Tuesday, October 10, 2006

Atul: Pahlawan Pers Mahasiswa

Pernahkah kita mencoba kembali mengenang perjuangan para mahasiswa saat menyaksikan peristiwa Tragedi Trisakti pada Mei 1998 lalu di layar televisi? Dari layar kaca itu, kita sepakat bahwa aksi itu adalah sebagai keberutalan luar biasa yang pernah terjadi sepanjang sejarah Orba di negeri ini ketika itu. Bagaimana tidak, mahasiswa yang saat itu berdemonstrasi menuntut Soeharto agar turun dari jabatan presiden yang telah berkuasa selama hampir 32 tahun, kemudian diberondong tembakan oleh aparat keamanan ke seluruh penjuru masa yang kebanyakan adalah mahasiswa. Banyak korban yang kemudian berjatuhan. Bahkan ditemukan korban meninggal dunia karena ditembak peluru tajam oleh aparat keamanan.

Peristiwa di atas bukan saja sekali dan terjadi hanya di Jakarta. Di Bandar Lampung, pada awalnya hanya sebuah aksi demonstrasi yang digawangi para aktivis Dewan Mahasiswa (Dema) di depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) pada 28 September 1999. Para aktivis mahasiswa itu menuntut pencabutan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Namun, tepat di depan kampus UBL itu mereka telah dinanti para aparat kepolisian (Pasukan Huru-hara atau PHH ketika itu, red).

Tak menghiraukan PHH yang menghalangi jalan, para aktivis Dema dari berbagai kampus di Bandar Lampung itu kemudian berorasi di depan aparat keamanan itu. Mereka juga sempat berusaha menembus barisan PHH. Namun, entah siapa yang pertama kali memicu kericuhan sehingga terjadi chaos. PHH memberondong tembakan ke arah para mahasiswa yang berdomonstrasi. Aksi itu ternyata bukan murni dari kalangan mahasiswa, tapi ada elemen lainnya (PRD, red) yang ikut bergabung dalam aksi demonstrasi.

***
Juwendra Asdiansyah (Pemimpin Umum Teknokra 1998-1999) mengetahui terjadi chaos di depan kampus UBL dari pengumuman MC festival musik yang saat itu digelar di kampus Unila. Bergegas Juwendra memberitahukan hal itu kepada seluruh kru yang ada di kesekretariatan Teknokra. Atul, panggilan akrab Saidatul Fitria, yang ketika itu berada di kesekretariatan Teknokra, langsung menuju tempat terjadinya chaos di depan kampus UBL yang jaraknya kurang dari empat kilometer dari kampus Unila.

Atul tidak sendiri ketika berangkat ke sana. Ia ditemani Reno Setiaji (Magang Teknokra) memantau aksi demonstrasi yang telah berubah menjadi chaos. Beberapa orang melempari batu-bartu besar ke arah pasukan PHH. Di jalanan raya depan kampus UBL berubah menjadi arena lemparan batu.

Kesabaran bertahan dari lemparan batu-batu dari arah mahasiswa, entah perintah dari siapa kemudian pasukan PHH kemudian memberondong para pendomonstrasi yang melempari batu-batu itu dengan peluru. Banyak mahasiswa terluka-luka. Bahkan, ada yang terkena tembak peluru tajam yang menembus dada kiri. Dia adalah M Jusuf Rizal, mahasiswa FISIP Unila. Ijal akhirnya harus pergi untuk selamanya ketika sempat dibawa ke rumah sakit.

Ketika Atul mengabadikan peristiwa chaos itu dengan kamera SLR Nikon dari tangannya, ia yang bertugas sebagai jurnalis foto, tidak menyangka harus terluka parah akibat kepalanya dipukul benda tumpul dari aparat keamanan. Atul dibawa ke Rumah Sakit Advent yang berada tidak jauh dari kampus UBL, tempat terjadi chaos.

Atul saat berada di tempat terjadinya chaos, ia sempat mengabadikan beberapa fotonya. Kini, ada tujuh foto dari aksi keberaniannya itu masih tersimpan di kesekretariatan Teknokra.

Namun, setelah kepalanya dipukul benda keras dan harus segera dibawa ke rumah sakit ketika itu, ia mengalami koma. Saat sadar setelah Atul diobati kepalanya, ia sempat mengatakan kepada Juwendra, "Kak, saya telah diincar mereka (aparat keamanan, red)!" Kepala Atul mengalami retak pada tengkoraknya. Ia harus segera dioperasi pada hari berikutnya.

Pasca operasi pada kepala Atul, ia hampir tak lagi sadarkan diri. Atul kembali koma. Sampai ia dipanggil menghadap Sang Khaliq pada pagi subuh, tanggal 3 Oktober 1999. Sepeninggalnya, Ia pantaslah mendapat penghargaan sebagai "Pahlawan Pers Mahasiswa."

***
Kisah tujuh tahun lalu itu saya dapatkan dari Kak Juwendra, yang kini ia adalah wartawan Harian Umum Seputar Indonesia yang tinggal di Bandar Lampung. Saya amat sedih mendengar cerita darinya saat Atul tidak tertolong lagi. Atul bagi saya dan teman-teman Teknokra sekarang adalah inspirasi perjuangan pers mahasiswa dan jurnalis, juga umat manusia. Karena Atul melaksanakan tugas tanpa pamrih. Ia mengabadikan foto sebagai tugas seorang jurnalis yang memberikan informasi kepada publik. Tapi, ia harus meninggalkan kita semua. Namanya (Saidatul Fitria), mengabadikan pada kesekretariatan kami menjadi Graha Saidatul Fitria.

6 comments:

Anonymous said...

turut berduka atas kepergian Atul.
semoga arwah almarhumah diterima di sisi-Nya. amin.

Anonymous said...

sedih euy...kalo ingat perjuangan pahlawan2 reformasi yang bahkan namanya diingat saja tidak oleh anak2 muda sekarang (termasuk gw). Kalo menunggu pemerintah membuat penetapan mereka sebagai pahlawan nasional, sepertinya seperti menunggu hujan dalam kemarau.

Ada niat untuk perjuangan baru?

farahPutri said...

Hal hal seperti ni yang bikin gw salut banget ama jurnalis, baik wartawan perang, reporter, pembawa acara petualangan, blogger, dan tentu saja Atul, jurnalis mahasiswa. Peran mereka ibarat panglima medand perang yang harus siap bila tiba2 terkena suatu bahaya akibat pekerjaanya. Semoga Atul diterima di sisinya. Hidup Pers mahasiswa!

Idrus Fhadli said...

pas terjadinya chaos 98-99 dulu gw masih smp jadi ga terlalu 'ngeh' dengan perjuangan para mahasiswa reformasi nah sekarang pas gw udah jadi mahasiswa, gw baru ngerasa kalo perjuangan kala itu adalah perjuangan berat yang mempertaruhkan nyawa demi perbaikan negeri ini...
turut berduka cita kepada para 'pahlawan reformasi'...

SEKJEN PENA 98 said...

memang banyak yang pergi
tidak sedikit yang lari
tak terhingga yang diam bersembunyi
tapi perubahan adalah kepastian
untuk itu kami bertahan
kami masih ada
masih bergerak
masih melawan!
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

heru gutomo said...

jadi inget jaman dulu. kebetulan 98 saya di yogya, lalu ke surabaya. 99 melanjutkan di denpasar. kekerasan demi kekerasan di depan mata.

pjtl teknokra masih rutin? atau mencari bentuk pelatihan baru. salut sama energi anak-anak teknokra yang rajin bikin pelatihan nasional.
sayang, saya selalu cuma bisa mengirim delegasi. tak pernah berkunjung sendiri kesana.

salam kenal yaa...