Saturday, October 18, 2008

Profesional dalam Profesi Jurnalis

Saya pikir, yang menjadi persoalan utama yang diangkat oleh Iqbal, adalah benturan antara identitas wartawan sebagai profesi yang memiliki etika dengan identitas sebagai buruh (jika wartawan itu sebagai buruh di perusahaan media) yang harus mengikuti aturan perusahaan dan mengikuti aturan struktural yang berlaku di perusahaan itu.

Persoalan benturan identitas dan benturan kepentingan itu, saya pikir menjadi persoalan besar bagi wartawan di mana pun. Misalnya, ketika seorang wartawan akan menulis sebuah kasus yang melibatkan perusahaan tempatnya bekerja, dia akan terjebak di dalam konflik identitas seperti yang saya sebutkan di atas. Isu itu bukan isu baru tentunya. Tadi siang di Bandung saya baru saja berdiskusi tentang sistem kerja seperti apa yang cocok bagi wartawan. Apakah dia harus bergabung menjadi buruh di perusahaan atau lebih baik menjadi freelancer yang bisa menjual karyanya ke media mana pun.

Muncul perdebatan hangat, karena dua-duanya memiliki aspek untung dan rugi. Menjadi buruh, dengan gaji tetap, menjadi pilihan karena menjanjikan "stabiltas" penghasilan untuk jangka waktu tertentu, walaupun tidak bisa dikatakan akan menjanjikan "sustainability." Juga ada kemungkinan wartawan itu harus menggadaikan etika demi kepentingan perusahaan.

Menjadi freelancer, idealisme dan etika bisa tetap kita pegang teguh, tapi --setidaknya di Indonesia-- tidak bisa menjanjikan penghasilan yang stabil. Sustainability juga masih menjadi persoalan, namun hal itu tergantung kepada seberapa kuat niat dan usaha seorang wartawan untuk tetap memegang profesi itu. Idealnya bagi wartawan-buruh, tentu, adalah jika idealisme dan etika profesi bisa berjalan seiringan dengan kepentingan perusahaan, sehingga tidak perlu terjadi benturan kepentingan dan identitas seperti yang saya sebutkan di atas. Namun, kita tahu, tidak banyak perusahaan media yang membiarkan wartawannya untuk bekerja sesuai dengan idealisme dan etika kewartawanan.

Bahkan lebih buruk lagi, belakangan di Indonesia ada upaya untuk mendorong wartawan menjadi bagian dari marketing perusahaan dalam mencari iklan, promosi, dll. Hal itu, mungkin merupakan strategi perusahaan media untuk mengurangi beban biaya produksinya, dan melepaskan risiko dari pemberitaan yang bisa merugikan perusahaan.

Ada juga isu, kontributor atau wartawan kontrak atau wartawan tidak tetap (buruh kontrak) yang menuntut diangkat menjadi karyawan, diberi pilihan untuk membuat kantor berita sendiri dan perusahaan media akan membeli berita dari perusahaan kontributor itu. Ada juga perusahaan media yang memberi pilihan, kontributor daerah disuruh menjalankan kantor perwakilan yang TIDAK TERIKAT ke kantor pusat. Wartawannya diberi tugas memasarkan koran dan mencari iklan, sekaligus mencari berita. Tindakan perusahaan itu sangat tidak etis baik dilihat dari perspektif perburuhan maupun jurnalisme, tapi itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia ini.

Bagi wartawan freelancer, ada persoalan tarif berita yang mereka tulis. Tidak banyak perusahaan media di negara ini yang secara layak menghargai karya jurnalisme. Mau panjang, mau pendek, mau straight news, mau investigative reporting, tetap saja dibayar rendah.

Benturan kepentingan atau strategi perusahaan yang "mematikan" idealisme dan etika kewartawanan seperti itu sudah lama terjadi di Amerika Serikat. Contoh kasusnya di Seattle Times, di mana newsroom "dikuasai" oleh editor yang juga personel marketing perusahaan (baca When MBAs Rule the Newsroom, 1995, p.159). Dari penelitian di buku itu, ada satu kesimpulan yang menarik, yang diambil dari
pernyataan para wartawan di sana. Kira-kira begini bunyinya, "Menjadi wartawan pada akhirnya tidak lebih menjadi buruh perusahaan seperti IBM atau buruh di perusahaan asuransi."

Saya, sebagai wartawan, tidak menginginkan hal itu terjadi di Indonesia atau di media tempat saya bekerja. Tapi sekarang masalah itu mulai terjadi. Dan pernyataan Iqbal, bagi saya, telah membuktikan terjadinya kebingungan atau disorientasi di kalangan wartawan, sebagai akibat perubahan situasi industri media di negeri ini, yang sedikit banyak mengikuti pola yang terjadi di Amerika. [dikutip dari milis pantau-komunitas. ditulis oleh: Zaky Yamani dari HU. Pikiran Rakyat]

1 comment:

Anonymous said...

Nice site you have here..
Thanks for the info..I'll use this a lot