Thursday, January 10, 2008

Busway atau TransJakarta?

Ini kisah (lanjutan) perjalanan saya ketika ke Jakarta, Sabtu lalu (30/12). Perjalanan singkat pertama yang pernah saya lakukan. Biasanya ke Jakarta sering menunggangi sepeda motor saya, Si Honda Legenda. Dengan sepeda motor biasanya menghabiskan waktu 8-9 jam perjalanan. Tapi, itu pun tergantung dengan kondisi cuaca, lama penyeberangan Kapal Ferry Selat Sunda, kemacetan lalu lintas dan keadaan sepeda motor. Beberapa posting waktu ke Jakarta bisa lihat di sini, di sini, dan di sini.

Yang menarik selama di Jakarta menjelang tutup tahun 2007 bagi saya, ketika itu mencoba Busway. Tapi, sebenarnya alat transportasi ini disebut Busway atau TransJakarta ya? Sering kali kita lebih akrab dengan sebutan "Busway" daripada "TransJakarta". Saya coba cari di Google mengenai Busway. Tambah-tambah referensi di sini dan mungkin ketemu pengalaman salah satu blogger yang menggunakan fasilitas transportasi made in Sutiyoso ini.

Ada yang menarik membaca komentar-komentar dari blogger ini, menanyakan hal yang sama seperti apa yang ingin saya ketahui. Busway atau TransJakarta? Di blog itu beranekaragam mengomentari dua istilah itu. Ada yang mengatakan dua istilah itu (Busway dan TransJakarta), lebih populer dengan sebutan Busway. Padahal, artinya Busway itu jalur bus. Jadi, kalau ada yang tanya, Naik apa? Naik Busway (naik jalur bus). Nah loh? Jalur bus kok dinaiki? Hehe...

Tidak hanya itu saja, di seluruh jalur bus TransJakarta ada rambu-rambu tertulis "Khusus Jalur Busway". Artinya, khusus jalur jalan bus. Nah, tambah gendeng:). Melihat masyarakat Jakarta kini banyak yang kritis dengan bahasa Indonesia. Ada yang mengatakan salah kaprah penyebutan Busway itu.

Mari kita kembali ke topik awal. Ketika saya baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya menghubungi Aziz, teman dekat saya yang tinggal di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Ia ibaratnya peta jalan tujuan pertama saya ke Jalan Gajahmada, Jakarta.

Setiap saya sms minta rute jalan, Aziz kasih petunjuk naik Bus TransJakarta dengan tepat. Jadi, saya tidak pernah kesasar. Misalnya, saya naik bus Damri AC dengan tiket seharga Rp15 ribu ke Stasiun Gambir dari Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian dari Stasiun Gambir, saya naik bus TransJakarta dengan membeli tiket di station itu seharga Rp3.500,- tujuan ke Center Senen (Pasar Senen). Dari sana, saya menyambung dengan bus lain tujuan Kampung Melayu dan turun di depan Universitas Indonesia (Salemba). Kemudian, naik angkot 04 tujuan Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat.

Asal petunjuknya jelas dan tepat, saya bisa sampai ke rumah teman saya meskipun masih kesasar di beberapa gang-gang yang sempit dan ramai pemukiman penduduk. Daerah itu ramai penjual-penjual bahan bangunan. Kata teman saya, di daerah itu seperti pusat penjualan bahan bangunan.

Ada station (halte) bus TransJakarta yang sangat ramai, seperti Harmoni. Saya pernah terjebak macet dan mengantri untuk melanjutkan bus tujuan Pulogadung. Sepanjang tangga, orang mengantri. Tangga sangat sempit. Ada yang ingin naik, ada pula yang ingin turun. Pusing juga berdesak-desakan begini. Saya sempat terpikirkan, gimana kalau jam-jam kerja sibuk? Tambah padat manusia menumpuk dan antri di halte-halte dan bus-bus bukan?

Iyalah, ini kan Jakarta Bung!! Bukan Palembang, bukan pula Lampung. Orang seperti saya mana tahan berdesak-desakan dengan banyak orang untuk naik ke bus TransJakarta. Apalagi menunggu lama untuk pindah bus berikutnya. Kesabaran memang diuji setiap saat di sini. Tapi, ada saja waktu itu saya lihat ada seorang ibu memaksakan diri memotong jalur antri di tangga yang sempit. Sejumlah orang "ngomel" kepada ibu itu. "Bu!! Antri dong!! Jangan nyelonong aja!!"kata orang-orang menggerutu.

Inilah fenomena naik Bus TransJakarta. Masalah kemacetan Jakarta masih belum terpecahkan hanya dengan membangun infrastruktur jalur bus (busway) TransJakarta untuk masyarakat urban ibukota negara Indonesia ini. Salah satu sebab kemacetan Jakarta itu adalah jumlah kendaraan terlalu banyak dan fasilitas transportasi publik masih minim. Sering kali saya temui di jalan-jalan padat kendaraan, satu mobil kendaraan pribadi hanya seorang saja di dalam itu. Hampir rata-rata saya temui begitu. Wajar saja Jakarta penuh dengan mobil-mobil pribadi yang hanya dimuati satu orang (pengendara mobil).

Seperti sepanjang jalan Gatot Subroto adalah jalur padat dan ramai kendaraan. Ketika saya mengendarai sepeda motor di jalur itu, sering kali setiap pagi dan sore macet. Apalagi di dekat Plaza Semanggi. Sangat ramai sekali. Sepeda motor bersaing melewati celah-celah sempit yang ada. Di sinilah dibutuhkan keahlian pengendara sepeda motor dalam menyalip mobil-mobil yang terjebak macet. Berapa jam sehari waktu dihabiskan hanya karena macet ini? Memprihatinkan. Bagi saya, ini membosankan dan menyia-nyiakan waktu.
Adakah solusi yang benar-benar menjadi solusi atas kemacetan Jakarta?

*foto: Ketika Saya harus terpaksa mengantri di station (halte) Central Senen untuk mengganti rute TransJakarta tujuan Harmoni. Ada tulisan yang dibuat dari karton digantung di atas jembatan tangga penghubung itu. "X Deres Turun Antri Di Bawah"

5 comments:

Eriek said...

Kadang-kadang jalur Bus TransJakarta (busway) sering dilalui kendaraan lain. Nah, di Inggris ada salah satu cara untuk membuat kapok pengemudi 'nakal' yang melalui jalur bus itu. Salah satunya dengan cara membuat semacam portal penutup ketika bus setelah melaluinya. Melihat video dari youtube di sini, lucu juga ada kendaraan yang memaksa hingga menumbur portal penutup itu :-)

Anonymous said...

susah deh buat solusi transportasi massl jakarta..perlu ppolitical will..

Anonymous said...

cuma koridor 1 aja yang sering saya pake :D

-imgar-

Anonymous said...

Bikin sendiri model kertas Bus Transjakarta, bisa di donlot gratis di www.paper-replika.com (2 bahasa)
Thanks

Anonymous said...

Good fill someone in on and this enter helped me alot in my college assignement. Thanks you for your information.