Tuesday, January 30, 2007

Dari Salemba ke Depok

Hampir sepuluh hari lebih saya berada di Jakarta. Tidak terasa memang, seperti berada di kota kelahiran sendiri. Padahal, Jakarta adalah kota metropolitan yang sangat ramai penduduknya jika dibandingkan dengan kota mana pun di Indonesia.

Saya beruntung punya teman di Jakarta yang mau menampung saya. Lebih tepatnya ia teman sekaligus kakak tingkat saya dulu ketika ia pemimpin redaksi di Teknokra Unila tahun 2003 lalu. Sudah hampir dua tahun lebih ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di sebuah harian nasional.

Selain ia, ada kakak tingkat saya yang lebih dahulu awal ke Jakarta. Ketika masih mahasiswa sekitar tahun 2004, Ia dipercaya sebagai pemimpin redaksi di Teknokra Unila. Sekarang ia juga bekerja di sebuah koran harian nasional di Jakarta. Pengalamannya sebagai reporter di lapangan cukup banyak ia dapat. Teman-teman seprofesinya pun dari berbagai macam media massa di Jakarta.

Ada satu lagi kakak tingkat saya yang ketika dulu juga pernah dipercaya sebagai pemimpin redaksi Teknokra Unila pada tahun 2002. Tapi, ia belum genap satu tahun hijrah di Jakarta dan bekerja di sebuah harian nasional.

Kalau saya lihat, kebanyakan mereka mantan pemimpin redaksi ini setelah menyelesaikan studi, kemudian langsung bekerja di media massa. Sebuah kebetulankah? Entahlah, saya yakin mereka berniat berprofesi menjadi seorang jurnalis. Suatu saat nanti mungkin saya pun demikian mengikuti jejak mereka. Tapi, setelah saya lebih dulu menyelesaikan studi saya di kampus.

***

Senin lalu (22/1), saya ingin menemui Aziz, teman seangkatan saya ketika dulu satu SMA di Palembang. Kini ia bekerja di kantor Departemen Keuangan, di daerah lapangan banteng, Jakarta Pusat. Tapi, kebetulan saat itu saya berangkat agak siang dari Kebayoran Lama. Seingat saya ia pernah bilang kalau kostannya di daerah Salemba, tidak jauh dari UI Salemba. “Akh, kostan ane di Salemba,”begitu sms-nya kepada saya. Akh atau akhi itu sama seperti panggilan ‘saudara laki-laki’ jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Sejak siang sampai sore saya ada di UI Salemba. Menunggu teman saya ini kembali dari kantornya. Sambil menunggu, saya keliling beberapa gedung kampus yang diperuntukkan bagi mahasiswa Kedokteran UI ini. Kebanyakan bangunannya sudah tua. Terlihat dari bentuk bangunannya yang terkesan kuno. Tapi, cukup masih terawat dengan baik dan beberapa bangunan di sana sedang direnovasi.

Setelah Aziz pulang dari kantor, ia menjemput saya di masjid UI Salemba. Saya janji menunggunya di sana. Ia menunjukkan kostannya di daerah Kenari dalam. Tidak jauh dari jalan besar yang berseberangan dengan Mall Kenari. Ia mengajak saya ke kostan Fadli, teman saya juga ketika satu SMA, di dekat UI Depok. Kita pun segera berangkat sore itu juga. Pikir saya kita ke Depok naik bus. Tapi sebelum berangkat, kita berdua menunggu Fitri, teman satu SMA juga. Ia kini bekerja di sebuah perusahaan di daerah Ancol, Jakarta Utara. Fitri tinggal di kostan di daerah Salemba.

Kita bertiga jadi berangkat ke Depok sore itu juga naik taxi. Sudah agak sore menjelang Maghrib. Di dalam taxi, Aziz yang sering saya panggil dengan nama ‘Ujok’ ini, terlihat sakit perut. Tapi, ia masih terlihat sehat bugar. Lincah juga orangnya meskipun badannya kecil. Fitri yang duduk di kursi depan, kadang tertawa melihat tingkah lakunya. Ya, sepanjang perjalanan ke Depok, kita ngobrol dan sering bercanda. Mungkin saja untuk mengobati sakit perut Ujok.

***

Sekitar pukul delapan malam kita bertiga sudah sampai di Jalan Margonda Raya. Saya tanya kepada Ujok, di mana kampus UI Depoknya? “Itu di seberang. Masuk jalan Univ Gunadarma, Nah di dalam kampus UI-nya,”kata Ujok. Karena sudah malam, saya tidak tampak jelas melihat tanda masuk ke kampus UI Depok. Di jalan raya masih terlihat ramai sekali dengan kendaraan bermotor yang saling berlawanan.

Kita bertiga turun dari taxi di depan sebuah warnet dan game center. Kata Ujok, kita menunggu Fadli menjemput. Tak jauh dari jalan masuk ke kostan Fadli. Beberapa menit kemudian, Fadli muncul dan menyapa kita bertiga. Saya seperti reuni bertemu dengan teman-teman lama SMA. Hingga kini kita masih bisa dipertemukan kembali.

Cukup lama setelah ketemu dan ngobrol di pinggir jalan Margonda Raya yang masih tetap ramai itu. Ingin mencari tempat buat makan malam saja bingung. Memang banyak sekali pertokoan yang ada di sana. Akhirnya, kita ketemu tempat makan dengan menu sayur asam dan ikan asin. Wah sedap rasanya. Sudah lama sekali tidak menikmati sayur asam. Pokoknya, malam itu seperti acara reuni kecil-kecilan. Ngobrol banyak hal sampai bercanda.

Setelah makan malam, saya menginap di kostan Fadli yang tidak jauh dari jalan Margonda Raya. Saya lupa nama gang masuk ke dalam kostannya. Sedangkan Ujok dan Fitri langsung pulang ke Jakarta. Karena mereka berdua akan bekerja keesokan harinya.

***

Besok pagi, Selasa (23/1) saya berangkat kembali ke Salemba. Motor saya dititipkan di kostan Ujok ketika kita kemarin berangkat ke Depok. Sebelum saya berangkat, Fadli sudah lebih awal berangkat ke tempat kerjanya di Univ.Al Azar, Jakarta.

Sebelum sampai ke Jakarta, Ujok sms saya. Katanya, motor saya dibawanya ke kantor. Tujuan saya menuju ke daerah lapangan banteng, kantornya Ujok ada di sana. Sampai di kantornya itu, saya bingung dengan kantornya yang banyak. Ada lebih dari tiga gedung kantor yang berlantai lebih dari 10. Ujok menempati kantor di Gedung D.

Sampai siang saya di sana. Ia mengajak saya keliling beberapa tempat gedung-gedung milik Departemen Keuangan itu. Saya sesekali membayangkan bagaimana bisa berkerja di sana. Tapi, itu tidak mudah. Kebanyakan yang saya tahu para pegawai yang bekerja di DepKeu itu adalah para lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Ya, kecuali mungkin ada lulusan dari luar itu yang bernasib baik bisa bekerja di kantor pimpinan Ibu Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan pemerintahan SBY-JK sekarang. []

Di Permata Hijau

Minggu pagi kamarin (21/1), Reza dan Hendi datang ke Jakarta. Mereka berdua adalah pengurus Teknokra periode sekarang. Reza masih menjabat sebagai Redaktur Foto, sedangkan Hendi menggantikan Mayna sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) di Teknokra.

Rencananya mereka akan menghadiri acara syukuran atas pernikahan Mas Andreas dan Mbak Sapariah. Mas Andreas pernah menjadi instruktur untuk kegiatan Teknokra, yakni Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa tingkat Lanjut dan untuk tingkat Pengelola, berturut-turut pada tahun 2003 dan 2004 di Bandar Lampung.

Acara syukurannya pada malam harinya. Tapi, kita berempat, saya, Bang Yamin, Hendi dan Reza, pagi-pagi sudah berangkat ke apartemen Mas Andreas di Permata Hijau. Yah, untuk sekedar bantu-bantu mempersiapkan perlengkapan acara di lantai bawah apartemennya. Di sana juga kami berempat bertemu dengan Mbak Eva. Ia mantan Pemimpin Usaha Teknokra periode 2004 lalu. Kini ia bekerja di Yayasan Pantau Jakarta.

Kami juga bertemu dengan beberapa orang yang terlibat di Pantau, seperti Mas Nugie (sekarang jurnalis di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia), Imam, Yunus dan masih banyak lagi lainnya. Termasuk Mbak Eva, cukup piawai juga bisa merekrut teman-teman kostan cewek untuk mendekorasi ruangan di lantai bawah aparteman itu menjadi berwarna merah. Mereka terlihat cukup kompak menata satu per satu item buat persiapan malamnya.

Yang laki-laki kebagian yang berat-berat. Seperti mengangkat meja, memasang spanduk ‘Indopahit’, dan masih banyak lagi lainnya. Acaranya di pinggir kolam renang. Di dekat kolam itu, ada mainan anak kecil macam kuda-kudaan. Saya mencoba duduk dan bergoyang-goyang di atas kuda-kudaan itu. Begitu pula Hendi, Reza dan Bang Yamin mencobanya. Asik juga, seperti teringat kembali masa ketika dulu usia TK.

***

Sampai sore hari kami berempat berada di tempat syukuran Mas Andreas. Satu per satu terlihat sudah selesai dipersiapkan. Begitu pula dekorasi dan musik yang lengkap. Malamnya, kami berempat sudah siap dengan berdandan rapi. Sejumlah tamu sudah terlihat ramai di acara itu. Di sana pun saya bertemu dengan beberapa kontributor Pantau yang pernah menulis untuk Majalah Pantau, macam Chik Rini, Mas Buset dan Alfian Hamzah. Ada pula yang belakangan ini saya kenal dari tulisannya dari situs pantau.or.id, adalah Samiaji Bintang. Mbak Eva pun mengenalkan kepada Gunawan Mohammad. Ia adalah redaktur senior di Majalah Tempo dan sering mengisi rubrik Catatan Pinggir setiap minggu terbitannya.

Malam itu pula saya bertemu dan diperkenalkan dengan Mbak Elva dan Bang Syahran Lubis. Keduanya adalah alumni Teknokra. Mbak Elva memang sering ‘nimbrung’ di milis Teknokra sejak awal mulai dirilis. Beliau sekarang bekerja di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia. Sedangkan, Bang Syahran adalah Redaktur Pelaksana di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia juga. Saya langsung teringat dengan Bang Aldrin di Lampung ketika bertemu dengan Bang Syahran. Beliau suka sekali bergurau, meskipun terlihat orangnya serius.

Saya kembali seperti reuni alumni Teknokra di Jakarta. Kapan lagi bisa seperti ini? []

Djakarta


SAAT mendengar sebutan Jakarta, mungkin terbayang sebuah ibukota Indonesia yang memiliki segudang aktivitas rutinitas manusia yang luar biasa banyak jumlahnya. Bahkan, seolah kota berpenduduk lebih dari 7 juta jiwa ini, aktivitasnya tidak pernah mengenal lelah sekalipun hingga larut malam. (Foto: Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan)

Entah dari mana kebanyakan orang tetap rela berjuang dengan ‘mati-matian’ agar bisa mencapai kota Jakarta dan bekerja di sana. Intinya mencari sesuap nasi dan memperbaiki kualitas hidup agar lebih sejahtera. Berbagai cara yang ditempuh untuk dapat bekerja pun bermacam-macam. Ada yang sebalumnya mempunyai bekal keahlian, ada pula hanya bermodal nekat saja tanpa mempunyai kemampuan yang cukup.

Siapa pun bisa ke Jakarta. Untuk sekedar mencoba peruntungan nasib atau sekedar mencari pengalaman merasakan ‘kerasnya’ hidup di Jakarta. Ada dua pilihan yang akan didapat, berhasil atau kurang beruntung.Itu saja. Jika ia bernasib baik, mungkin akan tetap bertahan dan terus berusaha untuk lebih baik lagi.

Kamis kemarin (17/1), Saya mencoba ke Jakarta untuk kerja praktek di sebuah media massa. ‘Aura’ Jakarta begitu memikat saya sehingga ingin sekali mencoba ke sana. Yah, meskipun hanya sekedar kerja praktek untuk melengkapi mata kuliah yang kurang. Siapa tahu setelah lulus atau wisuda, langsung mendapat tawaran bekerja di Jakarta. Sebuah rezeki bukan?

Saya berangkat dari kostan sekitar pukul 09.37 WIB. Tak ada persiapan khusus saat mau berangkat ke Jakarta menggunakan motor Legenda hitam saya. Baju-baju kemeja buat persiapan di sana pun, baru saya strika pagi hari. Saya bawa dua tas ransel. Yang satu isinya pakaian-pakaian buat persiapan di sana. Yang satunya lagi, untuk bawaan perlengkapan-perlengkapan saat kerja praktek nanti.

Selama perjalanan dari kostan menuju pelabuhan penyeberangan Bakauheni, Lampung Selatan, kira-kira saya menghabiskan waktu selama dua jam perjalanan. Kecepatan motor biasanya saya kendarai rata-rata 70-an Km per jamnya. Selama perjalanan, terkadang hujan gerimis lalu kembali cerah lagi sampai di pelabuhan penyeberangan Bakauheni.

Memasuki Pelabuhan Bakauheni, sebelum naik ke kapal Ferry (sebutan semua kapal penyeberangan Bakauheni-Merak), kendaraan bermotor dan penumpang harus membayar biaya penyeberangan. Saya yang mengendarai sepeda motor dikenakan sebesar Rp23 ribu rupiah untuk satu kali perjalanan penyeberangan. Sedangkan untuk penumpang biasa per orang Rp7 ribu rupiah. Saya lupa berapa biaya penyeberangan untuk mobil. Karena tidak menggunakan mobil, jadi ya malas mau melihat-lihat tarif biaya penyeberangannya. Hehe..

Saya pikir setelah membeli tiket di loket tiket kendaraan, kemudian segera masuk ke dalam kapal Ferry. Sayangnya, dugaan saya salah. Kapal Ferry dari Pelabuhan Merak baru saja akan merapat di darmaga Bakauheni. Satu per satu mobil yang baru datang pun mengantri di belakang. Menunggu kapal segera bersandar. Cukup lama sehingga terkadang membosankan buat saya hanya melihat kapal itu pelan-pelan mendekat. Kira-kira ada satu jam hanya menunggu kapal itu.

Di belakang, ada beberapa kendaraan bermotor sudah mengantri ingin secepatnya masuk ke dalam kapal. Seperti kebanyakan truk angkutan barang juga telah rapi berjejer mengarah ke kapal Ferry.
Akhirnya, kepal berhasil bersandar. Seorang petugas di atas kapal melempar tali ke arah darmaga, lalu ditambatkan ke pengaitnya oleh petugas jaga di bawah. Satu per satu kendaraan bermotor keluar dari kapal itu. Ada bus, truk, mobil pribadi, dan sepeda motor. Terlihat nomor kendaraan dari berbagai daerah. Saya pun segera masuk kapal bersama dengan puluhan sepeda motor lainnya. Beriringan masuk dan naik ke tingkat atas kapal. Yang di bawah hanya untuk bus dan truk. Sedangkan yang di atas untuk seluruh kendaraan pribadi.

Di atas kapal Ferry, dimulailah perjalanan menuju pelabuhan Merak kurang lebih dua jam. Saya merapatkan sepeda motor saya dekat dengan pegangan di tepi kapal itu. Selain sepeda motor saya, ada tiga sepeda motor diparkir di sana. Sambil memandangi pelabuhan di saat kapal mulai berlayar, saya mengambil beberapa momen foto dari saku kamera digital yang saya bawa. Ada beberapa anak remaja melompat dari atas kapal kemudian menceburkan diri ke dalam laut. Sempat kaget juga tiba-tiba ada beberapa anak itu melompat tanpa rasa takut.

Sejak awal kapal mulai berangkat, saya menikmati setiap pemandangan di laut dan darmaga yang ditinggalkan. Ada kapal Ferry dan kapal penumpang capat (ukurannya lebih kecil daripada kapal Ferry dan hanya dapat mengangkut penumpang saja, red) masih bersandar.

Dari arah jauh saat kapal mulai meninggalkan darmaga, terlihat gedung Siger berdiri mega di atas bukit. Entahlah, apa isi dari gedung itu. Sekalipun saya belum pernah masuk ke sana. (Foto: Kapal Ferry yang terbakar beberapa waktu yang lalu. Berlabuh di Darmaga Merak, Banten)

Lama-lama di atas kapal terasa bosan juga melihat laut yang itu-itu juga. Berombak, luas dan saya tak melihat ikan satu pun dari atas kapal. Ada juga sampah-sampah plastik yang mengapung di atas permukaan laut sepanjang perjalanan kapal ke Pelabuhan Merak, Banten.

Di atas kapal pula, saya baru menyadari belum makan siang. Saya pikir kalau membeli nasi buat makan siang, pasti mahal. Akhirnya, saya hanya membeli sekaleng minuman dingin ‘Pocari Sweat’. Segar sekali setelah seteguk demi seteguk saya meminumnya. Tapi, alangkah kagetnya setelah saya mendengar kata penjual harganya Rp12 ribu. Ya sudahlah, tak apa-apa pikir saya. Kaleng sudah saya buka dan telah diminum juga. Lain kali untuk persiapan makan atau minum, tidak lagi membelinya di atas kapal. Mahal sekali bok!

***

Saya baru sempat makan siang setelah tiba di Kota Serang. Kira-kira pukul 16 sore. Saya beristirahat sekaligus salat Ashar dan dijamak dengan Dzuhur di Masjid Agung kota Serang, Banten. Di depan masjid ini, ada sebuah rumah tempat tinggal Kak Ferry, alumni Teknokra yang pernah menjadi Pemimpin Umum periode 2003-2004. Sekarang ia telah bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Sereng, Banten. Tapi, Kak Ferry tidak lagi tinggal di sana.

Setelah makan di dekat masjid itu, saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Mungkin nanti sampai di Jakarta sudah malam, pikir saya. Tak apalah. Langit terkadang mendung. Tanda bakal hujan. Sore menjelang malam, hujan mulai mengguyur saat saya masuk kota Tangerang. Saya teruskan perjalanan sekalipun hujan gerimis. Tapi, lama-lama hujan menjadi deras sampai saya tiba di Jakarta Barat. Yah, celana sampai sepatu saya harus rela karena basah oleh guyuran hujan.

Sampai saya tiba di Universitas Trisakti di daerah Grogol sekitar pukul 8 malam. Di sana saya berhenti sejenak untuk melepas lelah. Baju yang saya kenakan basah, karena sepanjang perjalanan tidak berhenti. Terkadang terkena siram air di jalan dari mobil yang mendahului. Byuuurr…!!

Handphone di kantong celana saya tiba-tiba error. Ah, satu-satunya alat komunikasi ini bisa rusak saat dibutuhkan. Di layar LCD-nya tertulis,”Insert Card.” Berkali-kali saya matikan, lalu dihidupkan dan begitu pun seteruskan, selalu saja muncul pesan itu. Tangan saya lembab. Baju kaos yang saya pakai untuk mengeringkan HP tidak cukup berguna. Kan selama perjalanan basah oleh siraman hujan.

Akhirnya HP itu saya coba buka baterai dari dalam cassing-nya, kemudian SIM Card saya cabut dan dikeringkan dengan handuk di tas saya. Syukurlah, ternyata hanya terkena air saja dan HP segera men-detect sinyal. Tapi, tiba-tiba HP saya setelah itu tidak bisa menekan semua tombol-tombolnya. Waduuuhh…saya tiba-tiba panik. Saya pikir tidak ada gunanya menekan semua tombolnya. Sekalipun ada beberapa sms masuk ke HP saya itu. Tak bekerja sama sekali. Dimatikan, lalu dihidupkan kembali pun sama saja tidak mau kembali normal seperti biasa.

Tidak jauh dari pintu gerbang masuk Univ Trisakti itu, saya coba menemui seseorang di sebuah ruangan kantor BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) kampus itu. Sepertinya mereka adalah mahasiswa. Ada tiga orang di dalam. Saya minta tolong di antara mereka bertiga meminjamkan saya HP-nya untuk menghubungi teman saya yang ada di Jakarta.

Cukup menenangkan dan lega setelah menghubungi teman saya itu. Tapi, saya masih belum dapat menggunakan HP saya untuk sms ataupun menghubungi teman saya yang lainnya. Yah sudah, saya kemudian memutuskan melanjutkan perjalanan sampai saya menemukan wartel.

Terkadang HP saya itu dipukul beberapa kali ke tangan saya. Namun, tak juga berfungsi kembali seperti semula. Semua tombol seolah tidak berfungsi sama sekali. Beberapa sms yang telah masuk tidak bisa saya baca. Bahkan, ketika saya dihubungi teman saya tidak dapat menjawab. Aduh, saya hanya bisa berdo’a dan pasrah saja. Tak lama dari itu, akhirnya saya bisa memfungsikan beberapa tombol HP saya. Langsung saja saya menghubungi teman saya. Kata teman saya ini, kita bertemu di depan gedung Jakarta Design Center. Kalau tidak salah itu daerah Slipi yang lebih dekat menuju Kebayoran Lama, tempat kostan teman saya ini.

Syukur alhamdulillah, saya ketemu dengan teman saya ini di depan gedung itu. Saya bakal ‘ngegembel’ malam itu jika tidak bisa ketemu dengan teman saya. Lega sekali bisa beristirahat dan mengeringkan badan setelah selama perjalanan diguyur hujan. Welcome to Jakarta! []

Saturday, January 13, 2007

Siap Menjadi Tenaga Profesional


Sejak pagi sekitar pukul 9, saya mengikuti pendadaran Praktek Kerja Lapangan (PKL) di fakultas saya, FISIP Universitas Lampung. Selain saya ada sekitar 90-an mahasiswa FISIP lainnya mengikuti pendadaran di gedung B3.1 FISIP Unila. Pendadaran ini dimaksudkan untuk memberikan persiapan-persiapan yang dibutuhkan mahasiswa yang akan mengikuti PKL di masing-masing lembaga yang dipilihnya.
(Foto: Gedung A FISIP Unila)

Saya termasuk yang terlambat untuk mengikuti PKL untuk periode ini. Padahal, dari sekian orang di angkatan jurusan saya, sepertinya hanya saya saja seorang yang belum mengikuti PKL. Terlihat saat mengikuti pendadaran sejak pagi sampai sore tadi, hanya saya sendiri di angkatan jurusan saya. Teman-teman seangkatan saya malah sudah mengikuti PKL sejak dua tahun kemarin. Terhitung terlambat memang bukan untuk tidak ingin mengikuti PKL, tapi masih ada kesibukan lain yang tidak bisa saya tinggalkan ketikan itu. Nah, saat inilah kesempatan itu baru saja saya dapatkan.

Seharusnya jadwal pendadaran dimulai pukul 8 pagi. Itu saya dapatkan infonya dari papan pengumuman yang tertempel. Tapi, pada kenyataannya ketika saya tiba di FISIP tepat pukul 8 pagi, tampak sejumlah mahasiswa mengenakan jas alamamater Unila hanya sekedar duduk saja di depan pintu masuk gedung B FISIP. Yang lainnya terlihat duduk santai di bawah pohon yang tidak jauh dari gedung tempat kami kuliah itu. Saya hanya menggerutu,"Yah, beginilah Indonesia. Telah, telat, dan selalu saja telat." Dosen yang akan memberikan pendadaran saja datang terlambat. Bagaimana para dosen ini memberikan teladan kepada mahasiswanya?

Sambil menunggu di depan gedung itu, saya pun berbincang-bincang dengan teman yang akan mengikuti pendadaran untuk persiapan PKL. Kebanyakan mereka adalah adik-adik tingkat jurusan saya. Kebanyakan yang saya tahu dari mereka memilih lokasi untuk PKL di Radio Republik Indonesia (RRI) Bandar Lampung. Ini berdasarkan tempat yang dipilihkan dari jurusan saya. Tapi, saya berbeda dan memilih di tempat lain di Jakarta.

Selain saya mengikuti PKL periode ini, ada Dede Darmawan, teman seangkatan saya. Saya lebih suka memanggilnya Dede, terkadang Pak Ibon. Karena Dede menamakan dirinya di Friendster miliknya itu dengan sebutan 'Pak Ibon.' Entahlah maksudnya apa. Dede di jurusan ilmu pemerintahan. Dia juga baru PKL bareng dengan adiknya, Dede Maya yang kebetulan satu jurusan dengan kakaknya tadi. Dede Maya ini angkatan 2004 di jurusannya. Boleh dibilang saya dengan Dede bernasib sama. Sama-sama belakangan mengikuti PKL. Karena PKL ini adalah mata kuliah wajib yang harus dipenuhi. Jika tidak mengikutinya, bisa jadi tidak bakal lulus deh.

Sejak jauh-jauh hari saya bertekad agar bisa PKL di Jakarta. Di saat PKL telah selesai nanti (pertengahan Februari 2007, red), mungkin sekalian memanfaatkan waktu buat cari-cari bahan literatur untuk skripsi saya. Yah, mudah-mudahan saja mendapat kemudahan nanti selama di Jakarta. Karena saya pikir memang tidak mudah secepat yang saya bayangkan mendapatkan semua literatur yang saya butuhkan. Intinya harus berkorban buat keliling-keliling dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain. Dari satu universitas ke universitas lainnya. Entahlah, berapa lama saya akan menghabiskan waktu selama di Jakarta nanti. Suatu saat nanti setelah lulus, saya akan berjuang mencari 'sesuap nasi' di Jakarta. Mungkin sebagai seorang jurnalis yang profesional. Why not? Do'akan saja yah.

Saturday, January 06, 2007

Selama Satu Bulan yang lalu



Cukup lama saya tidak up date blog sejak pertengahan bulan november kemarin. Posting terakhir itu pun juga sedang libur dan berada di kota kelahiran, Palembang. Sesekali ketika itu sedang ada waktu luang buat jalan-jalan keluar sambil mampir ke warnet langganan (tapi cukup mahal).

Hampir dua bulan. Ya, satu bulan kemarin (Desember, red) memang sedang off buat aktifitas nge-blog. Tapi, kalau tangan ini lagi ‘gatel’ menekan tuts-tuts, ya sedikit dipaksain mampir ke warnet. Ngga lama, setengah jam cukup liat-liat e-mail atau blog saya. sudah berapa manusia yang rajin mengunjungi blog. Hehe…kalo kita jarang berkunjung ke blog teman atau orang lain, alangkah kasihannya blog kita bisa dipastikan akan sepi pengunjung juga. Supaya adil dan senasib ibarat jarang bertamu ke rumah teman, mungkin juga sama halnya dialami kita pun jarang dikunjungi kan.

Yang penting sekarang di saat masih sehat wal afiat, sangat penting sekali berkunjung atau bersilahturahmi ke rumah teman. Apalagi teman yang telah jarang kita temui, meskipun rumahnya dekat, meskipun rumahnya masih bisa dijangkau dalam satu kota, itu sudah lebih dari cukup buat kembali merekatkan kedekatan sebagai sahabat di saat senang maupun sedih.

Nah, kembali ke laptop (ikut2an gaya tukul arwana juga). Satu bulan kemarin (Desember, red) memang di saat itu jadwal saya sedang penuh. Penuh apanya? Maksudnya, ada dua kali Musyawarah Besar (Mubes) buat persiapan suksesi atau boleh disebut pergantian pimpinan dan pengurus. Kebetulan juga saya sebagai pemimpin redaksi (pemred) selama satu tahun (2006,red) harus segera menyerahkan amanah di Mubes itu dalam sebuah Laporan Pertanggungjawaban (Lpj).

Di awal Desember, mulailah diagendakan yang kita namai Pra Mubes. Acaranya cukup lama dan menguras tenaga. Tiga hari, dua malam. Apa saja yang dikerjakan selama itu? Banyak sekali, mulai dari merefleksi selama satu tahun kemarin yang telah dicapai maupun yang belum dicapai. Selain itu mejelang akhir selesai acara, memilih bakal calon pemimpin umum yang akan melanjutkan estafet.

Foto: (Dari kiri-kanan) Para bekas-bekas pemimpin: Yudi (Pemum), Doni (Pemus), Mayna (Kapuslitbang), Rieke (Redaktur Pelaksana), Eriek (Pemred), dan Diova (Kasekretariatan)


Dua minggu pasca Pra Mubes itu, kembali melanjutkan satu acara penting yakni Mubes. Bedanya di acara tersebut adalah momen untuk menyampaikan Lpj dari Pemimpin Umum (Yudi) yang dibantu Pemimpin Redaksi (saya), dan Pemimpin Usaha (Doni). Kita bertiga masing-masing menyampaikan Lpj kepada semua teman-teman yang hadir di sidang paripurna itu. Saat membacakan 10 halaman Lpj yang saya buat, saya terharu. Sesekali saya sedikit demi sedikit meneteskan air mata. Ya, sedih rasanya meninggalkan semua ini. Lpj yang saya bacakan itu biasanya diakhir menjelang penutup berisi ucapan terima kasih dan kesan-kesan yang mendalam dengan semua teman pengurus dan juga tak lupa para magang, junior penerus generasi akan datang.

Ada senang, ada pula sedih. Waktu terus berjalan, ia tak kan pernah henti sampai dunia ini divonis telah mati. Setiap saat momen itu selamanya tidak pernah saya lupakan. Itulah pengalaman yang berharga telah menggoreskan tinta di atas kertas bernama Teknokra.