Tuesday, April 24, 2007

Suatu Malam di Margonda Raya

SUATU malam di bulan Maret lalu, udara terasa cukup dingin. Sepertinya tanda-tanda akan turun hujan. Namun, beberapa lama kemudian hujan pun tak tampak akan mengguyur kota Depok yang selalu ramai orang pada malam hari. Apalagi di sepanjang jalan Margonda Raya. Mungkin saja di saat musim hujan seperti sekarang, setiap malam hari udara terasa dingin. Terkadang jika tiba-tiba ada angin berhembus, kulit saya terasa menggigil. Dingin.

Saya menikmati betul setiap kali berada di kota Depok. Ramainya tidak sama seperti di Jakarta. Terutama dari jumlah kendaraannya. Agak sedikit ramai. Tapi, kalau di saat jam kerja dan jam pulang kerja, bisa-bisa di jalan itu penuh sesak kendaraan yang hendak ke arah Jakarta. Atau pun sebaliknya.

Barangkali orang-orang yang bekerja di Jakarta memilih tinggal di kota pinggiran macam Depok, Tangerang atau Bogor. Daripada tinggal di Jakarta yang hampir tidak ada lagi tempat hunian yang cukup luas, kecuali apartemen yang semakin banyak didirikan. Selain itu pula, Jakarta semakin pesat pertumbuhan dan pembangunan gedung-gedung perkantoran. Tentu saja tempat hunian tidak lagi cocok untuk zaman sekarang dengan penduduk kota DKI Jakarta lebih dari 7 juta jiwa.
**
Entah saya telah berapa kali singgah di kota Depok. Saya sering menumpang menginap di kostan teman SMA saya. Dia masih mahasiswa FE-UI Depok dan bekerja di sebuah perguruan tinggi swasta di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kostannya tidak jauh dari jalan Margonda Raya. Daerah itu kebanyakan para mahasiswa dari UI Depok yang indekost di sana. Di dekat daerah itu pun ada sebuah kampus swasta yang berdekatan dengan kampus UI..

Saya suka jalan-jalan ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Ada dua pusat perbelanjaan di pinggir Jalan Margonda Raya itu. Saya jadi tertarik ingin masuk ke sana. Padahal, awalnya saya enggan masuk ke salah satu dari dua pusat perbelanjaan yang saling berhadapan itu. Tapi, karena rasa penasaran yang semakin tak tertahankan, saya coba satu per satu mencoba masuk ke pusat perbelanjaan itu. Saya mencoba masuk ke Depok Town Squere. Di sana, beberapa ruko di lantai atas masih terlihat kosong. Belum diisi calon penjual. Sayang sekali bangunan yang begitu megah, tapi sedikit para penjual yang biasanya gerai butik dan baju-baju.

Setelah cukup puas melihat-lihat Detos atau sebutan pendek dari Depok Town Squere, saya penasaran dengan pusat perbelanjaan yang berada di seberangnya. Bangunannya terlihat luas, tapi tidak menjulang tinggi. Untuk mencapai ke sana pun ada sebuah travel yang siap mengantar hingga ke pintu utama pusat pebelanjaan itu. "Ehm, sepertinya berbeda dengan yang tadi (Detos, red),"pikir Saya.

Sempat sang sopir mobil sejenis angkutan travel itu mengajak saya ikut. Beberapa penumpang sudah berada di dalam. Itu kendaraan gratis antar-jumput buat pengunjung Margo City, nama pusat perbelanjaan itu. Sempat tertarik mengikuti ajakannya, tapi akhirnya saya lebih tertarik jalan kaki dari pinggir jalan Margonda Raya sampai ke pintu masuk pusat perbelanjaan itu.

Sepanjang jalan kaki menuju masuk ke Margo City, terlihat sebuah café yang terlihat menarik. Ada lantunan lagu dari sekelompok anak muda yang lengkap dengan memainkan alat musik. Seperti pertunjukkan band kecil di depan penonton yang kebanyakan sambil duduk di depan teras café itu. Saya pun mampir ikut mendengarkan beberapa lantunan lagu pop yang mereka sajikan.

Café itu dengan bangunan yang terlihat kuno, ternyata punya sejarah panjang hingga masih bertahan di sana seperti aslinya. Saya lihat ada beberapa tulisan yang menceritakan sejarah Depok Kuno dan Rumah Tua Pondok Cina. Sepertinya sengaja dibuat pengelola pusat perbelanjaan itu. Jika malam hari, tulisan itu terlihat terang dan indah menghiasi sepanjang ruas jalan untuk pejalan kaki yang ingin berbelanja di sana.

Mengutip Han Soediro dari blog-nya (www.goblogk.blogspot.com), dia menceritakan "Depok Lama". Orang-orang Depok seharusnya tahu sejarah awal berdirinya Depok dengan membaca tulisan ini, bukan? Tidak hanya Jakarta punya kisah panjang, Kota Depok pun turut mengisahkannya kepada anak-cucunya dengan masih ada salah satu bangunan milik Belanda yang tersisa di dekat pusat perbelanjaan itu. Café Oh Lala. Café yang sekarang menjadi tempat menikmati suguhan minuman dan lantunan lagu-lagu dari anak-anak muda zaman sekarang. []

2 comments:

ikram said...

Depok mengesankan ya? :P

RUMAH AUTIS DEPOK said...

Mohon Doa Restu dan Dukungan. Kami Rumah Autis Yayasan Cahaya keluarga Kita (YCKK), Lembaga Nirlaba yang bergerak di dalam menangani terapi anak-anak autis dhuafa akan membuka cabang di Kota Depok pada Bulan Januari 2009. kunjungi Rumah Autis Depok