaikan bahan bakar minyak (BBM) 24 Mei lalu.

Jangan sampai terjadi di saat pemeriksaan kebenaran atas meninggalnya almarhum justru mendapatkan hasil yang mengecewakan sama seperti keterangan hasil dari RSPP sebelumnya. Penyelidikan dari Komnas HAM sangat penting segera dilakukan, apakah benar almarhum meninggal karena terjangkit HIV/AIDS? Kebenaran harus ditegakkan di negeri ini. Jangan sampai justru alat negara seperti polisi justru yang bermain dalam konspirasi menutupi kebenaran yang seharusnya diungkap kepada publik.

*Photo by Okezone

Saturday, April 05, 2008

Besok Mengisi Pelatihan Pembuatan Blog Tingkat Dasar

Weblog atau blog, kini semakin ramai dibicarakan di dunia internet. Bahkan, kepopuleran situs sosial enginering macam Friendster dan Facebook sudah mulai bergeser karena blog ini. Lalu apa sebenarnya blog? Begitu sangat berpengaruhkah bagi para netter dengan yang namanya blog? Jawabannya akan Anda temukan di internet dan berbagai forum/milis blog.

Rencananya besok, Minggu (6/4), saya akan menjadi instruktur pada acara Pelatihan Pembuatan Blog Tingkat Dasar, di Students Computer Service Center (SCSC) Gedung Pusat Komputer Unila. Yang mengadakan acara tersebut adalah BEM Unila. Barangkali acara tentang blog ini merupakan yang pertama diadakan di Unila. Atau mungkin di Lampung. Sebab, sejauh ini saya belum pernah melihat atau mendengar informasi pengenalan tentang blog bagi masyarakat Lampung. Salut untuk BEM Unila memulainya lebih awal.

*foto ilustrasi: user warnet BBS Unilanet

Sunday, March 30, 2008

Roy Suryo Bilang Blogger Pengecut

Seharusnya sebagai seorang dosen dan katanya disebut sebagai pengamat Telematika Indonesia seperti Roy Suryo ini, tidak selayaknya menuduh blogger pengecut di media massa. Selain menuduh blogger pengecut, kalangan hacker pun juga kejatuhan tuduhan dari Roy Suryo.

Apakah pernyataan Roy Suryo di media massa sebagai bentuk kekesalannya? Sebelumnya termuat foto Roy Suryo bersama dua gadis bule di website Partai Golkar dan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Seorang Roy Suryo yang sering diminta komentarnya soal telematika di media massa akhir-akhir ini, justru menjadi bumerang baginya di dunia online. Roy Suryo tampaknya kebakaran kumis karena fotonya terpasang di dua website itu.

Bahkan sejak 2004 lalu, sosok Roy Suryo tak disukai para blogger. Priyadi menilai pakar Telematika ini disebut pakar gadungan. Dari ucapannya di media massa sering kali terlihat tidak menguasai di bidang teknologi informasi.

Tidak cukup sampai di sana, ulah Roy Suryo kembali lagi di media massa. Tahun 2005 lalu, Priyadi membuat kronologi berkaitan tentang Roy Suryo yang menyebarkan fitnah melalui sms massal. Dituliskan di sms yang disebarkan massal itu, Roy menuduh Priyadi dan para blogger lain menyebarluaskan foto-foto rekayasa Presiden SBY. Kronologi yang diceritakan Priyadi tiga tahun lalu, saya nilai justru Roy Suryo lah yang menunjukkan tindakan seorang yang pengecut. Menyebarkan fitnah melalui sms massal.

Tentu saja banyak kalangan di dunia online, baik itu blogger atau ahli di bidang IT tidak menyukai Roy Suryo pernyataannya di media massa cenderung menuduh blogger dan hacker. Selain itu ia malah menantang secara terbuka melalui media massa kepada blogger dan hacker untuk merusak website Presiden SBY.

Mudah-mudahan Roy Suryo segera tobat dari ucapan-ucapannya yang memprovokasi di media massa. Serta media massa pun juga segera tobat tidak mengutip komentar dari Roy Suryo lagi.

Hidup Blogger Indonesia!!!

Foto: Kompas.com

Wednesday, March 26, 2008

Mengurungkan Niat Pasang Radio Antena Wireless

Memasang antena dan radio wireless ternyata tidak mudah. Sebab, selain harus memasangnya dengan menaiki antena tower tringle yang tingginya hampir di atas 20 meter, keselamatan si teknisi yang memasang antena dan wireless itu pun perlu diperhatikan. Sebelum itu pun sang teknisi juga harus menyiapkan alat-alat yang akan dipasang dengan lengkap. Agar ketika selesai memasang radio wireless dan antena tersebut di atas tower, tidak ada lagi kekurangan sehingga harus naik-turun memeriksa kembali alat tersebut dari antena tringle.

Sony, teman saya, sudah biasa memasang radio dan antena wireless. Entah sudah berapa tahun ia menekuni dunia pasang-memasang alat yang bagi saya masih awam dan belum mengerti. Maklum, saya belum belajar ilmu darinya. Ilmu saya hanya jurnalistik, mengamati, mencatat, mewawancarai narasumber, lalu menulis. Itu saja.

Tak heran lagi beberapa dosen kerap meminta Sony membantu memasangkan antena dan radio wireless, baik di rumah dosennya maupun untuk keperluan pemasangan di kampus (Unila,red). Tentu saja itu bukan tugas yang berat buat Sony, karena ia telah terbiasa melakukan pasang-memasang alat yang harganya bisa membuat kaget (total di atas Rp1juta rupiah,red). Entahlah, alat-alat apa saja yang yang dipersiapkan itu.

Lagi pula, kebutuhan memasang alat-alat tersebut diperlukan buat dosen yang ingin mendapatkan akses internet dari rumahnya. Ya, tidak perlu lagi menarik kabel dari kampus ke rumah mereka masing-masing. Zaman sekarang sudah tren pakai wireless yang dipasang di antena tinggi. Tinggal 'menembakkan' dari titik rumah dosen ke pusatnya (di kampus,red). Apa ya istilahnya?

Di jurusan Sony (Elektro,red), baru-baru ini ia diminta dosennya untuk memasang radio dan antena wireless untuk kebutuhan Laboratorium Digital. Sebenarnya lokasi jurusannya tidak jauh dengan Pusat Komputer (puskom) Unila. Karena dari sinilah pusat pengaturan bandwith internet seluruh fakultas di Unila yang dimonitoring di ruang Network Operation Center (NOC) server yang selalu standby.

Tapi sayangnya, untuk memasang satu radio dan antena wireless di Puskom tidak diizinkan bos. Padahal, antena dan radio wireless di Laboratorium Digital Elektro sudah terpasang. Jadi dosen yang memberi tugas ke Sony, harus izin terlebih dahulu ke bos pusat di Rektorat. Jika tidak ada, pemasangan alat tidak dibolehkan bos.

Pemasangan akhirnya harus tertunda karena tak mempunyai izin memasang di antena tringle. Ya sudah, radio dan antena wireless yang sudah dibeli itu harus menginap di gudang sambil menunggu izin resmi dari bos pusat. Oh...birokrasi.....birokrasi.....

Tuesday, March 11, 2008

Setting IP dan Rencana Buat Website di Menwa Unila

"Cara buat website gimana Rik?"kata seorang teman di Menwa, ketika saya ke markasnya, tadi sore (Selasa, 11/03).

Saya kemudian terdiam. Bukan tidak mau menjelaskan kepadanya. Tapi, mau dijelaskan panjang dari awal hingga akhir. Tidak mungkin saya malah membuat teman saya ini jadi bingung dengan apa yang saya jelaskan nanti. Saya tahu ia ingin membuat website sendiri.

"Nanti kita buat acara pelatihan aja gimana?"kata saya.

Teman saya mengiyakan. Ia bilang malam hari juga tidak apa-apa. Saya senang ia mulai suka dengan cara membuat website. Mungkin tidak sampai pada ingin tahu saja. Mudah-mudahan ia dan teman-temannya tertarik lebih selain belajar membuat website, juga belajar tentang hal-hal lain di bidang informasi teknologi.

Welly, teman saya dari Korps Sukarela (KSR) Unila juga pernah mengutarakan keinginannya untuk membuat website. Website atau sekarang yang lebih tren dengan blog yang sudah banyak dimiliki orang. Saya yakin juga nantinya tidak hanya Welly dan teman saya dari Menwa tertarik membuat website atau blog, tapi juga mudah-mudahan mahasiswa di sini (Unila) tertarik juga.

Besok saya mau pasang IP untuk UKM lainnya. Baru terpasang sebagian, UKM Pramuka, UKM Filateli, UKM Menwa dan BEM Unila di lantai dua Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila. Mudah-mudahan semuanya selesai dan tak ada yang tertunda lagi.

Monday, February 25, 2008

Setting IP Baru untuk UKM

Kira-kira sudah hampir dua minggu ini sejak memasang kabel UTP untuk seluruh UKM di Gedung PKM Unila, baru terlaksana memberikan nomor IP kepada mereka masing-masing. Tadi siang (Senin, 25/2), saya baru menyempatkan ke Graha Saidatul Fitria (nama dari kesekretariatan Teknokra Unila untuk mengenang jasa-jasa Saidatul Fitiria Alm, fotografer Teknokra).

Rencananya semua UKM harus sudah saya pasang nomor IP-nya agar mereka mendapatkan akses internet dari masing-masing UKM-nya. Namun, tadi baru UKM Pramuka saja yang telah saya pasang. Satu lagi, BEM Unila yang menempati di lantai dua sudah saya pasang nomor IP-nya meskipun sudah sore dan koneksi ke rektorat sudah mati.

Pemasangan di UKM Pramuka tidak begitu sulit. Mereka menggunakan laptop untuk koneksi internetnya. Utak-atik di properties, lalu isi nomor IP, gateway, dns dan sebagainya sukses. Coba memasukkan login dan password proxy Unila menggunakan milik redaksi sukses juga dan telah dicoba mengakses ke beberapa website.

Ya, besok rencananya memasang nomor IP yang belum selesai. Untung saja Edy Prasetyo, Pemimpin Umum UKPM Teknokra mau menemani saya memasang di dua kesekretariatan rekan-rekan UKM di Gedung PKM Unila. Yang belum terpasang, sabar ya. Terutama untuk DPM Unila kabelnya belum dipasang RJ-45, nanti segera dipasang.

Thursday, February 14, 2008

Menaiki Tower Radio Wireless Unila Setinggi 45 meter

Kalau melakukan ini pasti membuat jantung sangat berdebar-debar. Bagi orang biasa, menaiki tower yang tinggi sudah tentu mengerikan. Takut jatuh. Was-was (bukan acara infotainment di televisi, red). Bagaimana tidak, yang dilakukan Sony menaiki tower setinggi 45 meter untuk memasang radio dan antena wireless Unila, sabtu siang kemarin (9/2) bukan masalah. Sudah cukup sering ia melakukan urusan panjat-memanjat memasang radio dan antena wireless di berbagai tempat.

Tower setinggi 45 meter ini belum lama didirikan dan terletak dekat gedung Pusat Komputer Unila. Biasanya Sony butuh alat pengaman/pengait untuk naik ke towor paling atas untuk menjaga keselamatannya. Tower yang menjulang tinggi ke atas ini tidak sama persis dengan tower Base Transceiver Station (BTS) milik operator seluler kebanyakan. Bentuknya ramping memiliki tiga kaki dan kawat pengait yang ditarik ke dasar tanah.

Rencananya tower ini akan digunakan untuk 'menembak' sinyal wireless kepada lima perguruan tinggi swasta di Bandar Lampung, di antaranya AMIK Master, Universitas Bandar Lampung, STIBUN Lampung, STMIK Darmajaya, dan Perguruan Teknokrat.

Ketika pemasangan satu radio wireless ke atas tower, ada Gigih, Harid, Johan, dan Herieds membantu mereka. Ada pula Redha sibuk sana-sini memfoto proses pemasangan alat ini hingga ke atas puncak pencakar langit.

Yang cukup mengagetkan ketika Sony berada di paling atas tower, tiba-tiba ada terdengar suara keras seperti benturan benda mengenai besi. Ternyata benda itu adalah Handytalky yang dibawa Sony ke atas tower, terjatuh hingga baterainya terlepas dari 'body'.

Untung saja yang jatuh bukan Sony. Tapi, disayangkan sebuah Handytalky biru yang awalnya masih cukup berfungsi dengan baik, kini telah rusak. Sepertinya harus membeli yang baru lagi. Lebih bersyukur lagi benda kecil tadi tidak menimpa teman-teman yang menemani di bawah tower tadi. Semoga kejadian ini tidak terulang kembali.

Monday, February 11, 2008

Unila dari Atas Gedung Rektorat

Bagaimana rasanya berada di atas gedung paling tinggi? Buat saya agak mengerikan jika sambil melihat ke bawah gedung. Kemarin Sabtu menjelang siang, saya dan Sony naik ke lantai paling atas gedung Rektorat Unila. Gedung ini cukup besar dan berlantai enam. Sepertinya gedung inilah yang paling tinggi di Bandar Lampung. Belum coba survei ke beberapa tempat.

Pemandangan di sekitar kampus Unila dilihat dari atas gedung sungguh indah. Dari kejauhan terlihat gedung-gedung fakultas di Unila. Foto di atas, terlihat kolam yang ada air mancurnya. Di sana juga terlihat jalan masuk utama Unila dari pintu gerbang arah Rajabasa. Ini baru pertama kalinya saya naik ke atas gedung rektorat paling atas. Hembusan angin cukup kuat. Kalau main layangan di atas, sepertinya oke juga. Hehe..

Kebetulan naik ke atas gedung bukan iseng belaka. Saya menemani Sony menuruni radio wireless dari tower yang ada di sana. Agak ngeri juga naik ke atas tower yang tinggi itu. Apalagi kalau tidak dilengkapi tali pengait untuk keamanan agar tidak jatuh. Untung saja tidak ada kesulitan menuruni radionya. Sony juga sedang setting wireless Hotspot. Saya tak banyak mengerti setting yang dia lakukan di laptopnya. Mungkin saya perlu banyak belajar dari suhu wirelees seperti dia :-)

Thursday, January 24, 2008

Air Mancur Universitas Lampung

Suatu sore beberapa hari yang lalu, saya jalan-jalan ke Fakultas Hukum. Ada teman saya di sana. Sekedar mampir dan rileks saja melepas kejenuhan. Kebetulan juga saya bawa kamera dan memfoto-foto di sekeliling FH. Fotoku juga ada. Tapi, sengaja tidak saya muat di sini :-)

Sore yang sedikit mendung itu, saya kira akan segera turun hujan. Tiba-tiba saya tertarik ingin lihat air mancur yang baru saja selesai 'disulap' para tukang. Kemudian, saya jalan ke arah air mancur yang berbentuk bundaran. Mirip seperti bundaran Hotel Indonesia di Jakarta atau bundaran air mancur di dekat Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.

Untung saja saat itu air mancurnya masih hidup. Saya juga ketemu tiga teman saya. Kami berfoto-foto di sana. Lumayan menambah koleksi foto-foto di komputer saya.

Kata teman saya, air mancur yang bagus di Bandar Lampung satu-satunya ada di Universitas Lampung (Unila). Ah, yang benar? kata saya. Coba sesekali jalan ke kota Bandar Lampung. Saya memang tidak pernah menemui ada air mancur berbentuk bundaran yang mengelilingi jalanan, seperti di Jakarta dan Palembang.

Di Bandar Lampung, hanya ada sebuah Tugu Gajah di tengah persimpangan Jalan Raden Intan, Tanjung Karang. Tapi, menurut saya itu tidak seperti air mancur meskipun ada air mancur kecil yang menyemburkan air. Disebut Tugu Gajah karena tugu itu dikelilingi patung-patung gajah. Jadi, menurut penelusuran saya, satu-satunya yang memiliki air mancur di Bandar Lampung baru Unila saja. Mungkin Unila satu-satunya universitas di Indonesia yang punya air mancur seperti ini (tapi, belum menelusuri seluruh universitas di Indonesia). Hehe...

Sunday, January 20, 2008

Kompas.com Berubah Tampilan

Baru saja saya lihat tampilan Kompas versi online. Saya kaget dan tersanjung (jadi ingat sinetron tersanjung. hehe..) pada pandangan pertama kali ini. Sejak kapan berubah tampilannya? Entahlah, saya belum sempat tanya Pemimpin Redaksinya Suryopratomo. (Halah...halah...kenal ngga dengan pemred-nya)

Tampilan Kompas online yang sekarang cukup bagus daripada sebelumnya. Tapi setelah melihat ada logo Kompas.com dan diapit tulisan "Beta", tampaknya versi online ini belum sempurna. Selain itu yang menarik, foto berita utama dan keterangan dari foto pada website Kompas yang terbaru itu, kini bisa berganti-ganti dengan foto-foto lainnya. Tidak seperti sebelumnya, foto tampak statis. Kecuali kalau masuk berita terbaru dan up to date.

Untuk melihat versi online dari Kompas cetak, tampilannya yang terbaru lebih indah. Semua diatur dalam masing-masing index terbitan dan rubrik yang tersedia. Biasanya link versi cetak berada di sebelah kanan, kini link-nya pindah dan menempati bagian atas. Secara berturut-turut: KompasCom, Kompas cetak, Kompas mobile, Kompas images, Kompas TV, Seleb TV, Gramedia Onliene dan Komuniti.

Tampaknya Kompas mulai berbenah secara perlahan-lahan. Lalu, saya jadi teringat ketika ukuran dan warna logo Kompas berubah menjadi warna biru pada tahun 2005. Media cetak tertua di Indonesia ini memperingati hari ulang tahunnya ke-40. Sekarang Kompas versi online pun berubah semakin dinamis dan elegan. Kini persaingan media semakin ketat. Media yang bagus dan bisa mencerdaskan masyarakat adalah media yang diharapkan bagi masyarakat luas.

Lelah dan Cukup itu saja

Rasanya saya ingin istirahat. Setelah kemarin penuh dengan agenda yang tidak semuanya tercapai maksimal. Ada beberapa janji yang belum ditepati. Rasanya menyesal tidak menepatinya. Rasanya saya telah buat kecewa teman. Rasanya ada yang salah pada diri saya. Rasanya 24 jam sehari belum cukup. Masih banyak yang hendak dikerjakan, namun apa daya tak sanggup memenuhi itu semuanya.

Saya lelah. Jika istirahat dan berhenti, saya akan tertinggal jauh. Waktu akan terus berputar selama 'ruh' di bumi masih terus berputar sesuai dengan porosnya. Selama bumi berputar mengelilingi matahari. Selama makhluk-makhluk ciptaan Allahu SWT masih terus regenerasi.

Monday, January 14, 2008

Andai Saya Punya Eee PC

Sebelum membayangi sebuah laptop Asus Eee PC ada di pangkuan saya sambil menikmati 'berselancar' dunia internet, saya tadi 'ngintip' blog Mas Priyadi di sini. Tumben pikir saya, Mas Priyadi pengen laptop 'mungil' ini. Ternyata produsen laptop Asus yang mengeluarkan laptop Eee PC segera launching dalam waktu dekat di Indonesia.

Kalau saya dikasih gratis laptop Asus Eee PC seri apa pun, akan saya gunakan untuk aktivitas mengetik laporan jurnalistik di mana pun karena mudah dimuat dalam tas ransel, mudah dibawa kemana-mana (mobile) dan yang terpenting ringan (beratnya 0,92 Kg). Baterainya saja bisa tahan hingga 3,5 jam tanpa perlu di-charge. Koneksi dengan wifi 801.11 b/g pun telah tersedia di laptop ini. Jadi, tidak ada hambatan ketika browsing dengan hotspot.

Laptop yang saya gunakan sekarang ECS G311L mungkin segera saya lelang kalau beruntung dapat Eee PC ini. Maklum, laptop ECS saya itu berat banget (2,8 Kg). Apalagi dibawa kemana-mana di dalam tas ransel. Ukuran LCD-nya memang besar (15,4 inchi).

Menginginkan laptop Eee PC ini sudah sejak periode bulan November-Desember 2007 lalu. Saya menantikan kehadiran Asus Eee PC ini. Lihat dari rilis di website Asus, ukuran layarnya hanya 7 inchi. Sangat kecil bukan? Apalagi sekarang jika dibandingkan dengan banyak vendor laptop lainnya banyak menawarkan dengan ukuran layar 14-15 inchi, karena dari segi harga cukup terjangkau konsumen. Biasanya laptop dengan ukuran di bawah 14 inchi harganya pasti mahal.

Coba-coba mencari Eee PC dari beberapa forum mulai dari kaskus, di sini, dan akhirnya mampir di website resmi Asus Indonesia, harga jualnya berbeda-beda. Rata-rata dijual di atas Rp 3,5 juta. Saya jadi bingung, mana harga resmi yang djual Asus ya? Tapi, setelah melihat harga yang paling murah ditawarkan pada saat acara launching-nya nanti seharga Rp 3,6 juta. Acara launching-nya pun akan dilaksanakan di Mall Kelapa Gading 2 (MKG2) Jakarta, lantai dasar depan Sogo Krispy Creme, pada tanggal 26 Januari 2007 mendatang, pukul 14.00 WIB.

Maksud menulis ini pun karena ingin dapat sebuah laptop Asus Eee PC gratis. Jadi saya buru-buru ikut kompetisi "Asus Eee PC Blog Competion dan Launching Eee PC". Siapa tahu saya termasuk yang beruntung dari sekian blogger yang ikut kompetisi ini. Tak sabar menanti Eee PC segera saya raih. Mohon do'anya agar terkabul ya. (Hehe..)

Sunday, January 13, 2008

Rencana Pindah ke Hati yang Lain

Sabtu kemarin (12/1), saya mencoba memindahkan seluruh posting yang ada di engine Blogspot ini ke Wordpress. Wordpress seperti diketahui merupakan engine untuk membuat blog yang gratis sama seperti engine Blogspot. Blog yang saya bangun sejak awal (tahun 2004) hingga sekarang (2008) masih menggunakan Blogspot.

Kini masih dalam proses menentukan pilihan yang tepat agar tidak menyesal di kemudian hari (halah...). Sempat berpikir berencana akan pindah ke engine Wordpress untuk seterusnya. Menulis di blog bagi saya, butuh konsisten engine blog yang sering diisi dan digunakan untuk jalan-jalan atau istilah para blogger itu "Blogwalking" ke blog lainnya dan meninggalkan link blog kita sendiri.

Sejauh ini yang saya ketahui dan memantau blog-blog dengan dua engine (Blogspot dan Wordpress) ini, masing-masing mempunyai 'pasarnya' atau segmen sendiri. Misalnya, ada blogger yang menggunakan blogspot dan biasanya para komentator yang hadir di blog itu berasal dari blogger yang menggunakan engine yang sama (Blogspot). Hal yang sama juga seperti blogger yang menggunakan engine Wordpress, biasanya yang memberikan komentar berasal dari blogger Wordpress. Rata-rata saya perhatikan begitu.

Sepengetahuan saya juga, engine Blogspot tidak menyimpan backlink setelah kita meninggalkan komentar di blogger yang menggunakan engine Blogspot. Ternyata, harus beberapa kali melompati link-link berikutnya untuk menemukan blog utamanya. Memang betul masing-masing kedua engine blog ini (Wordpress dan Blogspot) memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Keduanya juga masih gratis dan mudah untuk digunakan bagi yang awam dengan istilah-istilah dan cara-cara yang 'njlimet' (susah,red) pengaturannya.

Banyak teman-teman blogger saya sudah pindah hati yang lain. Kebanyakan mereka yang sebelumnya menggunakan engine Blogspot, hijrah menggunakan engine Wordpress. Jadi tertarik mengikuti jejak seperti mereka juga. Bukan sekedar alasan ikut-ikutan saja, tapi seperti alasan yang saya sebutkan di atas tadi. Ehm,..ada ide lain soal ini?

Thursday, January 10, 2008

Busway atau TransJakarta?

Ini kisah (lanjutan) perjalanan saya ketika ke Jakarta, Sabtu lalu (30/12). Perjalanan singkat pertama yang pernah saya lakukan. Biasanya ke Jakarta sering menunggangi sepeda motor saya, Si Honda Legenda. Dengan sepeda motor biasanya menghabiskan waktu 8-9 jam perjalanan. Tapi, itu pun tergantung dengan kondisi cuaca, lama penyeberangan Kapal Ferry Selat Sunda, kemacetan lalu lintas dan keadaan sepeda motor. Beberapa posting waktu ke Jakarta bisa lihat di sini, di sini, dan di sini.

Yang menarik selama di Jakarta menjelang tutup tahun 2007 bagi saya, ketika itu mencoba Busway. Tapi, sebenarnya alat transportasi ini disebut Busway atau TransJakarta ya? Sering kali kita lebih akrab dengan sebutan "Busway" daripada "TransJakarta". Saya coba cari di Google mengenai Busway. Tambah-tambah referensi di sini dan mungkin ketemu pengalaman salah satu blogger yang menggunakan fasilitas transportasi made in Sutiyoso ini.

Ada yang menarik membaca komentar-komentar dari blogger ini, menanyakan hal yang sama seperti apa yang ingin saya ketahui. Busway atau TransJakarta? Di blog itu beranekaragam mengomentari dua istilah itu. Ada yang mengatakan dua istilah itu (Busway dan TransJakarta), lebih populer dengan sebutan Busway. Padahal, artinya Busway itu jalur bus. Jadi, kalau ada yang tanya, Naik apa? Naik Busway (naik jalur bus). Nah loh? Jalur bus kok dinaiki? Hehe...

Tidak hanya itu saja, di seluruh jalur bus TransJakarta ada rambu-rambu tertulis "Khusus Jalur Busway". Artinya, khusus jalur jalan bus. Nah, tambah gendeng:). Melihat masyarakat Jakarta kini banyak yang kritis dengan bahasa Indonesia. Ada yang mengatakan salah kaprah penyebutan Busway itu.

Mari kita kembali ke topik awal. Ketika saya baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya menghubungi Aziz, teman dekat saya yang tinggal di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Ia ibaratnya peta jalan tujuan pertama saya ke Jalan Gajahmada, Jakarta.

Setiap saya sms minta rute jalan, Aziz kasih petunjuk naik Bus TransJakarta dengan tepat. Jadi, saya tidak pernah kesasar. Misalnya, saya naik bus Damri AC dengan tiket seharga Rp15 ribu ke Stasiun Gambir dari Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian dari Stasiun Gambir, saya naik bus TransJakarta dengan membeli tiket di station itu seharga Rp3.500,- tujuan ke Center Senen (Pasar Senen). Dari sana, saya menyambung dengan bus lain tujuan Kampung Melayu dan turun di depan Universitas Indonesia (Salemba). Kemudian, naik angkot 04 tujuan Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat.

Asal petunjuknya jelas dan tepat, saya bisa sampai ke rumah teman saya meskipun masih kesasar di beberapa gang-gang yang sempit dan ramai pemukiman penduduk. Daerah itu ramai penjual-penjual bahan bangunan. Kata teman saya, di daerah itu seperti pusat penjualan bahan bangunan.

Ada station (halte) bus TransJakarta yang sangat ramai, seperti Harmoni. Saya pernah terjebak macet dan mengantri untuk melanjutkan bus tujuan Pulogadung. Sepanjang tangga, orang mengantri. Tangga sangat sempit. Ada yang ingin naik, ada pula yang ingin turun. Pusing juga berdesak-desakan begini. Saya sempat terpikirkan, gimana kalau jam-jam kerja sibuk? Tambah padat manusia menumpuk dan antri di halte-halte dan bus-bus bukan?

Iyalah, ini kan Jakarta Bung!! Bukan Palembang, bukan pula Lampung. Orang seperti saya mana tahan berdesak-desakan dengan banyak orang untuk naik ke bus TransJakarta. Apalagi menunggu lama untuk pindah bus berikutnya. Kesabaran memang diuji setiap saat di sini. Tapi, ada saja waktu itu saya lihat ada seorang ibu memaksakan diri memotong jalur antri di tangga yang sempit. Sejumlah orang "ngomel" kepada ibu itu. "Bu!! Antri dong!! Jangan nyelonong aja!!"kata orang-orang menggerutu.

Inilah fenomena naik Bus TransJakarta. Masalah kemacetan Jakarta masih belum terpecahkan hanya dengan membangun infrastruktur jalur bus (busway) TransJakarta untuk masyarakat urban ibukota negara Indonesia ini. Salah satu sebab kemacetan Jakarta itu adalah jumlah kendaraan terlalu banyak dan fasilitas transportasi publik masih minim. Sering kali saya temui di jalan-jalan padat kendaraan, satu mobil kendaraan pribadi hanya seorang saja di dalam itu. Hampir rata-rata saya temui begitu. Wajar saja Jakarta penuh dengan mobil-mobil pribadi yang hanya dimuati satu orang (pengendara mobil).

Seperti sepanjang jalan Gatot Subroto adalah jalur padat dan ramai kendaraan. Ketika saya mengendarai sepeda motor di jalur itu, sering kali setiap pagi dan sore macet. Apalagi di dekat Plaza Semanggi. Sangat ramai sekali. Sepeda motor bersaing melewati celah-celah sempit yang ada. Di sinilah dibutuhkan keahlian pengendara sepeda motor dalam menyalip mobil-mobil yang terjebak macet. Berapa jam sehari waktu dihabiskan hanya karena macet ini? Memprihatinkan. Bagi saya, ini membosankan dan menyia-nyiakan waktu.
Adakah solusi yang benar-benar menjadi solusi atas kemacetan Jakarta?

*foto: Ketika Saya harus terpaksa mengantri di station (halte) Central Senen untuk mengganti rute TransJakarta tujuan Harmoni. Ada tulisan yang dibuat dari karton digantung di atas jembatan tangga penghubung itu. "X Deres Turun Antri Di Bawah"

Wednesday, January 02, 2008

Terbang Ke Jakarta

Saya ke Jakarta naik pesawat dari Bandara Raden Intan, Lampung, Sabtu pagi kemarin (30/12). Mungkin ini yang kedua kalinya saya naik pesawat. Sebelumnya, pertama kali naik pesawat, saya masih kecil. Kira-kira usia anak TK. Masih imut dan nakal. Waktu itu berangkat dengan ibu saya, dari Bandara Sultan Mahmud Badarudin II, Palembang, tujuan ke ke Bandara Internasional Juanda, Surabaya. Adik Ibu saya yang terakhir melangsungkan pernikahan dengan mempelainya.

Minggu sore (31/12), saya sudah kembali pulang ke Lampung. Saya tidak bisa berlama-lama di Jakarta karena ada urusan mendadak selama kurang dari 24 jam itu. Beruntung saya bisa menumpang menginap di rumah dua teman akrab saya, Abdul Aziz dan Hendri Gustian, di daerah Rawasari, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. (Terima kasih akhi, lain waktu saya menumpang lagi ya. Hehe...)

Perjalanan dengan menumpang pesawat terasa aneh. Betapa seperti orang baru pertama kali naik pesawat. Dengan memegangi sebuah kamera digital, saya memfoto-foto ruang tunggu keberangkatan pesawat di Bandara Raden Intan. Bahkan, pandangan saya seperti seorang detektif (halah..). Mata memandangi hampir ke penjuru sudut ruangan dan memerhatikan para calon penumpang yang akan berangkat. Sambil lirik-lirik adakah cewek cakep di sana? (Hehe..)

Hari Sabtu pagi itu, saya kira pesawat yang berangkat adalah pesawat yang saya tumpangi (Adam Air). Ternyata, pesawat Sriwijaya Air berangkat lebih cepat satu jam (sekitar pukul 9 pagi). Service mereka cukup memuaskan. Terlihat petugasnya menyediakan makanan kotak dan minuman hangat, seperti teh dan kopi. Ya, itu khusus penumpang Sriwijaya Air di Bandara Raden Intan, Lampung. Sayangnya, Adam Air tidak menyediakan itu. Saya hanya 'ngiler' aja melihat para penumpang Sriwijaya Air menyeruput minuman dan makanannya di ruang tunggu itu.

Satu jam setelah keberangkatan pesawat Sriwijaya Air ke Jakarta, tiba berikutnya keberangkatan pesawat yang saya tumpangi, Adam Air tujuan ke Jakarta juga. Kamera digital di tangan kanan saya siap membidik dan memfoto suasana lapangan terbang serta pesawat yang akan mengangkut saya.

Di depan pintu masuk pesawat, seorang pramugari cantik tersenyum. Ia berkulit putih dan manis (emangnya gula, Hehe...). Memang rata-rata harus begitu ya menjadi seorang pramugari. Seperti menjadi Sales Promotion Girl atau SPG. Ya, mungkin mutlak penampilan harus cantik. Soal kriteria lainnya bisa nomor dua dan kesekian kan?Untung saya dapat kursi paling dekat dengan jendela. Jadi, bisa melihat dan memfoto pemandangan yang sangat indah di luar. Diam-diam saya memfoto pramugari ketika pesawat sebelum "take off" dari bandara. Dua pramugari memperagakan keselamatan diri jika terjadi kecelakaan. Ada jaket pelampung di bawah kursi, masker oksigen di bagian atas, dan pintu darurat. Semua dipergarakan pramugari itu dengan santainya. Tampaknya para pramugari itu memang sudah sangat terbiasa memperagakan alat-alat keselamatan darurat itu setiap sebelum pesawat lepas landas.

Tiba-tiba suara pramugari memberitahu para penumpang terdengar dari pengeras suara. Pesawat siap "take off". Desingan suara jet pesawat terdengar keras hingga ke ruang kabin penumpang. Kamera digital saya letakkan mengarah ke luar jendela. Saya setting untuk mode video dan siap "record". Oh ya, tapi cuma punya hasil "record" pendaratan yang bisa lihat di sini.Menakjubkan! pesawat akhirnya terbang hingga mencapai 15.000 kaki!!. Hore!! Saya terbang. Pemandangan melihat ke bawah sungguh menakjubkan. Subhanallah. Indah sekali bisa melihat sebuah gugusan pulau. Seperti melihat Google Earth dari internet.

Tuesday, January 01, 2008