Saturday, September 30, 2006
Majalah Teknokra: Kreativitas Penggiat Pers Mahasiswa Unila
Beberapa minggu terakhir ini, saya senang sekali dengan apa yang telah dilalui dan dicapai bersama dengan teman-teman di Teknokra. Pertama, Majalah terbitan kita, Teknokra Edisi September No.208 telah terbit pada pertengahan September lalu. Di saat itulah momen yang tepat, yakni kembalinya hampir seluruh mahasiswa Unila ke kampus masuk kuliah semester ganjil yang kemudian kita membagi-bagikan majalah gratis itu kepada mereka.
Majalah yang berisi 100 halaman ini adalah hasil liputan teman-teman Teknokra di lapangan. Liputan utama atau kita menyebutnya di dalam majalah terbitan tiga bulan sekali itu dengan rubrik Peristiwa, mengulas tentang permasalahan kepemilikan tanah di Pulau Sebesi, Lampung Selatan (Foto: cover majalah berwarna biru,red)
Selasa kemarin (26/09), menyusul terbit majalah Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2006. Majalah dengan jumlah sebanyak 60 halaman ini pun dibagikan secara gratis kepada mereka pendatang baru di kampus hijau Unila. Isinya kebanyakan adalah tentang liputan di sekitar kampus, macam kost-kostan dekat kampus atau biasa di sebut perkampungan mahasiswa Kampung Baru. Ada pula liputan tentang fenomena di FKIP yang kebanyakan para mahasiswinya mengenakan rok. Alasannya, fatwa wajib dari dekanat FKIP yang harus dipatuhi para ’calon guru’.
(Foto: cover bergambar kartun sedang memegang kamera, red).
Kedua majalah itu sama-sama terbit pada bulan ini. Entah dengan cara bagaimana saya sebagai pemimpin redaksi Teknokra, meluapkan rasa syukur dengan terbit kedua majalah itu, selain rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Perjuangan yang selama ini dilakukan bersama-sama sebagai tim work yang tangguh, tentu saja membawa kemenangan dan hikmah yang baik. Tak luput para kru redaksi hingga larut malam pun harus menyelesaikan rubrik demi rubrik hingga sesuai tearget (deadline,red). Namun, deadline masih sulit untuk ditepati yang seharusnya selesai akhir Agustus kemarin. Tapi, hal itu bisa dikejar lekas terbit saat memasuki momen awal bulan puasa Ramadhan dan mahasiswa baru mulai kuliah.
Selain Teknokra punya terbitan majalah triwulan, Teknokra punya terbitan lain. Namanya Buletin Teknokra News. Buletin ini mirip seperti koran-koran media cetak harian kebanyakan. Buletin dengan jumlah delapan halaman ini terbit setiap dua minggu sekali. Sama seperti majalah, ini dibagikan secara gratis kepada mahasiswa Unila. Boleh jadi kita memberikan istilah dengan ”Community Paper.” (Foto: Paling atas bertuliskan Teknokra yang dibuat ’tebal’)
Dari semua terbitan Teknokra adalah kerja keras semua kru. Mereka tidak dibayar untuk menghasilkan produk-produk jurnalistik itu. Kami masih mengandalkan uang untuk percetakan yang berasal dari uang SPP yang dibayarkan setiap mahasiswa setiap semesternya sebesar Rp 6 ribu. Boleh jadi mereka bisa disebut pelanggan bagi Teknokra. Tapi, Teknokra tidak mengelolah semua uang yang dibayarkan mereka, tapi Rektorat Unila yang memegang otoritas uang mahasiswa itu. Jadi, Teknokra hanya mendapatkan biaya terbitan saja. Tapi Teknokra bukanlah PR bagi Rektorat. Teknokra adalah insan pers mahasiswa yang independen tidak berpihak kepada siapa pun kecuali pada kebenaran dan juga kritis dalam penyampaian informasi kepada publik.
Friday, September 29, 2006
Wednesday, September 27, 2006
Susahnya Mengalahkan Rasa Ngantuk
Puasa Ramadhan ini sebenarnya banyak orang Islam yang percaya kalau ibadah-ibadah macam membaca Al Quran, salat Tarawih dan Witir, juga lainnya, akan dilipatgandakan pahalanya. Saya tidak tahu persis berapa kali lipat. Dulu pernah belajar dan tahu tentang ini, tapi sayangnya saya lupa. Tak apalah, yang penting adalah ibadah puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga saja, tapi lebih dari itu tadi. Menambah ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Kadang-kadang saat minggu pertama puasa, boleh dibilang sedang rajin-rajinnya dan ramainya menunaikan salat Tarawih. Bagus. Tapi, namanya juga manusia, semakin hari semakin ‘kendor’ semangat salat di masjid secara berjamaah itu. Seperti saya, semalam ketika setelah salat Isya dan sempat sedikit mendengarkan ceramah, tapi sayangnya tidak sampai selesai. Kemudian, rasa ngantuk yang selalu mengganggu konsentrasi. Akhirnya saya lebih baik memilih pulang ke sekret Teknokra, dan tidur dengan lelap.
Tapi, kalau dibandingkan dengan teman-teman saya saat setelah sahur dan salat Subuh, saya tidak ikut-ikutan tidur seperti mereka. Wah, mereka kebanyakan memilih tidur seperti pagi-pagi seperti ini. Kalau saya rasanya saat mengantuk, yah kadang-kadang juga tidur seperti mereka. Memang susah mengalahkan rasa mengantuk. Sampai-sampai saya pernah menahan rasa mengantuk kemudian air mata saya keluar. Seperti menangis saja.
Jadi, tidurlah jika mengantuk. Tidak perlu dipaksakan ditahan untuk tidak tidur. Betul tidak?
Saturday, September 23, 2006
Refreshing di Pantai Maitam
Minggu siang kemarin (17/09), saya dan teman-teman Teknokra berencana jalan-jalan ke pantai Maitam. Pantai yang berjarak kira-kira 30 km lebih dari pusat kota Bandarlampung ini, ternyata lumayan memakan waktu dua jam perjalanan. Jalan-jalan ke Pantai Maitam adalah yang pertama kali buat saya. Kita yang berjumlah sekitar 25 orang berangkat ke sana dengan menyewa dua angkot. Menyenangkan sekali bisa liburan seperti ini dengan teman-teman.
Ternyata datang ke pantai bukan sekedar refreshing saja siang itu. Kita (Teknokra,red) kehadiran kru baru yang telah melewati masa magang. Ada sekitar delapan orang yang seharusnya datang dan dilantik. Tapi, yang hadir saat itu hanya tiga orang saja. Mereka adalah Nur Amalia, Risma Evika, dan Riski Sherindani. Nantinya untuk ke depan, dari merekalah nafas Teknokra akan selalu terus dijalankan. Regenerasi akan selalu berputar.
Acara pelantikan mereka yang didaulat menjadi bagian dari keluarga besar Teknokra, terlihat unik dengan dandanannya. Ada yang mengenakan batok kelapa di letakkan di atas kepala mereka. Ada pula dikalungi rumput. Sepertinya saya langsung kembali teringat masa ketika dulu seperti mereka dilantik tiga tahun lalu. Dari ujung rambut sampai kaki basah oleh air laut yang asin rasanya. Sekalian menyemplung dan main air laut di pinggir pantai.
Setiap momen seperti ini, tidak terasa puas tanpa kehadiran sang juru foto alias fotografer. Bagaimana tidak, semua kru Teknokra sangat doyan sekali ketika akan difoto. Fotogenit. Bahkan, Padli (Redaktur Pelaksana,red) saya menganugerahkan dia The year of Fotogenit. Karena dia selalu ada di setiap jepretan foto. Pokoknya, asik sekali berpetualang menyeberangi laut ke sebuah pulau. Air laut yang saya seberangi itu tingginya sekitar dada saya. Cukup dalam, apalagi teman-teman cewek.
Pulang dari pantai itu tanpa terasa sudah hampir matahari tenggelam. Sampai kembali ke kostan saya pun waktu Isya telah tiba. Benar-benar liburan menjelang puasa Ramadhan nih. Kangen rasanya nanti bisa main dan refreshing di pantai ini lagi.
Thursday, September 21, 2006
Goes to Java (2)
Penyeberangan dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan ke Pelabuhan Merak, Banten dengan menggunakan Kapal Ferry biasanya memakan waktu dua jam lamanya. Terkadang, jika telah mendekati pelabuhan yang dituju bisa menghabiskan waktu selama tiga jam. Sebab, kapal yang hendak bersandar harus mengantri giliran dengan kapal di darmaga.
Kami tiba di pelabuhan Bakauheni pada malam hari sekitar pukul delapan, Sabtu (26/08) lalu. Dari rumah (Palembang,red) memang sengaja berangkat pagi-pagi setelah salat subuh. Agar selama di perjalanan melalui lintas tengah Sumatera masih cerah dan memudahkan pandangan ke jalan yang banyak di penuhi lubang-lubang besar dan aspal yang rusak. Tentu saja akibat beban muatan truk yang berlebihan.
Sebelum kami membeli tiket untuk naik ke atas kapal di sebuah loket pembelian khusus kendaraan bermotor, tiba-tiba dari arah depan saya dikejutkan seorang polisi yang sedang mengawasi setiap kendaraan pribadi. Polisi itu menggunakan senter dan melihat setiap bagasi mobil.
Tiba giliran mobil yang saya kendarai diperiksa polisi itu. “Selamat malam Pak!” ujarnya kepada saya sambil mengangkat tangan kanannya, seperti hormat. “Dari mana ini?” tanya polisi itu. “Kami dari Palembang Pak,” kata saya. “Boleh lihat surat-suratnya?” Saya teringat dengan SIM A milik saya telah kadaluarsa alias tidak berlaku lagi. Tapi, saya tetap tenang dan hanya menyerahkan STNK mobil kepada polisi itu. Ia tidak menanyakan SIM. Lalu, polisi yang masih tampak muda itu melihat-lihat bagasi belakang yang penuh dengan barang. Ia pasti lupa menanyakan SIM pikir saya. Setelah menyerahkan STNK, ia kemudian menyuruh melanjutkan ke kapal. Alhamdulillah lancar, pikir saya.
Setelah membeli tiket kapal, mobil untuk kendaraan pribadi menempati di atas kapal. Sedangkan di bawah biasanya untuk kendaraan besar, macam bus dan truk. Setiap kami melakukan perjalanan ke jawa dengan mobil, memang selalu menyeberang dari pelabuhan Bakauheni pada malam hari. Suasana di atas kapal sedikit ramai. Angin berhembus kencang. Agak dingin, tapi terasa kering. Mungkin karena musim kemarau masih berlangsung.
Tanpa sengaja, di atas kapal itu ada semacam organ tunggal. Mungkin hiburan buat para penumpang untuk melepas kejenuhan dan capek. Saya lihat, persis sama perlengkapan berdangdut di atas kapal itu seperti di acara-acara organ tunggal kebanyakan. Di bawah sorot lampu yang terang, mulailah lagu-lagu dangdut 'bertubi-tubi' menghentakkan di atas kapal. Ada sekitar tiga cewek yang bernyanyi. Mereka saling bergantian untuk membawakan lagu-lagu. Kadang-kadang sambil bergoyang pinggul. Ada pula saya lihat seorang laki-laki ikut bergoyang di hadapan penyanyi itu. Laki-laki itu memegang beberapa lembar uang kertas. Dugaan saya pasti uang itu untuk si penyanyi ‘ngebor’ itu. Saya sempat mengambil beberapa gambar di sana. Hasilnya memang agak kurang bagus jika dilihat. Malam itu saya menemukan fenomena di atas kapal Ferry. Penyanyi dangdut dan organ tunggal berjalan di atas kapal. Ajeb...ajeb...ajeb....
Saturday, September 16, 2006
Desainer Grafis The New York Times
Menarik sekali pikir saya apa yang ditawarkan kepada saya. Selain itu, pemateri yang akan memberikan pelatihan desain grafis untuk media cetak di Lampung itu berasal dari koran ternama di sana. Namanya Georgia Scott. Wanita berkulit hitam ini bekerja sebagai Art Director pada koran The New York Times.
Tentu saja saya tidak akan menyianyiakan kesempatan langka ini. Sebelumnya, Gery bilang kepada saya bahwa pelatihan desain grafis itu untuk dua koran ternama di Lampung, yakni Lampung Post dan Radar Lampung. Lampung Post adalah group dari Media Indonesia. Cukup mudah bagi orang yang pernah membaca koran ini kemudian akan teringat dengan koran milik pengusaha ternama, Surya Paloh yang juga memiliki stasiun televisi Metro TV. Mengapa? Pada huruf ‘O’ terdapat lambang burung rajawali. Kata Ade Alawi, Pemimpin Redaksi Lampung Post suatu hari bilang kepada saya, arti dari lambang itu bermakna filosofis yang diciptakan Surya Paloh, yang artinya cepat.
Pesaingnya, koran Radar Lampung adalah group dari Jawa Post. Koran yang berinduk di Surabaya, Jawa Timur ini pun juga termasuk terbesar karena mempunyai koran-koran di sejumlah daerah dengan menamakan pada awal koran itu ‘Radar’ dan diikuti nama daerah/kotanya. Sebagai contoh: Radar Malang, Radar Madiun, Radar Lampung, Radar Palembang, dan masih banyak lagi Radar-Radar lainnya.
***
Saya sebagai pemimpin redaksi di tempat saya belajar dan menghasilkan karya jurnalistik, kemudian mengutus Uchy untuk mengikuti pelatihan desain grafis yang eksklusif itu. Georgia Scott belum fasih berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, ia ditemani Eva Dayanti untuk menerjemahkan ketika menyampaikan materi kepada peserta yang kebanyakan bertugas sebagai desainer di masing-masing koran. Eva Danayanti adalah manager harian di Yayasan Pantau Jakarta, sebuah yayasan yang fokus membangun jurnalisme yang bermutu untuk Indonesia. Ia adalah senior saya ketika dulu pernah menjabat Pemimpin Usaha Teknokra pada 2004 lalu.
Hari pertama, Rabu (13/09) lalu, saya yang sebetulnya bukan peserta tetap, penasaran kemudian ikutserta dalam pelatihan desain grafis itu di kantor redaksi Lampung Post. Ketika itu ada sekitar belasan peserta yang mengikuti pelatihan di sana. Metode Georgia menyampaikan kepada peserta dengan berbahasa Inggris sepatah kalimat, lalu diterjemahkan Eva dengan bahasa Indonesia. Begitu seterusnya dari pagi hingga sore hari.
Pada hari berikutnya (Kamis, 14/09) sekaligus hari terakhir pelatihan untuk di kantor redaksi Lampung Post, saya dan Uchy sempat mendapat kesempatan saat istirahat, majalah terbitan terbaru kami dikoreksi oleh Georgia Scott. Dia bilang, hanya beberapa saja yang dia koreksi dan dianggapnya kurang baik dalam desain lay out-nya. Untuk itulah ia datang, bukan untuk memuji yang bagus-bagus. Saya sepakat dengannya. Beberapa kali saya mencoba berkomunikasi langsung dengannya dengan bahasa Inggris. Sedikit tergagap-gagap. Harap maklum, my English is rather bad. Tapi, saya senang bisa berjumpa dan berbincang dengannya tanpa harus meminta Eva untuk menerjemahkan ke bahasa Indonesia.
Sekitar sore pukul 15, pelatihan desain grafis itu telah usai. Di akhir acara itu, Georgia Scott memuji tampilan lay out koran Lampung Post. Tepat hari ini (Jumat, 15/09) saya membaca koran Lampung Post yang memuat berita pelatihan itu, lengkap ada foto Georgia Scott. Suatu kebanggaan bagi Lampung Post selama ini menampilkan wajah korannya telah cukup bagus. Padahal, pemimpin redaksinya, Ade Alawi kepada saya mengatakan, selama ini ia dan kru-kru redaksinya masih merasa kurang menarik terhadap tampilan lay out-nya. “Selama kita selalu masih merasa kurang puas, maka kita akan selalu membuat perubahan yang semakin baik,” kata saya mengomentari Ade Alawi.
***
Setelah selesai acara pelatihan itu, saya tidak tahu Ade Alawi mengajak Georgia Scott ditemani Eva Danayanti dan kami (saya, Gery, Aan, Uchy dan Wahyu) jalan-jalan dengan mobilnya ke sejumlah tempat menarik di kota Bandarlampung, seperti rumah-rumah adat kabupaten propinsi Lampung, di Way Halim. Sore menjelang matahari terbenam, kami menikmati makan malam di sebuah café. Di café itu bisa melihat pemandangan kota Bandarlampung hingga ke penjuru pantainya. Saya menyempatkan mengabadikan beberapa foto. Maklum, di café itu tempatnya termasuk tinggi. Kami mengobrol santai di sana hingga saya pun sangat menikmati makan malam dengan menu nasi dan capcay. Lezat sekali! Suatu saat nanti, saya ingin sekali ada moment jalan-jalan seperti ini. Tentu saja dengan gratis. Hehe…
Thursday, September 07, 2006
Goes to East Java-1
Saya buat tulisan perjalanan ini bersambung. Jadi, ikuti saja terus perkembangannya. Jangan terlewatkan! Yah, jadi seperti iklan saja. Hehe..
***
Ongomong-ngomong soal jalan-jalan, baru saja saya dengan orangtua saya pulang dari perjalanan yang cukup jauh ke jawa timur. Dua minggu lamanya. Di