Saturday, March 31, 2007

Elit Politik Sebabkan Negara Miskin

Judul di atas adalah kesimpulan saya setelah menelusuri dan membaca beberapa suratkabar akhir-akhir ini. Bukan tanpa alasan saya berkesimpulan seperti di atas. Saya kira kalau ada sebuah lembaga independen yang nantinya membuat sebuah riset untuk mensurvei, mangapa negara ini sulit maju setelah kejatuhan rezim Orde Baru? Saya yakin responden akan banyak menjawab bahwa ulah para elit politik lah yang menyebabkan terhambatnya negeri yang kaya sumber daya alam ini sulit maju. Bahkan, jauh sekali dengan negara tetangga kita seperti Malaysia.

Selain membaca sejumlah suratkabar nasional yang berkaitan dengan kesejahteraan Indonesia, saya pun tak sengaja berdiskusi dengan teman saya. Masih berbicara tentang mengapa kita sangat jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Tapi, selain elit politik, sebuah negara pun sangat dipengaruhi dengan 'sepak-terjang' para pengusaha yang 'ambisius'.
"Hampir semua negara di dunia dikendalikan para pengusaha yang punya modal besar," kata teman saya itu.

Saya sepakat pernyataan itu. Bagaimana tidak, seperti di Indonesia banyak sekali para elit politk berpihak kepada para pengusaha kaya. Ya, meskipun 'tangannya' tidak tampak oleh publik, tapi di balik para elit politik pasti punya dukungan dari para pengusaha yang rakus itu. Mental kapitalisme yang mirip dengan negara Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Boleh jadi negara kita sudah hampir sewindu menghirup udara demokrasi. Tapi, tak berbeda jauh ketika di zaman Orde Baru. Yang miskin malah bertambah miskin. Jauh dari harapan akan semakin ada perubahan ke arah lebih baik kesejahteraannya.

Sebuah harapan dan cita-cita menjadi negara ke arah lebih baik dari sebelumnya belum tercapai. Jika mental para elit politik dan juga pengusaha masih tamak dan mementingkan diri sendiri, tidak akan mungkin negara kita akan bisa tercapai kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti amanat dalam UUD 1945.

Hanya berharap saja akan sulit, jika cita-cita negara ini berniat mensejahterakan masyarakatnya, alih-alih para elit politik dengan leluasa mempermainkan negara ini. Sekali lagi mereka melakukan itu hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya (partai politik, red). Masihkan kita tetap berdiam diri dan hanya menjadi mainan para elit politik negeri ini?

Wednesday, March 14, 2007

Sebuah Kebetulan


SEJAK saya berada di Jakarta kurang dari dua bulan lamanya, cukup banyak pengalaman yang saya dapatkan. Bukan saja sekedar pengalaman dan tantangan baru, saya bertemu banyak orang baru. Lalu, berkenalan dengan mereka dan saling tukar kartu nama. Tapi, sayangnya saya belum punya kartu nama yang terbaru. Yah, cukup saling tukar nomor HP atau e-mail saja.

Yang lebih bahagia dari itu semua adalah saya bisa bertemu dengan kakak saya ketika ia akan mengikuti pertemuan di sebuah perusahaannya yang berpusat di Jakarta. Namanya Evans. Saya lebih suka memanggilnya Eq. Hampir tidak pernah saya memanggilnya dengan mas (sapaan orang Jawa, red) atau kak. Sudah terbiasa sejak dari kecil memanggilnya tanpa sapaan kakak atau mas. (Foto: suasana senja di lantai atas Blok M Plaza)

Sebuah kebetulan sekali di awal Februari kemarin. Ia datang dari Papua. Perusahaannya menempatkan ia di sana hampir dua tahun lamanya. Sejak hampir satu tahun ini, saya tidak bertemu dengannya. Eq bilang, setelah selesai pertemuan di kantor, ia akan ke Palembang dan menemui ibu dan ayah kami di sana. Sayangnya, saya tidak bisa ikut dengannya ke Palembang.

Eq punya jiwa perantau. Sampai ke pelosok daerah mana pun di Indonesia, ia siap. Ia tidak mundur ketika diminta perusahaannya untuk pindah. Sebelum ditempatkan di Papua, ia ditempatkan di daerah Tulang Bawang, Lampung. Perusahaannya bergerak di bidang industri pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng. Dari ujung sumatera sampai Papua, perusahaannya ini mengelola kelapa sawit yang berpotensi. Tapi, kakak saya bukan di pengelolaan sawitnya. Ia di bidang sipil. Karena ia dulu jebolan sarjana teknik sipil di sebuah universitas di Palembang.

Kebetulan kedua, kemarin sore saya janjian bertemu dengan sepupu saya di Blok M Plaza. Sebelumnya, ayah saya yang mengabari saya kalau sepupu saya sedang berada di Jakarta Namanya Taufik. Beda dengan kakak saya, Eq. Saya akrab memanggil sepupu saya ini dengan Mas Taufik. Entahlah, karena keluarganya di Mojokerto, Jatim lebih sering memanggil sapaan ‘mas’.

Mas Taufik hampir lebih dari lima tahun bekerja di kapal. Di bawah bendera sebuah perusahaan anak mantan presiden Suharto. Ia bukan sebagai nahkoda, tapi bertugas marconi, semacam radio control di kapalnya yang mengangkut minyak BBM.

Senang sekali bisa bertemu lagi dengan sepupu saya ini. Terakhir saya bertemu dengannya ketika saat syukuran nikahannya di Mojokerto, Jatim pada bulan September 2006 lalu. Kami bertiga: Saya, Ibu dan Ayah saya saja dari Palembang yang datang ke acara syukurannya. Sedangkan kakak perempuan saya tidak bisa ikut karena masih sibuk dengan pekerjaannya ketika itu.

Sambil menikmati makan malam di sebuah gerai makan, saya ngobrol banyak dengan Mas Taufik. Katanya, ia sedang diklat di daerah Priok untuk persiapan pindah ke kapal yang akan mengangkut gas (LNG).

Alangkah bahagianya bisa betemu dengan keluarga sendiri. Sekali pun sekedar ngobrol dan menanyakan kabar keluarga di rumah. Tapi, saya melihat dari sorot matanya agak sedih. “Mas ini sebenarnya sedih kalau melaut (berada di laut, red), Rik. Tapi, gimana caranya bisa terlihat senang di depan orang tua,” katanya kapada saya. Saya jadi mengerti dengan kesedihannya berlayar setelah tahu dari ceritanya. Kini, ia bertambah cobaannya. Ia harus meninggalkan istrinya di rumah. Yah, demi mencari nafkah untuk keluarga barunya itu. []