TERKADANG saya tersenyum sendiri memperhatikan isi balasan sms dari teman saya. Kebanyakan mereka adalah teman saya ketika SMA dulu di Pelembang. Ketika saya coba sms di antara mereka, ada satu yang membalas sms saya dan menanyakan begini,”Sori, Erie yang mana ya?”tulisnya di sms ke HP saya. Saya langsung tersenyum sendiri sambil menggelengkan kepala, “Kok bisa lupa sama temannya sendiri ya,”pikir saya.
Selekasnya saya balas, kurang lebih saya mengirim sms begini,”Wah..susah ya kalo mo jadi orang terkenal:) Ini Erie Khafif. Masak lupa sih. Oia, ngekost di mana?” Kemudian, teman saya ini pun kembali membalas sms saya,”Oh erie!ya ampun sori2..btw mang skg kul dmn?” Waduuhh….hari gini masih tanya saya kuliah di mana, padahal sudah hampir enam tahun saya di Lampung, dia tidak tahu.
Yang saya tahu teman saya ini melanjutkan kuliah di Universitas Pancasila setelah lulus D3 dari Politeknik Bandung. Katanya, dia ngekost dekat dengan Univ Pancasila, daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Saya mengajak dia buat bertemu di kostannya. Tapi, katanya hari itu dia akan mengikuti tes TOEFL di kampusnya. “Kt atur deh..skg a lg d kmpus mau tofl,”sms-nya kepada saya.
Beda lagi teman SMA saya yang lain. Kebetulan dia sekarang sudah bekerja di Jakarta. Saya lupa menanyakan dia bekerja di bidang apa dan di daerah mana dia tinggal. Ketika saya sms ke dia dan menanyakan kabar dan tempat dia tinggal, dia membalas dan menanyakan, “siapa ini?” Waduuuhh….lupa atau pura-pura lupa teman saya ini, pikir saya. Saya cuma bilang kepadanya, ini Erie teman SMA dulu. Eh, syukurlah dia masih ingat dan ternyata dia lupa masukan no HP saya.
Kalau dihitung-hitung, cukup banyak teman saya yang kini bekerja dan menetap di Jakarta. Kebanyakan mereka adalah teman saya ketika SMA dulu di Palembang. Ada juga teman dari SD dan SMP, tapi sudah lama tidak pernah kontak. Kalau saja saya punya kontak mereka, ingin sekali saya menghubungi mereka dan menanyakan kabarnya. Jika sempat, malah saya ingin bersilahturahmi ke rumah atau kostannya.
***
KE Jakarta, tidak lupa mampir ke Depok. Ada Fadli, teman SMA dulu yang tinggal di sana. Dia ngekost tidak jauh dari UI Depok. Kadang-kadang saya menumpang menginap di kostannya. Tujuan saya ke UI Depok adalah mengumpulkan bahan-bahan referensi untuk skripsi saya. Beberapa kali saya pergi-pulang mengendarai sepeda motor dari Kebayoran Lama ke UI Depok. Di perpustakaan Pusat UI, cukup banyak buku-buku yang bisa jadi referensi saya. Begitu pula di perpustakaan FISIP UI, tersedia banyak buku-buku yang sesuai dengan jurusan saya (Ilmu Komunikasi, red).
Perpustakaan FISIP UI dinamakan Miriam Budiarjo Resource Center. Tempatnya, seingat saya di lantai dua dan tiga gedung D, FISIP UI. Saya kagum sekali saat pertama kali melihat perpustakaan ini dinamakan seorang perempuan pendiri FISIP UI. Kini Ibu Miriam Budiarjo telah meninggalkan kita semua, setelah beberapa waktu yang lalu meninggal dunia karena sakit. Saya mengagumi sosok Ibu Miriam Budiarjo sebagai dosen senior Ilmu Politik di FISIP UI ketika masih hidup. Meskipun belum pernah bertemu dengannya, tapi pertama kali saya mengenal Ibu Miriam dari sebuah buku wajib bagi mahasiswa FISIP, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”
Dari situ saya mengenal beliau pertama kali ketika saya kuliah semester satu, mendapatkan mata kuliah Pengantar Ilmu Politik di FISIP Unila. Itu enam tahun yang lalu. Tapi saya masih ingat betul sampai sekarang dengan almarhum Ibu Miriam Budiarjo. Sungguh beruntung bagi mahasiswa yang pernah diajarkan beliau ketika masih sehat bugar. Mungkin saja mahasiswa dulu yang pernah diajar oleh Ibu Miriam, kini adalah para pakar di berbagai bidang politik dan pemerintahan, macam Arbi Sanit.
Ketika saya pertama kali memasuki perpustakaan FISIP UI itu, kesan di dalam perpustakaan itu sungguh nyaman dan tertata secara artistik. Ada kursi sofa berbahan kulit di sana. Di atas meja dekat kursi sofa, ada sejumlah koran nasional yang terbit hari itu. Tidak jauh dari sofa itu juga, ada sekitar empat unit komputer tertata rapi. Fungsinya untuk mencari informasi buku, skripsi, pengarang, dan beberapa literatur lainnya untuk menemukan sesuai keinginan mahasiswa. Semacaman alat search engine yang selalu ter-up date. Saya pernah mencobanya ketika akan mencari salah satu buku dan skripsi.
Di bagian atas, terdapat sejumlah papan bertulis dengan bentuk dan warna orange yang artistik. Salah satunya yang sempat saya potret, ada foto Almarhumah Ibu Miriam Budiarjo dan testimoni yang bertuliskan,”Bu Mir tidak pernah berkecimpung secara langsung dalam politik praktis, namun beliau bukanlah seorang ilmuwan yang semata-mata membatasi diri pada kegiatan di ‘menara gading’” oleh Harold Crouch.
Untuk mencapai ke lantai dua, ada tangga memutar. Di lantai dua ini terdapat sejumlah komputer yang dapat diakses bagi para mahasiswa FISIP UI. Saya tidak tahu, apakah hanya digunakan untuk Sistem Informasi Akademik (SIAK) online saja atau bisa juga untuk akses internet. Seperti di kampus saya, Unila, punya Sistem Informasi Akademik (Siakad) sejak tahun 2000 lalu. Siakad adalah sarana akademik mahasiswa, mulai dari KRS, KHS, transkrip nilai, dan lainnya. Kesemuanya itu terkomputerisasi secara online dan tersimpan di pusat server.
Ada juga buku-buku yang saya temui di Miriam Budiarjo Resourse Center ini, hanya dapat dibaca di sana dan tidak bisa dipinjam, apalagi dibawa pulang. Biasanya buku-buku itu termasuk kategori referensi macam ensiklopedia, jurnal ilmiah, majalah, tabloid, dan masih banyak lagi lainnya. Saya tidak hapal betul susunan buku-buku di dalam rak yang tertata rapi yang masing-masing dari itu dibuat nomor urut klasifikasi buku.
Saya betul-betul menikmati sebuah tempat baca yang nyaman sekaligus memiliki banyak buku-buku bagus dan cukup lengkap. Bahkan, sejak pagi sampai sore saya betah mengelilingi dari satu rak ke rak lainnya, mencari buku-buku yang saya butuhkan. Setiap sudut ruangannya pun dingin oleh AC. Lantas terpikirkan oleh saya, kalau saja perpustakaan di kampus dan fakultas saya sama seperti di sini (UI Depok, red), tidak perlu pergi jauh-jauh lagi saya menyeberangi pulau dari sumatera ke jawa buat referensi skripsi saya. Mungkin hal yang wajar, karena di Jakarta semua akses untuk semua buku-buku keperluan setiap mahasiswa di sana tersedia dengan cukup lengkap. Saya mungkin hanya bisa berharap kelak saya setelah lulus dari almamater kampus tercinta saya, perpustakaannya bisa selengkap kampus jaket kuning ini.
Mungkin ada satu hal yang buat saya kaget dan tidak menyangka adalah di hampir tiap gedung UI (mungkin, red) tersedia hotspot. Namanya Hotspot UI. Para mahasiswa yang memiliki laptop/notebook dapat menggunakan akses internet di mana pun mereka suka. Asalkan masih berada di lingkungan kampusnya. Terkadang saya menjumpai mahasiswa di kantin, sedang menatap layar laptopnya dan sembari asik ngobrol dengan teman-temannya. Di beberapa sudut gedung pun jika ketemu colokan listrik yang tidak sedang digunakan, maka di sanalah si mahasiswa tinggal menancapkan kabel sumber tenaga (power supply AC) buat laptopnya, lalu browsing ke dunia maya.
Hotspot adalah akses internet tanpa kabel di suatu tempat tertentu. Biasanya laptop/notebook merk saat ini telah mendukung Hotspot dengan jenis Wireless 802.11b/g. Saya lupa persisnya secara teknis kode tersebut, karena baru belakangan ini saya mempelajari secara otodidak tentang perangkat untuk akses internet tanpa kabel. Selain laptop punya perangkat yang mendukung Hotspot, ada pula sebuah alat pemancar signal untuk Hotspot. Bentuknya saya pun belum pernah lihat seperti apa.
Mengutip obrolan dengan rektor saya tentang Hotspot Unila ketika bersilahturrahmi di ruang kerjanya, menemani Yudi dan Doni (keduanya mantan Pemum dan Pemus Teknokra) akhir tahun lalu. Katanya, Hotspot di Unila baru akan dilakukan pada tahun ini. Paling lambat mungkin mulai tahun depan. Tetapi, hanya baru beberapa gedung saja yang terdapat Hotspot-nya. Yah, semoga saja dapat segera direalisasikan agar para mahasiswanya dapat mengakses internet di mana saja.
***
Sore hari, pemandangan di sekitar danau UI ramai orang. Tampak beberapa orang sedang berada di ‘bibir’ danau itu. Mereka ada yang sambil duduk, ada pula yang sambil berdiri memegangi sebuah gagangan panjang mengarah ke danau itu. Mereka sedang memancing ikan. Saya memperhatikan mereka dari dekat, bagaimana mereka memancing. Mulai dari memasang umpannya sampai melemparkan pancing yang telah diberi umpan tadi ke danau itu sejauh-jauhnya. Bahkan di antara mereka itu tidak menggunakan umpan di pancingnya. Cukup dengan beberapa pancing yang terikat kuat dan pemberat yang terbuat dari timah. Gunanya pemberat pancing itu agar dapat dilemparkan sejauh-jauhnya ke arah tengah danau. Hasilnya cukup lumayan. Sekali tarikan pancing minimal ada satu ekor ikan yang didapat.
Di sekitar danau, terlihat teduh dengan banyak pepohonan. Seperti berada di sebuah Kebun Raya Bogor. Semua masih tampak hijau dan asri. Kecuali, di pinggir danau itu terlihat bekas-bekas sisa sampah yang tergenang di atas permukaan. Kebanyakan berbahan plastik. Tapi, tetap saja para pemancing ikan di sana betah duduk di pinggir danau, karena mereka kerap mendapat ikan hasil dari pancingannya.
Kalau saja danau itu bisa dijaga kelestarian dan kebersihan dari sampah-sampah, akan lebih baik terlihat indah pemandangannya. Tidak hanya danau dekat Masjid UI itu saja yang perlu dijaga kebersihan dari sampah, tapi di tempat lain (masih di komplek UI Depok, red) ada sebuah danau lagi dekat Politeknik Negeri Jakarta. Di sana pun menjadi tempat sasaran masyarakat yang hobi memancing. Terlebih lagi di saat musim hujan, cukup banyak ikan yang tertangkap dari usaha mereka memancing. Tentu saja membuat betah berlama-lama memancing dan pulang dengan tangkapan ikan yang banyak.
***
Jika Anda jalan kaki dari satu fakultas ke fakultas lain, pasti Anda akan lelah. Ternyata di UI Depok punya bus untuk mengangkut para mahasiswanya. Bus ini mengelilingi komplek UI dan akan berhenti di setiap fakultas. Di masing-masing fakultas, di pinggir jalannya ada halte. Di sanalah para mahasiswa menunggu bus yang datang menjumput dan mengantar ke fakultas berikutnya. Begitu seterusnya, seperti tawaf mengelilingi Ka’bah di Makkah.
Saya kemudian jadi teringat dengan teman-teman saya yang kuliah di Universitas Sriwijaya. Mereka berangkat dari kota Palembang menuju kampus Unsri Inderalaya, Kabupaten OKI yang jaraknya sekitar 40-an kilometer. Ada beberapa bus Unsri yang telah disediakan untuk para mahasiswa menuju ke kampus. Bus berwarna kuning ini kerap hampir setiap pagi menjadi rebutan bagi para mahasiswa yang telah menunggu di pusat kota Palembang. Biasanya mereka telah menunggu di daerah jalan Sudirman, depan Bank Danamon.
Saya ingat betul dari cerita teman beberapa tahun yang lalu, sampai ada saja terjadi peristiwa mahasiswa yang terluka akibat terhimpit sesama mahasiswa lainnya. Ada yang terinjak-injak karena saling rebutan bus. Entahlah, saya belum pernah melihat langsung kejadian yang memilukan itu. Tapi sekarang, saya tidak tahu persis apakah masih ada para ‘pahlawan’ pengejar bus kampus Unsri?
Sebenarnya juga karena kesamaan simbol warna kuning almamater UI dengan Unsri ini adalah sebuah kebetulan saja saya menceritakannya di sini. Tak bermaksud membanding-bandingkan satu kampus ini dengan kampus itu. Yah, karena sebuah kebetulan. Itu saja. Jika ada yang positif dan bermanfaat, silahkan saja diambil. Saya sangat bersyukur sekali.
Nah, anggap saja semua cerita saya ini sebagai sebuah pengalaman perjalanan selama menelusuri kota Jakarta dan UI Depok demi mencari ilmu yang bermanfaat kelak sebagai bekal hidup. Setiap momen tak akan terulang dua kali. Prinsip ini selalu saya ingat. Jadi, sangat disayangkan jika setiap momen akan hilang begitu saja. []
4 comments:
wah sudah ke jakarta ya?
Kampus UI depok itu dekat rumah saya lho, tiap pagi saya lewat situ.. Jalan-jalan ke margonda gak? Disana banyak makanan enak2enak lhooo..
wah, kapan ya unand di padang juga punya hotspot gitu?????????????
Gue doaing loe jadi dosen dech..
ngomong-ngomong kampus fisip masih sering kebanjiran gak?
www.tante-girang.cjb.net
.
Setau gw di UI itu keberadaan hotspot itu merupakan kontribusi adanya uang pangkal yang harus dibayar seorang mahasiswa baru UI dari rentang skala bayaran yang variatif antara 5-25 juta, apakah adanya teknologi canggih harus mengorbankan akses pendidikan untuk rakyat secara keseluruhan?
Post a Comment