Wednesday, October 22, 2008

Menanti Sumbangsih Kaum Akademik

Lima bait membaca tulisan di bawah ini, saya yakin para intelektual kampus apalagi mereka yang telah menyandang guru besar akan merasa tersentak. Akan sangat mulia jika kritik yang ditulis Agus Wibowo, di Harian Suara Merdeka, ini menjadi motor penggerak bagi mereka untuk lebih bersemangat dalam melakukan riset dan penelitian yang berguna di tengah masyarakat kita sekarang. Tidak perlu jauh-jauh untuk melakukan riset yang rumit, justru lebih berharga jika riset mereka sangat bermanfaat secara langsung tersentuh masyarakat.

Semoga kritik ini menjadi pemicu semangat para dosen dan guru besar di seluruh perguruan tinggi Indonesia, untuk lebih banyak berkarya lagi. Kritik ini pula ada baiknya kita pahami bukan hanya untuk kaum intelektual kampus saja, tapi 'menyindir' kita semua yang pernah mengenyam bangku kuliah. Sumbangsih pemikiran memang banyak muncul dari kalangan akademisi, namun tidak menutup kemungkinan di luar 'menara gading' ini ada orang-orang cerdas yang dapat memberikan sebuah pemikiran yang akan memperkaya pemikiran akademisi.

Selamat berkarya para dosen dan guru besar di mana pun Anda berkiprah. Semoga karya-karya penelitian Anda berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. amin

20 Oktober 2008
Menanti Sumbangsih Kaum Akademik

  • Oleh Agus Wibowo

SEJARAWAN Sartono Kartodirdjo pernah mengkritisi para doktor, dosen, dan kaum intelektual di Indonesia. Mereka, kata Sartono, ibarat pohon pisang yang hanya berbuah sekali, selanjutnya vakum. Atau, sekali berkarya yakni ketika menyusun disertasi, setelah itu tamat dan tutup buku.

Tidak dimungkiri, para doktor dan kaum akademisi pada umumnya miskin dengan karya; entah karya tulis ilmiah (hasil penelitian), buku, apalagi artikel di media massa. Sebagai gambaran, di Universitas Gadjah Mada (UGM), lebih dari 300 guru besar yang dimiliki, hanya 30 persen saja yang melakukan penelitian (Kompas Jogja, 2/2/2007).

Pertanyaannya, jika UGM saja seperti itu, bagaimana dengan perguruan tinggi negeri (PTN) yang lain? Bagaimana dengan perguruan tinggi swasta (PTS)? Maka wajar, jika hadiah Nobel —penghargaan tertinggi terhadap karya seseorang di berbagai bidang— terutama masalah sains, ekonomi, sastra, dan perdamaian tidak pernah mampir di negeri ini.

Selain miskin karya, kaum intelektual itu, tidak pernah memiliki ide-ide ”gila”, atau melakukan penelitian yang luar biasa dan sangat urgen bagi kemanusiaan. Kaum intelektual, kata Fauzil Adhim (2006), dalam keseharian lebih dekat dengan dunia kata-kata.

Artinya, mereka lebih banyak terjun dalam kegiatan ceramah-ceramah, rutinitas akademik di kampus, entah mengajar, membimbing skripsi / tesis / desertasi, atau kegiatan akademik lainnya. Kegiatan ini memang tidak salah, hanya kurang tepat bagi kaum intelektual yang merupakan penyuluh masyarakat bawah (grass roots).

Bukan Ahlinya

Para dosen dan akademisi kampus pada umumnya memiliki tugas ganda. Artinya, selain membimbing mahasiswa, juga dituntut menjadi penyuluh dan pencerah bagi masyarakat di sekitarnya. Itu merupakan praksis nyata Tridarma dunia kampus, agar tidak sekadar di menara gading.

Misalnya, kaum akademisi mempublikasikan hasil penelitian atau rajin menulis artikel di media massa. Sayangnya, sedikit sekali akademisi yang mau menulis di media massa. Jika ada, kebanyakan sekadar mencari pencitraan, ketimbang memberikan pencerahan.

Akibatnya, media massa justru dibanjiri para penulis yang bukan ahlinya. Mereka kebetulan memiliki keterampilan menulis, atau mempu menyuguhkan tulisan yang sesuai dengan selera media massa. Wajar jika hasil analisis tentang sebuah hal menjadi kurang mendalam, parsial dan tidak jarang ”ngawur”. Berbeda tentunya dengan analisis dari pakarnya. Sebagai contoh, persoalan pendidikan akan lebih tajam jika ditulis oleh ahli pendidikan, atau persoalan hukum yang ditulis oleh ahli hukum, dan lain-lain.

Dunia akademik, kata Mahfud MD (2007), makin sering dinodai banyak kecurangan. Misalnya klaim secara sepihak karya tulis orang lain (shadow writer), dosen yang sampai hati menjiplak skripsi, tesis atau desertasi mahasiswa yang dibimbingnya dan sebagainya. Bahkan, banyak dosen yang melakukan penelitian atas pesanan pihak-pihak tertentu. Misalnya penelitian yang dilakukan Jurusan Komunikasi UGM serta Pusat Pengkajian dan Pelatihan Ilmu Sosial-Ilmu Politik (P3-ISIP) Universitas Indonesia. Kedua lembaga itu telah meneliti pemberitaan majalah Tempo dan Koran Tempo mengenai dugaan korupsi penggelapan pajak Asian Agri.

Tidak Terbiasa

Tampaknya, kengganan akademisi menulis di media massa disebabkan beberapa hal. Pertama, mereka tidak memiliki keterampilan menulis. Ketika masih menjadi mahasiswa, mereka terlalu konsen pada studi dan kegiatan akademik lainnya. Mereka tidak mau menyempatkan sedikit waktunya untuk bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kepenulisan, atau komunitas-komunitas kepenulisan lainnya. Bagi mereka, menulis bukan sesuatu yang penting, ketimbang dunia akademiknya. Akibatnya, mereka tidak memiliki skill menulis, hingga diangkat menjadi dosen.

Kedua, rutinitas akademik. Banyak dosen mengkambinghitamkan rutinitas akademik, sebagai alasan mereka tidak menulis. Waktu mereka konon habis untuk kegiatan tersebut. Hemat penulis, rutinitas akademik bukan kendala, masih banyak waktu tersisa hanya untuk menulis artikel pendek media massa (hanya sekitar 5.500-6.500 kata). Mestinya, rutinitas itu justru mengilhami banyak tulisan, bukan menjadi kambing hitam.

Ketiga, model atau ragam bahasanya. Kaum dosen terbiasa menulis dengan bahasa ilmiah, sementara media massa menggunakan ragam bahasa ilmiah popular. Kedua ragam bahasa ini memang memiliki perbedaan. Ragam bahasa ilmiah misalnya, cenderung mengikuti tata aturan formal Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kering, dan kaku. Sementara ragam ilmiah populer lebih komunikatif dan dapat diterima seluruh lapisan masyarakat. Tentu saja, dosen sangat kesulitan menyesuaikan dengan bahasa model tersebut. Memang, ada beberapa dosen ahli yang mampu mengatasinya, karena kebetulan ketika masih menjadi mahasiswa terbiasa menulis di media massa. Kenyataan ini menjadi dilema. Di satu sisi kerja dosen adalah mencerahkan masyarakat, sementara di sisi lain media atau saluran pencerahan tidak bisa menjembatani.

Hemat penulis, sudah saatnya model ragam bahasa ilmiah akademik diselaraskan dengan ragam bahasa ilmiah popular (bahasa media massa). Tujuannya, agar ide-ide cerdas dan pemikiran positif kaum dosen bisa lebih dekat dan bermanfaat bagi masyarakat. Bukankah dengan mentradisikan penggunaan ragam bahasa ilmiah popular di kalangan dosen, tidak bertentangan dengan metode ilmiah yang menjadi ”jargon” dunia akademik?
Meski demikian, independensi, keberpihakan kepada masyarakat, dan kejujuran harus diletakkan sebagai kerangka acuannya. Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian. Artinya, kejujuran dan kebenaran pembacaan akan realitas kehidupan yang terpancar dalam tulisan yang kita suguhkan, bakal terus memengaruhi pembacanya.

Kita pun sudah ikut menyumbangkan nilai positif bagi peradaban masyarakat. Sebaliknya, karya tulis yang dimulai dengan pembacaan keliru dan dibalut dengan kebohongan —meski hanya secuil— bakal merugikan masyarakat pembaca. Sudah saatnya hasil penelitian yang menghabiskan banyak waktu, harta, dan tenaga, tidak hanya menumpuk di ruang sempit dan pengap. Karya-karya tersebut mesti bersilaturahmi, membimbing, dan menjawab persoalan krusial dalam masyarakat. (32)

—Agus Wibowo, peneliti utama pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Saturday, October 18, 2008

Profesional dalam Profesi Jurnalis

Saya pikir, yang menjadi persoalan utama yang diangkat oleh Iqbal, adalah benturan antara identitas wartawan sebagai profesi yang memiliki etika dengan identitas sebagai buruh (jika wartawan itu sebagai buruh di perusahaan media) yang harus mengikuti aturan perusahaan dan mengikuti aturan struktural yang berlaku di perusahaan itu.

Persoalan benturan identitas dan benturan kepentingan itu, saya pikir menjadi persoalan besar bagi wartawan di mana pun. Misalnya, ketika seorang wartawan akan menulis sebuah kasus yang melibatkan perusahaan tempatnya bekerja, dia akan terjebak di dalam konflik identitas seperti yang saya sebutkan di atas. Isu itu bukan isu baru tentunya. Tadi siang di Bandung saya baru saja berdiskusi tentang sistem kerja seperti apa yang cocok bagi wartawan. Apakah dia harus bergabung menjadi buruh di perusahaan atau lebih baik menjadi freelancer yang bisa menjual karyanya ke media mana pun.

Muncul perdebatan hangat, karena dua-duanya memiliki aspek untung dan rugi. Menjadi buruh, dengan gaji tetap, menjadi pilihan karena menjanjikan "stabiltas" penghasilan untuk jangka waktu tertentu, walaupun tidak bisa dikatakan akan menjanjikan "sustainability." Juga ada kemungkinan wartawan itu harus menggadaikan etika demi kepentingan perusahaan.

Menjadi freelancer, idealisme dan etika bisa tetap kita pegang teguh, tapi --setidaknya di Indonesia-- tidak bisa menjanjikan penghasilan yang stabil. Sustainability juga masih menjadi persoalan, namun hal itu tergantung kepada seberapa kuat niat dan usaha seorang wartawan untuk tetap memegang profesi itu. Idealnya bagi wartawan-buruh, tentu, adalah jika idealisme dan etika profesi bisa berjalan seiringan dengan kepentingan perusahaan, sehingga tidak perlu terjadi benturan kepentingan dan identitas seperti yang saya sebutkan di atas. Namun, kita tahu, tidak banyak perusahaan media yang membiarkan wartawannya untuk bekerja sesuai dengan idealisme dan etika kewartawanan.

Bahkan lebih buruk lagi, belakangan di Indonesia ada upaya untuk mendorong wartawan menjadi bagian dari marketing perusahaan dalam mencari iklan, promosi, dll. Hal itu, mungkin merupakan strategi perusahaan media untuk mengurangi beban biaya produksinya, dan melepaskan risiko dari pemberitaan yang bisa merugikan perusahaan.

Ada juga isu, kontributor atau wartawan kontrak atau wartawan tidak tetap (buruh kontrak) yang menuntut diangkat menjadi karyawan, diberi pilihan untuk membuat kantor berita sendiri dan perusahaan media akan membeli berita dari perusahaan kontributor itu. Ada juga perusahaan media yang memberi pilihan, kontributor daerah disuruh menjalankan kantor perwakilan yang TIDAK TERIKAT ke kantor pusat. Wartawannya diberi tugas memasarkan koran dan mencari iklan, sekaligus mencari berita. Tindakan perusahaan itu sangat tidak etis baik dilihat dari perspektif perburuhan maupun jurnalisme, tapi itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia ini.

Bagi wartawan freelancer, ada persoalan tarif berita yang mereka tulis. Tidak banyak perusahaan media di negara ini yang secara layak menghargai karya jurnalisme. Mau panjang, mau pendek, mau straight news, mau investigative reporting, tetap saja dibayar rendah.

Benturan kepentingan atau strategi perusahaan yang "mematikan" idealisme dan etika kewartawanan seperti itu sudah lama terjadi di Amerika Serikat. Contoh kasusnya di Seattle Times, di mana newsroom "dikuasai" oleh editor yang juga personel marketing perusahaan (baca When MBAs Rule the Newsroom, 1995, p.159). Dari penelitian di buku itu, ada satu kesimpulan yang menarik, yang diambil dari
pernyataan para wartawan di sana. Kira-kira begini bunyinya, "Menjadi wartawan pada akhirnya tidak lebih menjadi buruh perusahaan seperti IBM atau buruh di perusahaan asuransi."

Saya, sebagai wartawan, tidak menginginkan hal itu terjadi di Indonesia atau di media tempat saya bekerja. Tapi sekarang masalah itu mulai terjadi. Dan pernyataan Iqbal, bagi saya, telah membuktikan terjadinya kebingungan atau disorientasi di kalangan wartawan, sebagai akibat perubahan situasi industri media di negeri ini, yang sedikit banyak mengikuti pola yang terjadi di Amerika. [dikutip dari milis pantau-komunitas. ditulis oleh: Zaky Yamani dari HU. Pikiran Rakyat]