Sunday, December 03, 2006

In House Trainning Untuk Magang

Belasan anak magang Teknokra terlihat serius memperhatikan materi yang disampaikan Rieke Pernama Sari, Redaktur Pelaksana Teknokra. Mereka hanya sebagian kecil dari sejumlah anggota magang Teknokra yang berjumlah sekitar 30-an orang. Sungguh banyak, tapi pagi itu (Sabtu, 2/12) hanya belasan orang yang hadir mengikuti In House Trainning di kesekretariatan Teknokra. Biasanya kru Teknokra cukup menyingkatnya dengan "IHT".

IHT sepenuhnya dirancang oleh divisi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknokra. Saya perhatikan jadwal yang tertempel di papan tulis, dilaksanakan selama dua hari. Semua peserta IHT itu harus menginap, karena pada malam harinya mereka diwajibkan membuat sebuah produk media cetaknya berupa majalah, koran, tabloid atau buletin. Ya, semacam simulasi sebelum mereka merasakan benar-benar menghasilkan produk terbitan.

Ingin sekali saya mengisi materi seperti itu lagi. Rasanya menjadi insttruktur, akan terasa kembali seperti mereka belajar. Memang menjadi seorang instruktur atau pengajar, tidak cukup puas dengan ilmu yang dimilikinya. Ia harus semakin rajin belajar dan menemukan hal-hal yang baru yang dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Sunday, November 19, 2006

"Saya bantuin ya"


Akhirnya saya baru sempat posting foto di samping ini. Ceritanya, kebetulan saya setiap pagi punya kerjaan baru sebagai 'tukang ojek' mengantar mbak saya ke kantornya ketika saya masih libur Lebaran di kota Palembang.

Setelah pulang mengantar mbak saya ke kantornya di Jl. Sudirman, saya pun sering mampir ke warnet di ruko seputaran Jl. Rajawali. Hampir setiap hari saya nge-net di sana. Sekedar ingin cek email, blog atau kebetulan chatting beberapa menit dengan teman nun di seberang seberang sana. Ngga lama-lama, karena ongkos browsing satu jamnya Rp4ribu.

Karena setiap pagi jalan keluar dan saya selalu membawa kamera digital (camdi) yang melekat di ikat pinggang saya. Saat ada momen yang menarik buat saya, saat itulah saya mengambil camdi kemudian segera memfoto objek itu. Salah satu foto yang saya sukai adalah foto di samping ini.

Waktu itu kebetulan pulang dari nge-net dan mengantar mbak saya ke kantor, tepat di depan motor saya saat lampu merah masih menyala di simpang empat Jl.Veteran dekat Radio SPI dan Elita FM, seorang anak perempuan memegangi dua buah galon air kosong. Anak kecil ini dibonceng seorang lelaki tua. Entahlah, lelaki tua ini kakek si kecil ini atau bukan. Seketika naluri saya mengambil objek itu ke dalam camdi saya. Ini pasti menarik. Saya selalu memperhatikan foto ini di komputer ketika di rumah. "Foto ini bagus. Human interest-nya ada,"gumam saya. Hobi saya mempotret mulai saya tekuni kembali.

Tuesday, November 07, 2006

Lentara Merah, Bisakah Kini Menerangi?


Semalam (Senin, 6/11), saya lihat teman saya membawa dua kaset CD film dari rental yang baru ia pinjam. "Wah menarik, ada film nih," pikir saya. Dua judul film itu: Lentera Merah dan Sembilan Naga. Saya tertarik dengan film Lentara Merah karena mendengar ceritanya tentang pers mahasiswa (persma) yang berdiri sekitar tahun 1930-an. Saya pinjam film itu dari teman saya buat sehari ditonton di sekret kami.

Kaset CD pertama mulai saya putar di komputer. Pada penggambaran pertama ditampilkan sosok seorang pria tua yang melihat jam dan tanggal di atas lemari kecil. Pria tua itu kaget setelah mendengar tiba-tiba suara lagu "Puspa Dewi". Suasana malam di kamarnya menjadi mencekam. Tapi, saya punya penilaian pada awal penggambaran film ini yang langsung membuat kaget penonton cukup bagus. Boleh jadi penonton langsung merasakan horor saat diputar.

Namun, sebenarnya film yang diperankan tokoh utamanya oleh Laudya Cynthia Bella (Risa) ini sungguh cukup banyak kelemahan di dalamnya. Dari film Lentera Merah ini, saya belum menemukan atau tidak ditampilkan sejarah terkait berdirinya Lentera Merah sebagai majalah kampus pada tahun 1930-an dengan kejadian Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S/PKI. Tokoh Risa yang diperankan di film itu ternyata telah meninggal karena asma saat dikurung oleh para dewan alumni ketika itu telah difitnah mereka. Adakah maksud sutradara dalam film ini ingin menceritakan adanya konflik ideologi sebelum terjadinya G 30 S/PKI dengan kasus yang menimpa Risa dituduh antek PKI?

Pada malam inisiasi yang diadakan para senior Lentera Merah ketika itu, tampaknya merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan pada malam hari setiap perekrutan anggota baru. Apakah sosok Risa yang ternyata 'hantu' berwujud manusia itu kemudian, bisa ikut bergabung dengan anak-anak baru yang ternyata secara kebetulan para orang tuanya dulu adalah anggota Lentera Merah juga?

Wah...film ini ternyata banyak menyisahkan pertanyaan saya yang belum terjawab di sana. Saya kira dari film ini setidaknya bisa mengungkap kebenaran sesuai dengan moto dari Lentera Merah itu sendiri, yakni "hanya berpihak kepada kebenaran". Apa kebenaran dalam film ini bisa diyakini sebagai film non-fiksi? Atau hanya 'bumbu-bumbu' saja agar penonton tertarik dengan ideologi PKI ketika masa itu? (Sumber Foto: 21cineplex.com)

Wednesday, November 01, 2006

Bisa Lihat Personality Saya?

Amanah dari pi2t buat saya baru dibaca pagi kemarin (Selasa, 31/10). Sekilas saya baca isinya macam jawaban tentang sebagian kecil kepribadian Pi2t. Kurang lebih seperti itu. Saya tidak tahu pasti kumpulan pertanyaan ini berdasarkan apa dan entah sudah berapa banyak ‘pasien’ yang ditanyakan. Saya pun kebagian 30 pertanyaan yang akan saya jawab setelah ini. Kata Pi2t, apakah jawaban yang diposting di blog-nya itu bisa bisa menebak personality-nya? Yuk..kita lihat jawaban saya dari pertanyaan ini.

APAKAH KAMU...

1. Iri-hati pada orang laen : Kalau positif sebagai motivasi buat saya untuk lebih baik lagi, kenapa tidak toh?

2. Kamu mengandalkan 'beauty' or 'personality' : Karena saya cowok, jadi memilih ‘personality’ saja.

3. Punya SIM? : Punya dua. SIM C Lampung dan SIM A Sumsel. Sayangnya, SIM A sudah habis masa berlakunya. Hiks :(

4. Takut kehilangan 'uang' atau 'teman'?: Kehilangan ‘teman’ dong. Kalau kehilangan ‘uang’ kan nantinya bisa pinjam dari ‘teman’

5. Berkacamata : Kadang-kadang dipakai

6. Suka anak kecil : Maksudnya ‘suka’ seperti apa ya?

PERNAHKAH KAMU.........

7. Berpikir tuk operasi plastik: Tidak pernah

8. Memotong sendiri rambutmu: Pernah, hanya karena malas pergi ke tempat potong rambut

9. Jatuh cinta pada pandangan pertama : Sering. Cuma sebentar, setelah beberapa lama kemudian biasa saja.

10. Berpikir untuk mengadopsi anak : Tidak pernah tuh

11. Pacaran ama orang yg jauuuh lbh tua : belum pernah

12. Cinta bertepuk sebelah tangan : belum pernah juga

13. Kehilangan dompet : Dulu pernah waktu SMA. Untungnya jatuh di jok mobil teman dan ketemu kembali.

KUSUKA..........

14. Nonton berita : akhir-akhir ini jadi tontonan wajib setiap hari

15. Pelajaran di sekolah : Tidak ada yang spesial

16. Tipe cewek : Seiman, beautiful girl (dalam dan luar), cerdas, pengertian, loyal, bertanggungjawab, suka menolong dan rajin menabung (Hehe..cocok ngga dengan kamu?)

17. Menu sarapan : Yang pasti harus ada nasi dan lauknya terserah apa saja

18. Orang yang sedang kusuka : Orang yang loyal dan bertanggungjawab

19. Penampilan lawan jenis yg kamu sangat suka ngeliyatnya : tentunya berjilbab rapi

20. Band : Nidji

21. Tempat : pantai dan pegunungan

22. Baca koran : Koran ‘K’ lebih bagus dan bermutu daripada koran lainnya, karena dari koran ini membuat saya banyak belajar lebih kreatif menulis

23. Resto fast food: apa saja dan di mana saja

24. TV station: Trans TV, karena ingin sekali bekerja di sana

25. Nama untuk anak laki : Belum terpikirkan

26. Nama untuk anak perempuan : Sama seperti di atas tuh

KESAN PERTAMA KALO DENGER......

27. Koper : bawaan banyak

28. Sekolah : teman-teman

29. Sapi : susu

30. Rizky Hanggono : Siapa dia? Ngga kenal tuh

NGE-LEMPAR PR BUAT SIAPA?

Buat siapa saja yang sempat mengunjungi blog saya dan membaca sejak tadi

Wednesday, October 25, 2006

Asiknya Bubar dan Reuni 2001


Senang rasanya kembali bisa berkumpul dengan teman-teman seangkatan SMA kemarin Jumat (20/10) sore di KFC Hotel Royal Asia. Acara buka puasa bersama (bubar) ini boleh dibilang mendadak. Sebabnya, setahu saya Feliciano memberi kabar via sms satu hari sebelum acara buka puasa. Begitu pula kabar itu saya yakin baru disebar ke beberapa teman-teman lainnya via sms pada hari itu juga.

Sayangnya, sejak awal kelihatannya tidak ada yang ingin menjadi inisiator buat mengundang teman-teman seangkatan. Ya, saya pikir mungkin mereka sudah pada sibuk. Atau bisa jadi mereka malas, karena tidak seperti acara bubar dua tahun lalu di rumah Tata yang terlihat lebih ramai oleh teman-teman yang datang ketika itu.

Tapi, untuk tahun ini, tidak apa-apa bagi saya meskipun yang datang di Hotel Royal cuma sedikit. Alhamdulillah, ada sekitar 30-an orang yang datang sore menjelang Maghrib sore itu. Beberapa teman terlihat masih santai mengobrol dengan yang lainnya di sudut meja walaupun azan telah tiba. Mereka sampai lupa waktu padahal telah tiba berbuka puasa.

Saya pun sejak sekitar 10 menit waktu azan Maghrib telah mengantri di dalam barisan untuk memesan makanan berbuka puasa. Menunggu tiga orang di depan. Terasa lama sekali. Saya lihat seorang perempuan berjilbab di depan meja sedang menjaga kasir. Tampaknya ia juga bertugas menyiapkan pesanan, seperti menuangkan Coke ke dalam gelas atau menyiapkan beberapa potongan ayam sesuai permintaan konsumen. Pesanannya cukup banyak. Dari benak saya, kenapa tugasnya sebagai kasir harus ditambah dengan melayani permintaan konsumen seperti tadi. Katanya restoran cepat saji. Tapi, kok masih tetap saja lama menunggu dengan mengantri panjang di dalam barisan.

Setelah tiga orang di depan saya telah selesai mengambil pesanannya dan membayar kepada penjaga kasir, kebagian giliran saya. Saya bilang pada teman saya di belakang kalau saya hanya pesan segelas Coke. Buka tidak ingin sekalian makan malam dengan ayam goreng yang lagi hangat. Tapi, kebetulan saya tidak membawa uang. Jadi, saya meminjam uang Rp10 ribu dari Aziz ketika masih sempat menunggu sambil duduk-duduk di depan serambi KFC. Tapi, Aziz tidak ikut bubar karena ia dengan Hendri diajak bubar di tempat lain.

Dengan uang segitu, ternyata hanya cukup dapat membeli segelas Coke besar. Harganya tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tujuh ribu lima ratus rupiah. Saya kira harganya sekitar antara Rp4ribu-Rp5ribu. Yah, akhirnya cukup berbuka dengan segelas Coke besar dan menikmatinya bersama teman-teman yang belum kebagian dapat buka puasa karena telat memesan sebelumnya.

Monday, October 16, 2006

Buka Puasa Bersama Teman-teman UKM

Tanpa terasa kita yang sedang menjalankan ibadah puasa ini telah memasuki Ramadhan hari ke-23. Sepintas mungkin di pikiran kita, begitu cepatnya waktu berlalu. Puasa seperti baru saja dimulai kemarin, padahal nyatanya sekarang sudah memasuki sepuluh hari ketiga di bulan Ramadhan.

Di kampus saya, Unila, tempat saya lebih banyak menghabiskan waktu di sekretariat Teknokra yang berada di pojok Gedung PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Unila, sejak memasuki awal puasa Ramadhan, banyak undangan berdatangan. Kebanyakan undangan mengajak berbuka puasa bersama (bubar) dari teman-teman sesama aktivis UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di Gedung PKM Unila.

Seperti kemarin (Minggu, 15/10), teman-teman dari UKM Bidang Seni mengundang seluruh penghuni sekret di Gedung PKM Unila untuk mengikuti acara ‘bubar’ mereka. Ramai sekali saat itu. Sambil menunggu detik-detik azan Maghrib pukul 17.54 WIB sebagai tanda berbuka puasa, sebelumnya sekitar pukul empat sore, tamu undangan Ansori Djausal (Pembantu Rektor IV Unila) membacakan kumpulan sajak puisi yang dibuatnya. Lalu, di hadapan para undangan yang datang, Bang An, panggilan akrabnya, membacakan puisi “Krakatau”.

UKMBS sering mengundang para penyair yang tinggal di Bandarlampung dalam acara rutinnya setiap bulan. Sebelum Bang An, ada Budi P Hatess atau Bang Budi (Wartawan HU Lampung Post), panggilan akrabnya. Bang Budi membacakan beberapa karya puisinya agar dapat dinikmati bersama dengan hadirin undangan bulan Agustus lalu. Tak hanya sekedar membacakan puisi saja, ada kritik, saran dan pembahasan bersama peserta. Acaranya pun dibuat santai dengan duduk di alas karpet. Sesekali gelak tawa terluapkan. Saya makin menyukai acara rutin bedah sastra yang diadakan UKMBS ini. Saya pun sesekali nantinya ingin mengasah kemampuan menulis sajak. Rasanya berbeda sekali saat menulis berita atau opini.

Sebelum acara ‘bubar’ UKMBS, sejak minggu pertama puasa Ramadhan, UKM Filateli lebih awal mengundang teman-teman UKM lainnya dalam acara ‘bubar’ juga. Berikutnya, giliran UKM kita (Teknokra, red) di akhir pekan. Setiap momen ‘bubar’ giliran temen-teman UKM seperti bulan puasa Ramadhan ini, selalu saja ramai. Tentu saja selain gratis, bagi anak kostan mengirit pengeluaran sehari-hari. Ya, contohnya seperti saya ini.

Berikutnya secara berturut-turut, menyusul giliran UKM Pramuka, Rakanila, KSR, Mapala, dan Menwa. Hampir dalam seminggu giliran acara ‘bubar’ di Gedung PKM Unila tidak pernah sepi. Soal makanan, apa pun pasti habis disambar para undangan. Entah karena sangat kelaparan, atau menu-menu yang disajikan cukup enak.

Saya kangen ketika pulang ke Palembang nanti, ada acara bubar angkatan teman-teman SMA dulu. Ya, di momen seperti inilah kita bisa bertemu dan berkumpul kembali. Ada yang telah setahun lebih tidak bertemu dan di saat itulah bisa kangen bertemu lagi.

Tuesday, October 10, 2006

Atul: Pahlawan Pers Mahasiswa

Pernahkah kita mencoba kembali mengenang perjuangan para mahasiswa saat menyaksikan peristiwa Tragedi Trisakti pada Mei 1998 lalu di layar televisi? Dari layar kaca itu, kita sepakat bahwa aksi itu adalah sebagai keberutalan luar biasa yang pernah terjadi sepanjang sejarah Orba di negeri ini ketika itu. Bagaimana tidak, mahasiswa yang saat itu berdemonstrasi menuntut Soeharto agar turun dari jabatan presiden yang telah berkuasa selama hampir 32 tahun, kemudian diberondong tembakan oleh aparat keamanan ke seluruh penjuru masa yang kebanyakan adalah mahasiswa. Banyak korban yang kemudian berjatuhan. Bahkan ditemukan korban meninggal dunia karena ditembak peluru tajam oleh aparat keamanan.

Peristiwa di atas bukan saja sekali dan terjadi hanya di Jakarta. Di Bandar Lampung, pada awalnya hanya sebuah aksi demonstrasi yang digawangi para aktivis Dewan Mahasiswa (Dema) di depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) pada 28 September 1999. Para aktivis mahasiswa itu menuntut pencabutan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Namun, tepat di depan kampus UBL itu mereka telah dinanti para aparat kepolisian (Pasukan Huru-hara atau PHH ketika itu, red).

Tak menghiraukan PHH yang menghalangi jalan, para aktivis Dema dari berbagai kampus di Bandar Lampung itu kemudian berorasi di depan aparat keamanan itu. Mereka juga sempat berusaha menembus barisan PHH. Namun, entah siapa yang pertama kali memicu kericuhan sehingga terjadi chaos. PHH memberondong tembakan ke arah para mahasiswa yang berdomonstrasi. Aksi itu ternyata bukan murni dari kalangan mahasiswa, tapi ada elemen lainnya (PRD, red) yang ikut bergabung dalam aksi demonstrasi.

***
Juwendra Asdiansyah (Pemimpin Umum Teknokra 1998-1999) mengetahui terjadi chaos di depan kampus UBL dari pengumuman MC festival musik yang saat itu digelar di kampus Unila. Bergegas Juwendra memberitahukan hal itu kepada seluruh kru yang ada di kesekretariatan Teknokra. Atul, panggilan akrab Saidatul Fitria, yang ketika itu berada di kesekretariatan Teknokra, langsung menuju tempat terjadinya chaos di depan kampus UBL yang jaraknya kurang dari empat kilometer dari kampus Unila.

Atul tidak sendiri ketika berangkat ke sana. Ia ditemani Reno Setiaji (Magang Teknokra) memantau aksi demonstrasi yang telah berubah menjadi chaos. Beberapa orang melempari batu-bartu besar ke arah pasukan PHH. Di jalanan raya depan kampus UBL berubah menjadi arena lemparan batu.

Kesabaran bertahan dari lemparan batu-batu dari arah mahasiswa, entah perintah dari siapa kemudian pasukan PHH kemudian memberondong para pendomonstrasi yang melempari batu-batu itu dengan peluru. Banyak mahasiswa terluka-luka. Bahkan, ada yang terkena tembak peluru tajam yang menembus dada kiri. Dia adalah M Jusuf Rizal, mahasiswa FISIP Unila. Ijal akhirnya harus pergi untuk selamanya ketika sempat dibawa ke rumah sakit.

Ketika Atul mengabadikan peristiwa chaos itu dengan kamera SLR Nikon dari tangannya, ia yang bertugas sebagai jurnalis foto, tidak menyangka harus terluka parah akibat kepalanya dipukul benda tumpul dari aparat keamanan. Atul dibawa ke Rumah Sakit Advent yang berada tidak jauh dari kampus UBL, tempat terjadi chaos.

Atul saat berada di tempat terjadinya chaos, ia sempat mengabadikan beberapa fotonya. Kini, ada tujuh foto dari aksi keberaniannya itu masih tersimpan di kesekretariatan Teknokra.

Namun, setelah kepalanya dipukul benda keras dan harus segera dibawa ke rumah sakit ketika itu, ia mengalami koma. Saat sadar setelah Atul diobati kepalanya, ia sempat mengatakan kepada Juwendra, "Kak, saya telah diincar mereka (aparat keamanan, red)!" Kepala Atul mengalami retak pada tengkoraknya. Ia harus segera dioperasi pada hari berikutnya.

Pasca operasi pada kepala Atul, ia hampir tak lagi sadarkan diri. Atul kembali koma. Sampai ia dipanggil menghadap Sang Khaliq pada pagi subuh, tanggal 3 Oktober 1999. Sepeninggalnya, Ia pantaslah mendapat penghargaan sebagai "Pahlawan Pers Mahasiswa."

***
Kisah tujuh tahun lalu itu saya dapatkan dari Kak Juwendra, yang kini ia adalah wartawan Harian Umum Seputar Indonesia yang tinggal di Bandar Lampung. Saya amat sedih mendengar cerita darinya saat Atul tidak tertolong lagi. Atul bagi saya dan teman-teman Teknokra sekarang adalah inspirasi perjuangan pers mahasiswa dan jurnalis, juga umat manusia. Karena Atul melaksanakan tugas tanpa pamrih. Ia mengabadikan foto sebagai tugas seorang jurnalis yang memberikan informasi kepada publik. Tapi, ia harus meninggalkan kita semua. Namanya (Saidatul Fitria), mengabadikan pada kesekretariatan kami menjadi Graha Saidatul Fitria.

Saturday, September 30, 2006

Majalah Teknokra: Kreativitas Penggiat Pers Mahasiswa Unila


Beberapa minggu terakhir ini, saya senang sekali dengan apa yang telah dilalui dan dicapai bersama dengan teman-teman di Teknokra. Pertama, Majalah terbitan kita, Teknokra Edisi September No.208 telah terbit pada pertengahan September lalu. Di saat itulah momen yang tepat, yakni kembalinya hampir seluruh mahasiswa Unila ke kampus masuk kuliah semester ganjil yang kemudian kita membagi-bagikan majalah gratis itu kepada mereka.

Majalah yang berisi 100 halaman ini adalah hasil liputan teman-teman Teknokra di lapangan. Liputan utama atau kita menyebutnya di dalam majalah terbitan tiga bulan sekali itu dengan rubrik Peristiwa, mengulas tentang permasalahan kepemilikan tanah di Pulau Sebesi, Lampung Selatan (Foto: cover majalah berwarna biru,red)

Selasa kemarin (26/09), menyusul terbit majalah Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2006. Majalah dengan jumlah sebanyak 60 halaman ini pun dibagikan secara gratis kepada mereka pendatang baru di kampus hijau Unila. Isinya kebanyakan adalah tentang liputan di sekitar kampus, macam kost-kostan dekat kampus atau biasa di sebut perkampungan mahasiswa Kampung Baru. Ada pula liputan tentang fenomena di FKIP yang kebanyakan para mahasiswinya mengenakan rok. Alasannya, fatwa wajib dari dekanat FKIP yang harus dipatuhi para ’calon guru’.
(Foto: cover bergambar kartun sedang memegang kamera, red).

Kedua majalah itu sama-sama terbit pada bulan ini. Entah dengan cara bagaimana saya sebagai pemimpin redaksi Teknokra, meluapkan rasa syukur dengan terbit kedua majalah itu, selain rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Perjuangan yang selama ini dilakukan bersama-sama sebagai tim work yang tangguh, tentu saja membawa kemenangan dan hikmah yang baik. Tak luput para kru redaksi hingga larut malam pun harus menyelesaikan rubrik demi rubrik hingga sesuai tearget (deadline,red). Namun, deadline masih sulit untuk ditepati yang seharusnya selesai akhir Agustus kemarin. Tapi, hal itu bisa dikejar lekas terbit saat memasuki momen awal bulan puasa Ramadhan dan mahasiswa baru mulai kuliah.

Selain Teknokra punya terbitan majalah triwulan, Teknokra punya terbitan lain. Namanya Buletin Teknokra News. Buletin ini mirip seperti koran-koran media cetak harian kebanyakan. Buletin dengan jumlah delapan halaman ini terbit setiap dua minggu sekali. Sama seperti majalah, ini dibagikan secara gratis kepada mahasiswa Unila. Boleh jadi kita memberikan istilah dengan ”Community Paper.” (Foto: Paling atas bertuliskan Teknokra yang dibuat ’tebal’)

Dari semua terbitan Teknokra adalah kerja keras semua kru. Mereka tidak dibayar untuk menghasilkan produk-produk jurnalistik itu. Kami masih mengandalkan uang untuk percetakan yang berasal dari uang SPP yang dibayarkan setiap mahasiswa setiap semesternya sebesar Rp 6 ribu. Boleh jadi mereka bisa disebut pelanggan bagi Teknokra. Tapi, Teknokra tidak mengelolah semua uang yang dibayarkan mereka, tapi Rektorat Unila yang memegang otoritas uang mahasiswa itu. Jadi, Teknokra hanya mendapatkan biaya terbitan saja. Tapi Teknokra bukanlah PR bagi Rektorat. Teknokra adalah insan pers mahasiswa yang independen tidak berpihak kepada siapa pun kecuali pada kebenaran dan juga kritis dalam penyampaian informasi kepada publik.

Friday, September 29, 2006

Di atas Kapal Penyeberangan Ferry

(Suasana di atas kapal Ferry pada malam hari. Sejumlah kendaraan pribadi menempati masing-masing tempatnya. Biasanya penyeberangan Ferry dari pelabukan Bakauheni, Lampung-Merak, Banten atau sebaliknya pada malam hari terlihat sepi seperti pada foto di atas ini, Sabtu (26/08))

Wednesday, September 27, 2006

Susahnya Mengalahkan Rasa Ngantuk

Hari ini puasa Ramadhan yang ke-4. Hari demi hari tidak terasa melewati semua momen dalam suasana di bulan suci tahun ini. Kemudian, saya sejenak berpikir, “Sudah melakukan amalan Ramadhan apa saja hingga hari ini?” Yah, mungkin saya bukanlah termasuk salah seorang yang rajin dan menghitung-hitung ibadah. Maksudnya, ketika melakukan sebuah ibadah atau semacam amalan ibadah sunnah, saya tidak pernah menghitung-hitung berapa banyak jumlahnya yang telah dilakukan. Jalani apa adanya. Karena semuanya saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa. Karena Dia-lah Yang Maha Mengetahui.

Puasa Ramadhan ini sebenarnya banyak orang Islam yang percaya kalau ibadah-ibadah macam membaca Al Quran, salat Tarawih dan Witir, juga lainnya, akan dilipatgandakan pahalanya. Saya tidak tahu persis berapa kali lipat. Dulu pernah belajar dan tahu tentang ini, tapi sayangnya saya lupa. Tak apalah, yang penting adalah ibadah puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga saja, tapi lebih dari itu tadi. Menambah ibadah-ibadah sunnah lainnya.

Kadang-kadang saat minggu pertama puasa, boleh dibilang sedang rajin-rajinnya dan ramainya menunaikan salat Tarawih. Bagus. Tapi, namanya juga manusia, semakin hari semakin ‘kendor’ semangat salat di masjid secara berjamaah itu. Seperti saya, semalam ketika setelah salat Isya dan sempat sedikit mendengarkan ceramah, tapi sayangnya tidak sampai selesai. Kemudian, rasa ngantuk yang selalu mengganggu konsentrasi. Akhirnya saya lebih baik memilih pulang ke sekret Teknokra, dan tidur dengan lelap.

Tapi, kalau dibandingkan dengan teman-teman saya saat setelah sahur dan salat Subuh, saya tidak ikut-ikutan tidur seperti mereka. Wah, mereka kebanyakan memilih tidur seperti pagi-pagi seperti ini. Kalau saya rasanya saat mengantuk, yah kadang-kadang juga tidur seperti mereka. Memang susah mengalahkan rasa mengantuk. Sampai-sampai saya pernah menahan rasa mengantuk kemudian air mata saya keluar. Seperti menangis saja.

Jadi, tidurlah jika mengantuk. Tidak perlu dipaksakan ditahan untuk tidak tidur. Betul tidak?

Saturday, September 23, 2006

Refreshing di Pantai Maitam

Melihat pemandangan pantai di propinsi ujung pulau Sumatera ini sungguh indah. Memang tidak semua pantai menarik, tapi beberapa yang pernah saya kunjungi mempunyai pesona yang mengagumkan. Barangkali ketika selama dibesarkan di kota kelahiran sendiri (Palembang, red) yang sangat jauh dari pantai, belum pernah merasakan kemolekan pantai dengan deru-deru ombaknya. Pasir-pasir pantai yang putih dan bersih. Juga perahu-perahu yang sedang bersandar di pinggir pantai. Semuanya menjadi satu keindahan alam ciptaan Maha Kuasa.

Minggu siang kemarin (17/09), saya dan teman-teman Teknokra berencana jalan-jalan ke pantai Maitam. Pantai yang berjarak kira-kira 30 km lebih dari pusat kota Bandarlampung ini, ternyata lumayan memakan waktu dua jam perjalanan. Jalan-jalan ke Pantai Maitam adalah yang pertama kali buat saya. Kita yang berjumlah sekitar 25 orang berangkat ke sana dengan menyewa dua angkot. Menyenangkan sekali bisa liburan seperti ini dengan teman-teman.

Ternyata datang ke pantai bukan sekedar refreshing saja siang itu. Kita (Teknokra,red) kehadiran kru baru yang telah melewati masa magang. Ada sekitar delapan orang yang seharusnya datang dan dilantik. Tapi, yang hadir saat itu hanya tiga orang saja. Mereka adalah Nur Amalia, Risma Evika, dan Riski Sherindani. Nantinya untuk ke depan, dari merekalah nafas Teknokra akan selalu terus dijalankan. Regenerasi akan selalu berputar.

Acara pelantikan mereka yang didaulat menjadi bagian dari keluarga besar Teknokra, terlihat unik dengan dandanannya. Ada yang mengenakan batok kelapa di letakkan di atas kepala mereka. Ada pula dikalungi rumput. Sepertinya saya langsung kembali teringat masa ketika dulu seperti mereka dilantik tiga tahun lalu. Dari ujung rambut sampai kaki basah oleh air laut yang asin rasanya. Sekalian menyemplung dan main air laut di pinggir pantai.

Setiap momen seperti ini, tidak terasa puas tanpa kehadiran sang juru foto alias fotografer. Bagaimana tidak, semua kru Teknokra sangat doyan sekali ketika akan difoto. Fotogenit. Bahkan, Padli (Redaktur Pelaksana,red) saya menganugerahkan dia The year of Fotogenit. Karena dia selalu ada di setiap jepretan foto. Pokoknya, asik sekali berpetualang menyeberangi laut ke sebuah pulau. Air laut yang saya seberangi itu tingginya sekitar dada saya. Cukup dalam, apalagi teman-teman cewek.

Pulang dari pantai itu tanpa terasa sudah hampir matahari tenggelam. Sampai kembali ke kostan saya pun waktu Isya telah tiba. Benar-benar liburan menjelang puasa Ramadhan nih. Kangen rasanya nanti bisa main dan refreshing di pantai ini lagi.

Thursday, September 21, 2006

Goes to Java (2)

Tulisan dari perjalanan ke Jawa, baru dua buah termasuk ini. Padahal, lebih mengalir saat tulisan perjalanan ini saya buat secara berturut-turut. Bahkan, Dian sudah menagih cerita perjalanan saya ketika di Malang yang cuma sehari. Tapi, dua hari berikutnya kembali lagi ke Malang. Pokoknya, hampir semua kota kabupaten di Jawa Timur sudah dimampiri.

Penyeberangan dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan ke Pelabuhan Merak, Banten dengan menggunakan Kapal Ferry biasanya memakan waktu dua jam lamanya. Terkadang, jika telah mendekati pelabuhan yang dituju bisa menghabiskan waktu selama tiga jam. Sebab, kapal yang hendak bersandar harus mengantri giliran dengan kapal di darmaga.

Kami tiba di pelabuhan Bakauheni pada malam hari sekitar pukul delapan, Sabtu (26/08) lalu. Dari rumah (Palembang,red) memang sengaja berangkat pagi-pagi setelah salat subuh. Agar selama di perjalanan melalui lintas tengah Sumatera masih cerah dan memudahkan pandangan ke jalan yang banyak di penuhi lubang-lubang besar dan aspal yang rusak. Tentu saja akibat beban muatan truk yang berlebihan.

Sebelum kami membeli tiket untuk naik ke atas kapal di sebuah loket pembelian khusus kendaraan bermotor, tiba-tiba dari arah depan saya dikejutkan seorang polisi yang sedang mengawasi setiap kendaraan pribadi. Polisi itu menggunakan senter dan melihat setiap bagasi mobil.

Tiba giliran mobil yang saya kendarai diperiksa polisi itu. “Selamat malam Pak!” ujarnya kepada saya sambil mengangkat tangan kanannya, seperti hormat. “Dari mana ini?” tanya polisi itu. “Kami dari Palembang Pak,” kata saya. “Boleh lihat surat-suratnya?” Saya teringat dengan SIM A milik saya telah kadaluarsa alias tidak berlaku lagi. Tapi, saya tetap tenang dan hanya menyerahkan STNK mobil kepada polisi itu. Ia tidak menanyakan SIM. Lalu, polisi yang masih tampak muda itu melihat-lihat bagasi belakang yang penuh dengan barang. Ia pasti lupa menanyakan SIM pikir saya. Setelah menyerahkan STNK, ia kemudian menyuruh melanjutkan ke kapal. Alhamdulillah lancar, pikir saya.

Setelah membeli tiket kapal, mobil untuk kendaraan pribadi menempati di atas kapal. Sedangkan di bawah biasanya untuk kendaraan besar, macam bus dan truk. Setiap kami melakukan perjalanan ke jawa dengan mobil, memang selalu menyeberang dari pelabuhan Bakauheni pada malam hari. Suasana di atas kapal sedikit ramai. Angin berhembus kencang. Agak dingin, tapi terasa kering. Mungkin karena musim kemarau masih berlangsung.

Tanpa sengaja, di atas kapal itu ada semacam organ tunggal. Mungkin hiburan buat para penumpang untuk melepas kejenuhan dan capek. Saya lihat, persis sama perlengkapan berdangdut di atas kapal itu seperti di acara-acara organ tunggal kebanyakan. Di bawah sorot lampu yang terang, mulailah lagu-lagu dangdut 'bertubi-tubi' menghentakkan di atas kapal. Ada sekitar tiga cewek yang bernyanyi. Mereka saling bergantian untuk membawakan lagu-lagu. Kadang-kadang sambil bergoyang pinggul. Ada pula saya lihat seorang laki-laki ikut bergoyang di hadapan penyanyi itu. Laki-laki itu memegang beberapa lembar uang kertas. Dugaan saya pasti uang itu untuk si penyanyi ‘ngebor’ itu. Saya sempat mengambil beberapa gambar di sana. Hasilnya memang agak kurang bagus jika dilihat. Malam itu saya menemukan fenomena di atas kapal Ferry. Penyanyi dangdut dan organ tunggal berjalan di atas kapal. Ajeb...ajeb...ajeb....

Saturday, September 16, 2006

Desainer Grafis The New York Times


Teman saya, Gery dari Bengkel Jurnalisme suatu malam datang ke sekretariat Teknokra, tempat saya dan kru-kru belajar jurnalisme, menjadi wartawan kampus sekaligus menerbitkan media cetak buat mahasiswa Unila kebanyakan. Ia datang sendiri ketika itu. Katanya kepada saya, nantinya ada semacam pelatihan desain grafis dan Teknokra hanya diberi kuota satu orang untuk berpartisipasi di dalamnya.

Menarik sekali pikir saya apa yang ditawarkan kepada saya. Selain itu, pemateri yang akan memberikan pelatihan desain grafis untuk media cetak di Lampung itu berasal dari koran ternama di sana. Namanya Georgia Scott. Wanita berkulit hitam ini bekerja sebagai Art Director pada koran The New York Times.
Tentu saja saya tidak akan menyianyiakan kesempatan langka ini. Sebelumnya, Gery bilang kepada saya bahwa pelatihan desain grafis itu untuk dua koran ternama di Lampung, yakni Lampung Post dan Radar Lampung. Lampung Post adalah group dari Media Indonesia. Cukup mudah bagi orang yang pernah membaca koran ini kemudian akan teringat dengan koran milik pengusaha ternama, Surya Paloh yang juga memiliki stasiun televisi Metro TV. Mengapa? Pada huruf ‘O’ terdapat lambang burung rajawali. Kata Ade Alawi, Pemimpin Redaksi Lampung Post suatu hari bilang kepada saya, arti dari lambang itu bermakna filosofis yang diciptakan Surya Paloh, yang artinya cepat.

Pesaingnya, koran Radar Lampung adalah group dari Jawa Post. Koran yang berinduk di Surabaya, Jawa Timur ini pun juga termasuk terbesar karena mempunyai koran-koran di sejumlah daerah dengan menamakan pada awal koran itu ‘Radar’ dan diikuti nama daerah/kotanya. Sebagai contoh: Radar Malang, Radar Madiun, Radar Lampung, Radar Palembang, dan masih banyak lagi Radar-Radar lainnya.
***
Saya sebagai pemimpin redaksi di tempat saya belajar dan menghasilkan karya jurnalistik, kemudian mengutus Uchy untuk mengikuti pelatihan desain grafis yang eksklusif itu. Georgia Scott belum fasih berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, ia ditemani Eva Dayanti untuk menerjemahkan ketika menyampaikan materi kepada peserta yang kebanyakan bertugas sebagai desainer di masing-masing koran. Eva Danayanti adalah manager harian di Yayasan Pantau Jakarta, sebuah yayasan yang fokus membangun jurnalisme yang bermutu untuk Indonesia. Ia adalah senior saya ketika dulu pernah menjabat Pemimpin Usaha Teknokra pada 2004 lalu.

Hari pertama, Rabu (13/09) lalu, saya yang sebetulnya bukan peserta tetap, penasaran kemudian ikutserta dalam pelatihan desain grafis itu di kantor redaksi Lampung Post. Ketika itu ada sekitar belasan peserta yang mengikuti pelatihan di sana. Metode Georgia menyampaikan kepada peserta dengan berbahasa Inggris sepatah kalimat, lalu diterjemahkan Eva dengan bahasa Indonesia. Begitu seterusnya dari pagi hingga sore hari.

Pada hari berikutnya (Kamis, 14/09) sekaligus hari terakhir pelatihan untuk di kantor redaksi Lampung Post, saya dan Uchy sempat mendapat kesempatan saat istirahat, majalah terbitan terbaru kami dikoreksi oleh Georgia Scott. Dia bilang, hanya beberapa saja yang dia koreksi dan dianggapnya kurang baik dalam desain lay out-nya. Untuk itulah ia datang, bukan untuk memuji yang bagus-bagus. Saya sepakat dengannya. Beberapa kali saya mencoba berkomunikasi langsung dengannya dengan bahasa Inggris. Sedikit tergagap-gagap. Harap maklum, my English is rather bad. Tapi, saya senang bisa berjumpa dan berbincang dengannya tanpa harus meminta Eva untuk menerjemahkan ke bahasa Indonesia.

Sekitar sore pukul 15, pelatihan desain grafis itu telah usai. Di akhir acara itu, Georgia Scott memuji tampilan lay out koran Lampung Post. Tepat hari ini (Jumat, 15/09) saya membaca koran Lampung Post yang memuat berita pelatihan itu, lengkap ada foto Georgia Scott. Suatu kebanggaan bagi Lampung Post selama ini menampilkan wajah korannya telah cukup bagus. Padahal, pemimpin redaksinya, Ade Alawi kepada saya mengatakan, selama ini ia dan kru-kru redaksinya masih merasa kurang menarik terhadap tampilan lay out-nya. “Selama kita selalu masih merasa kurang puas, maka kita akan selalu membuat perubahan yang semakin baik,” kata saya mengomentari Ade Alawi.
***
Setelah selesai acara pelatihan itu, saya tidak tahu Ade Alawi mengajak Georgia Scott ditemani Eva Danayanti dan kami (saya, Gery, Aan, Uchy dan Wahyu) jalan-jalan dengan mobilnya ke sejumlah tempat menarik di kota Bandarlampung, seperti rumah-rumah adat kabupaten propinsi Lampung, di Way Halim. Sore menjelang matahari terbenam, kami menikmati makan malam di sebuah café. Di café itu bisa melihat pemandangan kota Bandarlampung hingga ke penjuru pantainya. Saya menyempatkan mengabadikan beberapa foto. Maklum, di café itu tempatnya termasuk tinggi. Kami mengobrol santai di sana hingga saya pun sangat menikmati makan malam dengan menu nasi dan capcay. Lezat sekali! Suatu saat nanti, saya ingin sekali ada moment jalan-jalan seperti ini. Tentu saja dengan gratis. Hehe…

Thursday, September 07, 2006

Goes to East Java-1

Saya buat tulisan perjalanan ini bersambung. Jadi, ikuti saja terus perkembangannya. Jangan terlewatkan! Yah, jadi seperti iklan saja. Hehe..

Jalan-jalan sungguh menyenangkan. Ingin tahu kenapa? Selain menemukan suasana baru dari rutinitas kita yang dilakukan tiap hari hampir sama, selain itu juga ternyata menyegarkan pikiran yang terkadang memberatkan. Maksudnya, misal saja seorang pelajar sekolah yang hampir setiap hari mulai dari senin sampai sabtu wajib belajar. Dari pagi hingga siang. Jika mengikuti kursus di luar, bisa tiba di rumah sore atau bahkan paling telat malam hari. Sungguh cukup melelahkan pikiran kita ketika masih sekolah dulu bukan? Untung saja masih ada hari minggu buat istirahat ya.

Traveling, istilah bekennya dari jalan-jalan, menjadi kesukaan buat saya sejak dulu. Entah kapan persisnya. Mungkin hobi saya sejak SD sering jalan-jalan naik sepeda BMX keliling komplek rumah dengan teman-teman. Ke mana pun saja asalkan jalan keluar dari rumah dengan jalan kaki sekali pun juga saya menyukainya. Nah, apalagi kalau dilakukan saat pagi udara masih sejuk dan matahari baru terbit. Tapi, sayangnya akhir-akhir ini saya malas kalau ingin jalan-jalan pagi. Udara dingin di luar saat musim kemarau yang kadang bercampur asap kabut, kurang baik buat olahraga.

***

Ongomong-ngomong soal jalan-jalan, baru saja saya dengan orangtua saya pulang dari perjalanan yang cukup jauh ke jawa timur. Dua minggu lamanya. Di sana, ada lima kota yang kami kunjungi, antara lain: Mojokerto (asal kelahiran ibu saya), Malang (ke rumah Pak Dhe saya), Surabaya (ke rumah Pak Lek saya), Gresik (asal kelahiran ayah saya) dan Jombang (ke rumah sepupu saya). Maksud awal tujuan ingin menghadiri resepsi nikah sepupu saya di Mojokerto. Tapi, karena banyak juga saudara di beberapa tempat, jadi menyempatkan mengunjungi mereka di satu per satu. Cukup banyak dan buat saya kelelahan dari satu tempat ke tempat yang dikunjungi itu. Tapi, buat saya pribadi biar pun lelah, yang terpenting adalah silahturahmi tetap berjalan. Katanya, bagi yang sering bersilahturahmi itu akan dipanjangkan usianya. Nah, makanya yang baru tahu, mulailah menyambung silahturahmi dengan keluarga atau saudara yang jarang kita kunjungi. Teman yang nun jauh di seberang pun juga bagus buat dikunjungi. Tentunya mereka pasti akan suka kan?

Mulai berangkat dari rumah (Palembang,red) hari Sabtu (26/8) lalu. Setelah salah subuh, kami bertiga, saya, ayah saya dan ibu saya sudah siap berangkat sekitar pukul 5.30 WIB. Sayangnya, kakak perempuan saya tidak bisa ikut. Katanya, masih ada kerjaan di kantornya yang tidak bisa ia tinggalkan. Tapi, saya tahu kakak saya ini ingin sekali ikut. Kami berangkat dengan mobil. Saya selalu menjadi driver setiap perjalanan menyeberang ke jawa. Meskipun hanya bertiga, melihat yang kami bawa di bagasi belakang mobil cukup banyak. Terutama ibu saya telah menyiapkan oleh-oleh kerupuk dan pempek untuk saudara di sana.

Alhamdulillah, sebelum berangkat, kata ayah saya, mobilnya sudah di-service. Jadi, sedikit mengurangi khawatir jika nanti terjadi seseuatu saat di jalan. Terutama soal ban yang masih cukup baik. Soalnya, jalanan terutama di jalan lintas sumatera (lintas timur, lintas tengah dan lintas barat, red) dari arah Sumatera Selatan menuju Lampung masih rusak parah. Perlu ekstra hati-hati di jalanan yang sering bertemu dengan lobang-lobang besar akibat sering dilalui truk-truk pengangkut melebihi muatan.

Thursday, August 24, 2006

Menuju Jawa Timur

Dear my Friends,

Beberapa hari ini saya tidak online. Maaf untuk menunda berkunjung ke blog teman-teman, karena insya Allah saya dan sekeluarga: ayah, ibu, dan mbak saya akan berangkat ke Jawa Timur, tepatnya ke kota Mojokerto hari Sabtu pagi nanti (26/08). Ada sepupu saya akan melaksanakan resepsi pernikahannya di sana. Rencanannya kami akan berangkat dengan mobil dari rumah di Palembang. Jadi, saya harus segera pulang dulu dari Lampung naik Kereta Api menuju Palembang untuk bersiap-siap dari sana.

Seperti biasanya setiap liburan ke Jawa, perjalanan nanti akan memakan waktu selama tiga hari dua malam. Cukup lama bukan? Selama perjalanan itu nanti akan saya buat catatan perjalanan. Menarik sekali melalui setiap daerah dan kota nantinya. Terutama mengabadikan foto, tentu saja harus ada. Jadi, rute perjalanan nanti kurang lebih seperti ini: mulai berangkat dari Palembang-Bandar Lampung-menyeberang dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan-tiba di Pelabuhan Merak, Banten-Jakarta-Cirebon-Jalur Pantura-Kota Semarang-Demak (sepanjang jalur pantura ini banyak kota kabupaten yang menarik dan indah)-Kota Surabaya-tiba di Mojokerto.

Soal berapa lama saya nanti berada di sana, saya belum tahu pasti. Biasanya dua minggu itu sudah cukup. Sering juga saat liburan, kita juga diajak jalan-jalan ke rumah pak dhe di Malang dan pak lek di Surabaya. Dua kota ini pasti di singgahi, sekaligus jalan-jalan ke sejumlah tempat menarik. Ah...saya sering lupa jalan-jalan di kota. Mungkin juga karena jumlah kendaraan semakin meningkat, jalan-jalan dibuat baru atau jalur-jalur banyak yang berubah.

Oke, jikalau ada perlu dengan saya langsung, seperti urusan pesan oleh-oleh, dibelikan cenderamata, makanan, atau yang lain-lainnya, tidak tersedia layanan itu. Hehehe...
Malah sekarang yang sedang saya nantikan adalah brownis kukus. Rasanya pengen cepat-cepat mencobanya nanti.

Sampai bertemu kembali...

Monday, August 21, 2006

Sajak Untuk Anakku

Setiap detik, menit, jam, dan hari demi hari, waktu yang terus berjalan itu tak pernah kita sadari. Ada yang mencoba memaknai hidup dengan bermacam-macam cara. Ada orang yang menyukai menulis, maka ia akan menuliskan kisahnya dalam sebuah buku diary tebal meskipun zaman telah semakin pesat melalui komputer untuk menulis, tapi tetap lebih menyukai menorehkan tulisan tangan ke dalam lembaran-lembaran diary. Atau dengan merenungkan ke alam pikiran dan mengarungi imajinasi yang bebas tanpa batas yang dituliskan dalam bentuk puisi-puisi yang terkumpul.

Saya yang termasuk tak mengerti tentang puisi dan dunianya, kemudian menjadi tertarik setelah mengikuti sebuah acara yang diadakan teman-teman UKM BS (Bidang Seni) yakni temu sastrawan di Gedung PKM Unila, Jumat malam (18/08) lalu. Yang membacakan sajak saat itu adalah Budi P Hatess, nama pena dari Budi Hutasuhut. Ia adalah wartawan Lampung Post, yang sehari-hari bekerja sebagai Redakstur opini di sana. Saya mengenalnya karena pernah mengirimkan opini untuk harian media group milik Surya Paloh ini.

Dari kumpulan sejumlah sajak yang ditulisnya dan dibagikan kepada para peserta malam itu, ada sebuah sajak yang membuat saya tertarik dan terharu ketika saya menyimak saat Bang Budi (panggilan akrab saya kepadanya, red) membacakan empat sajaknya.
Sajak di bawah ini yang buat saya tertarik:

Sajak untuk anakku

memandangimu saat tertidur
tak pernah aku sekhawatir ini dalam hidup

sungguh, usia anak-anak sudah kau lewatkan
betapa lekas waktu mematangkanmu menjadi dewasa
membuat aku dan ibumu begitu renta
dan usia perkawinan kami menjadi sangat sederhana

aku dan ibumu silih berganti mengawasi tidurmu
kulitmu putih, matamu jernih
dengan senyum seindah pagi, kami tahu kau bermimpi
segala yang menyegarkan mantul di wajahmu

tak pernah aku sekhawatir seperti saat ini
maka kuterjemahkan cintaku kepadamu
dengan lembut kutepuk nyamuk pada kulitmu
dengan hati-hati menyelimutimu

aku cinta padamu, nak, seperti juga cinta
pada ibumu



Sajak di atas kalau saya baca hampir setiap ada kesempatan, selalu teringat dengan ibu saya yang kini sedang ada di rumah, di Palembang. Jujur, saya terharu membacanya. Air mata ini hampir saja meneteskan ke baju, juga di hadapan monitor komputer ini. Saya sangat rindu dengan Ibu di rumah. Maafkan saya belum bisa pulang, Bu!

Friday, August 18, 2006

Juara Umum Semarak HUT Kemerdekaan RI ke-61


(Foto: Kru Teknokra berusaha menarik tambang sekuatnya sampai Rio terjatuh)
Lapangan rumput yang sedikit berdebu itu ramai orang. Siang itu, mereka akan mengikuti acara perlombaan untuk memeringati HUT Kemerdekaan RI ke-61. Baru kali ini Forum UKM menyelenggarakan acara bersama-sama. Intinya mereka membangun kebersamaan dan menumbuhkan kembali semangat nasionalisme.

Forum UKM adalah forum yang dibentuk bersama-sama antar aktivis UKM yang menghuni bersama di gedung PKM Unila. Mereka adalah UKM BS (Bidang Seni), Mapala, Menwa, KSR, Rakanila, Filateli, Kopma, Teknokra, dan Pramuka. Salah satu hal yang menjadi alasan berdirinya forum ini adalah kebersamaan di antara para aktivis UKM. Pagi, siang, sore, malam, mereka selalu ada. Mereka penghuni di gedung berlantai dua ini. Mereka bak panjaga malam sekretnya. Begadang malam kerap dilakoni mereka. Sungguh dunia yang berbeda dengan mahasiswa non-aktivis kebanyakan.

Siang sekitar jam 14, acara semarak kemerdekaan dimulai dengan makan krupuk. Saya dan Padli mewakili Teknokra. Krupuknya lumayan gede dan masing-masing digantung di atas seutas tali plastik. Ketika pluit ditiup tanda dimulai makan krupuk, semua melahap dengan segera. Saya dan Padli yang biasa makan 'rongot' tak mau kalah dengan para peserta lain. Ternyata, sampailah kita berdua masuk ke babak final. Tapi, saya kalah di babak ini. Tak berhasil menandingi cepatnya Padli makan krupuk. "Kriuk...kriuk..."
Menjelang detik-detik penghabisan, Padli berhasil melahap semua krupuknya dan menyabet juara I Lomba Makan Krupuk.

Giliran berikutnya, tarik tambang yang tak kalah serunya. Tapi, sayangnya tim kita kalah dengan urusan tarik menarik ini. Tapi, kita berhasil juara futsal mengalahkan BEM Unila di babak final melalui adu finalti, sekaligus mengumpulkan medali paling banyak. Yes. We are The Champion. Kita berhasil kawan!!

Wednesday, August 16, 2006

Ikut Meriahkan HUT RI ke-61

Selasa kemarin (15/08) sejak siang, teman-teman aktivis UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) sudah mulai mengikuti bermacam-macam perlombaan dalam rangka memeriahkan HUT Republik Indonesia ke-61. Mereka adalah teman-teman dari UKM Menwa (Resimen Mahasiswa), UKM BS (Bidang Seni), UKM KSR (Korps Sukarela), UKM Pramuka, UKM Filateli, UKM Mapala, UKPM Teknokra, UKM Rakanila (Radio Kampus Unila), UKM Kopma (Koperasi Mahasiswa), dan BEM Unila.

Perlombaan yang kita selenggarakan bersama itu antara lain: Lomba Catur, Futsal, Tarik Tambang, Makan Krupuk, Karaoke, Masukin Paku dalam Botol, dan Balap Karung. Tampak pada foto di atas sedang serius pertandingan catur di depan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila. Sssttt....ngga boleh diganggu!!

Sore sekitar jam 16, pertandingan futsal dimulai. Beberapa kru dari masing-masing UKM berkumpul. Sarung-sarung juga telah disiapkan dan dipakai untuk bertanding. Terbayang lucu saat mereka nanti bertanding. Itu hari pertama pertandingan. Tim kita (UKPM Teknokra,red) bertanding melawan Tim UKM KSR Unila. Mereka cukup tangguh dan lincah dalam bermain di lapangan hijau di Belakang Gedung Rektorat Unila. Tapi, alhamdulillah tim kita lebih unggul 1-0 melawan mereka.

Tak kalah seru dan menjadi hambatan membagi lapangan menjadi dua untuk latihan teman-teman UKM Taekwondo dan teman-teman yang sedang bertanding futsal sore itu. Tak jarang teriak suporter pendukung masing-masing tim menggema di lapangan hijau sedikit kering itu. Tertawa pun tak luput dan berhenti saat melihat pemain sedang mengejar bola namun sayangnya, sarung yang dipakainya sobek. Ha..ha..Seru sekali pertandingan futsal sore itu.

(Ok, Segitu dulu. kita bersiap-siap melanjutkan pertandingan sore ini. ditunggu aja posting berikutnya..)

Tuesday, August 15, 2006

FlexiCombo Melanggar Aturan


Apakah Handphone Anda termasuk CDMA dan menggunakan Telkom Flexi? Oh ya, sebelumnya tulisan ini bukan bermaksud mempromosikan produk milik salah satu BUMN berlaba tinggi ini. Tujuan saya hanya ingin memberikan tanggapan perkembangan terbaru teknologi komunikasi mobile pada HP flexi.

Kembali ke topik awal. Sebagian orang tentunya sudah mengetahui, salah satu penyedia jasa layanan mobile CDMA terbesar di Indonesia adalah Telkom yang menjangkau hampir seluruh daerah dibandingkan dengan yang lainnya, macam Bakrie dengan Esia-nya dan fren. Ok, memang dari sisi harga biaya percakapan memang murah. Malah sekarang Telkom mengenalkan keunggulan yang lebih hebat dalam mobile-nya, yakni bisa digunakan di luar daerah asalnya. Namanya Flexicombo.

Flexicombo ini termasuk baru dikenalkan di Indonesia. Saat pertama kali saya mengetahuinya dari iklan di televisi, saya begitu terperanga melihat teknologi ini. Raksasa telekomunikasi Indonesia ternyata punya strategi pasar yang bagus buat sekarang dan mungkin hingga akan datang dalam waktu panjang. Telepon flexi yang telah menjadi pesaing dengan telepon selular memang selain murah biaya percakapannya dibandingkan dengan tipe telepon selular. Namun, flexi punya kelemahan dalam hal jangkauan, yakni hanya bisa dilakukan di lokal daerah saja. Sebaliknya, jenis selular bisa digunakan di mana saja namun biaya percakapannya terbilang tinggi.

Setelah saya baca Harian Kompas edisi Senin (14/08) kemarin tentang fixed wireless yang digunakan dalam FlexiCombo, ternyata mengandung permasalahan dalam regulasi. Terlihat tidak menyalahi PP No 50 Tahun 2000. Tapi, secara berhasil disembunyikan dalam rumusan jaringan tetap lokal dengan mobilitas terbatas. Nah, justru dengan kehadiran FlexiCombo ini menjadi tanda tanya, bagaimana bisa fixed wireless bisa menjadi sama dengan layanan dengan seluler, sementara Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi di antara keduanya berbeda jauh. Tidak adil bukan?

Telkom terkesan 'banci' dalam teknologi CDMA yang dimilikinya sekarang. Sungguh pandai sekali BUMN telekomunikasi ini bermain dalam kemonopoliannnya demi mengejar keuntungan. Tidak ada yang salah memang setiap perusahaan termasuk Telkom, mempunyai motivasi meraih untung dalam bisnisnya. Tapi, tentunya ada aturan-aturan main yang harus disepakati bersama agar semua perusahaan saling berkompetisi dan bersaing sehat di sana.

Sunday, August 13, 2006

Tayangan Wajah Koruptor Bisa Memberi Efek Jerakah?

Judul di atas adalah sebuah tanda tanya saya ketika membaca tajuk rencana Harian Suara Pembaharuan tentang cara pemberantasan korupsi ala Kejaksaan Agung. Berbagai cara yang dilakukan kejaksaan untuk menjebloskan para koruptor ke penjara patut diacungi jempol. Bukan lagi semata-mata pandang buluh terhadap menyusutan kasus per kasus korupsi yang kerap masih sulit diberantas.

Baru-baru ini, Kejaksaan Agung merencanakan akan menayangkan wajah para koruptor di televisi. Sebuah cara untuk memberikan efek jera bagi koruptor? Dengan menayangkan foto-foto para koruptor itu tentu saja tujuannya untuk membuat malu mereka di hadapan publik. Bahkan, rencananya juga tidak hanya sekedar menayangkan foto dan biodata para koruptor, Kejaksaan Agung dan pengelola televisi akan membuat semacam tayangan perjalanan lengkap para koruptor. Lengkap dari mulai kehidupan sehari-harinya sampai kejahatan korupsi yang telah dilakukan para koruptor itu. Mirip acara infotainment yang berisi para selebritis. Bedanya, acara ini malah diisi para koruptor dengan tajuk koruptainment. Menarik bukan?

Tapi, upaya tersebut seperti semacam gertakan kepada para koruptor. Praktek korupsi bukan lagi hal yang tertutup dan dilakukan sembunyi-sembunyi. Di layar kaca hampir pernah kila lihat sejumlah koruptor yang diduga korupsi pun hampir sebagian terekspos. Tapi, tujuan semula yakni untuk memberikan efek jera tidak tercapai. Toh, tetap saja praktek korupsi dilakukan para pejabat yang mempunyai kedudukan 'basah' dan anggota dewan yang mempunyai kewenangan dan kekuasaannya, juga masih banyak lagi lainnya peluang-peluang korupsi yang menjangkiti di sejumlah tempat.

Seharusnya yang lebih ditekankan pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung adalah komitmen dari semua aparat penegak hukum untuk menindak para koruptor. Jangan kemudian dilepas karena diimingi dengan tembusan uang misalnya, lalu tidak jadi diproses hukum. Akibatnya, tetap saja negeri ini korupsi tidak akan pernah berkurang karena para penegak hukumnya tidak tegas. Belum lagi perangkat hukum yang masih lemah membuat jera para koruptor.

Negeri ini telah mengimpikan bebas korupsi sejak hampir enam sewindu pasca reformasi dan kejatuhan Orde Baru Soeharto. Namun, dari waktu yang cukup lama hingga kini belum bisa menunjukkan prestasi penurunan korupsi. Justru praktek korupsi adalah perilaku yang menjadi hal biasa di negeri ini. Kapan kita akan bebas dari praktek korupsi?

Wednesday, August 09, 2006

Nidji Konser di Unila

Aksi Giring (vocal) memukau di hadapan ribuan penonton yang didominasi para remaja Bandarlampung, Selasa sore kemarin (8/8) di lapangan parkir GSG Unila. Nidji konser amal keliling kota untuk membantu para korban bencana gempa bumi di Jogjakarta dan Pangandaran. Saya menyaksikan Nidji dari sebelah kiri panggung bersama teman-teman. Sayangnya, Saya tidak tampak di foto itu. Cukup menikmati dari samping panggung dengan mendengar dentuman enam tembang lagunya yang keren. Reza berhasil membidik foto-foto yang bagus ketika di atas panggung. Foto di atas inilah yang sangat bagus menurut saya. (Foto: M.Reza, Redaktur Foto Teknokra).



Giring tak mau kalah dengan para penonton turut menikmati lantunan musik sambil berjingkrak di atas panggung. Andro (berkaos hitam dan berkacamata) tampak serius memainkan bass-nya. (Foto: M.Reza)





Para penonton sangat mengelu-elukan Giring ingin bersalaman dengannya. Minimal bisa pegang tangannya lumayan kali ya (He-he-he). (Foto: M.Reza)

Sunday, August 06, 2006

Jauhkan Narkoba!


Apa yang terbayangkan oleh Anda ketika bertemu dan berbincang dengan orang penting macam pejabat misalnya? Ngga percaya? Grogi? Ah..biasa saja? Atau senangnya bukan main kayak ketemu artis idola sepanjang zaman?

Akhir bulan lalu, tepatnya hari Jumat siang (28/7) lalu, Saya ditemani Padli, wawancara dengan Kapolda Lampung, Brigjen Pol Drs Suharijono Kamino MBA, di ruang kerjanya. Awalnya, saya berangkat sendiri untuk mewawancarai Kapolda. Saya dijanjikan bisa bertemu pada jam 10 pagi oleh sekretaris pribadinya via telepon. Ketika bertemu dengan sekretaris pribadinya, ia menyarankan kepada saya agar mengajak teman saya. "Pokoknya lebih dari satu baru boleh ketemu dengan Bapak (Kapolda,red)," ujarnya kepada saya. Akhirnya, saya segera sms teman saya yang sedang di redaksi untuk secepatnya ke kantor Polda Lampung, menemani saya wawancara dengan Kapolda.
***
Jabatan Kapolda bagi saya adalah setara dengan para pejabat-pejabat daerah. Ya, termasuk Kapolda Lampung ini. Ia termasuk agak sulit ditemui langsung jika ada di kantor, karena para sekretaris pribadinya tidak memperkenankan langsung bisa bertemu dan wawancara. Mereka bilang kepada saya jika ingin bertemu dan audiensi dengan Kapolda harus melayangkan surat permohonan terlebih dahulu. "Alaaahhh....lagi-lagi birokrasi. Susah banget sih ketemu pejabat," pikir saya satu minggu sebelum bertemu dengan Kapolda.

Satu minggu sebelum bertemu dan wawancara ketika itu, saya langsung pulang ke redaksi dan membuat surat permohonan audiensi/wawancara dengan Kapolda. Isi surat itu kurang lebih begini, "Saya bermaksud mewawancarai Bapak Kapolda Lampung tentang penyalahgunaan narkoba di Lampung."

Saya harus bolak-balik ke kantor Polda Lampung untuk memastikan jadwal bisa bertemu dan wawancara dengan Kapolda. Kantor Polda Lampung yang jaraknya sekitar 15 km lebih itu, harus saya tempuh dari kampus saya dengan mengendarai sepeda motor. Lumayan capek juga bolak-balik ke sana.

Setelah salat Jumat ketika itu, saya dan Padli bergegas menuju ruang kerja Kapolda. Di sana, saya bertemu lagi dengan sekretaris pribadinya. Tertera nama Zulfikar pada seragamnya. Wajahnya putih dan terlihat masih muda. Ia punya pangkat bergaris tiga berwarna kuning. Saya tidak paham dengan tingkat kepangkatan di kepolisian. Mungkin kalau di militer (TNI AD,red) tanda pangkat itu 'kapten.'

Ketika dipersilahkan masuk oleh Zufikar ke ruang kerja Kapolda, Saya melihatnya masih duduk di dekat meja kerjanya. Tampaknya ia sibuk. Ruang kerjanya cukup luas dan sejuk sekali karena AC, meskipun di luar Saya terasa agak panas.
"Saya Eriek,Pak," saya memperkanalkan diri sambil bersalaman kepadanya. Kami dipersilahkan duduk di sofa yang tidak jauh dari meja kerjanya.

Sepintas saya perhatikan Pak Suharijono mirip dengan ayah saya yang tinggal di Palembang. "Wah mirip dengan bapak di rumah,"gumam saya. Tapi, tidak kemudian saya cerita bahwa ia mirip dengan ayah Saya. Mungkin tidak terlalu penting. Nanti saja saya akan cerita kepada ayah saya saat pulang ke Palembang.

Pak Suharijono Kamino lahir di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 56 tahun lalu. Dibandingkan dengan ayah saya, ia lebih muda 10 tahun dari ayah saya. Lagi-lagi saya terpikirkan seperti betemu dengan ayah saya dan berbincang dengannya. Dari namanya sudah pasti ia adalah asli keturunan jawa. Logat jawanya tidak hilang meskipun Ia kelahiran Mataram.

Dalam wawancara saya dengan Pak Suharijono, ia ditemani dengan Kepala Satuan Narkotika dan Psikotropika Direktorat Polda Lampung AKBP Anwar Efendi. Tapi, sejak awal wawancara hingga selesai hampir setengah jam itu, lebih banyak dijawab ia sendiri. Saya kurang mendapat kesan yang mendalam bertemu dan wawancara dengannya ketika itu. Dari pertanyaan saya, sering kali saya nilai kurang berbobot. Maksudnya, kurang dalam data yang bener-benar saya butuhkan. Misalnya saja soal rata-rata peningkatan pengguna narkoba. Pak Suharijono termasuk baru sembilan bulan menjabat di Kapolda Lampung. Katanya kepada saya, keberhasilan yang membanggakan selama ini adalah penangkapan penyeludup ganja dari Aceh melalui pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan. Jumlahnya hampir satu ton. Wuih, cukup banyak dan bisa mematikan berapa jiwa manusia itu. Sebelum menutup wawancara saya dengannya, ia mengatakan, "Jangan dekati narkoba! Saatnya semua masyarakat harus menyatakan perang dengan narkoba." Begitu pesannya.

Thursday, August 03, 2006

Seminar Wida Tentang Blog

Sekitar satu minggu lalu, seorang teman di jurusan, dan juga sekaligus adik tingkat, meminta kepada saya menjadi pembahas seminar untuk proposal skripsinya. Saya yang sama sekali belum pernah menjadi pembahas seminar, apalagi mengajukan usulan dan menjadi penyaji dalam proposal skripsi pun belum pernah sama sekali. Awalnya saya kaget kok tiba-tiba saya ditunjuknya untuk membahas proposal penelitiannya. “Kak Erie jadi pembahas saya yah,” bujuknya kepada saya ketika bertemu di BBS UnilaNet.

Ternyata penelitian yang dilakukan teman saya ini mengangkat tentang aktivitas para blogger di dunia internet. Melalui judul yang telah ia buat, yaitu: ”Weblog sebagai Media Aktualisasi Diri Para Blogger (Studi Kasus pada Komunitas Blog Family di Bandarlampung).” Judulnya menarik buat saya. Mungkin karena saya paham dengan dunia weblog dan juga aktif mengisi blog, jadi ia memilih saya. Kemudian, saya langsung terima tawaran Wida, teman saya yang ngebet meminta saya menjadi pembahas mahasiswa untuk proposal penelitian di seminarnya, Senin (1/8) kemarin. Selain saya sebagai pembahas mahasiswa, ada juga Jana ditunjuk sebagai pembahas kedua. Ia juga paham tentang blog, karena pengisi blog juga.

***

Pagi yang cerah sekitar jam 10 kurang, saya sudah tiba di parkiran motor tepat di depan gedung B FISIP Unila. Dari kejauhan, saya melihat Wida masuk ke gedung D yang bersebelahan dengan gedung B tempat saya parkirkan motor itu dengan jalan agak terburu-buru. Di gedung D lantai dua direncanakan seminarnya. Tapi, dari kejauhan di depan gedung itu tampak lengang. Sepi.

Saat saya menuju lantai dua, saya melihat hanya ada beberapa mahasiswa saja di sana, di luar ruang seminar. Saya hanya menduga, mereka akan mengikuti seminar Wida sebentar lagi. Tapi, saya melihat Wida agak kebingungan. Ia belum menyiapkan laptop untuk seminarnya. Di ruang seminar hanya ada seperangkat LCD projector menyorot ke dinding papan tulis. Sepertinya, Wida belum menyiapkan laptop yang dipinjam dari jurusan. Tapi, jam sudah lewat dari pukul 10. Dosen pembimbing dan pembahas belum juga muncul. Saya lagi-lagi mengumpat dalam hati, yah beginilah Indonesia. Jam karet. Selalu ngaret. Tidak pernah tepat waktu. Dosennya telat, tentu saja mahasiswa mengikuti dosennya ikutan telat.

Sekitar pukul 10.30, seminar baru dimulai. Semua dosen datang. Para peserta seminar yang kebanyakan teman-teman seangkatan Wida hadir di seminar. Untung saja semua kebutuhan Wida telah disiapkan sempurna sebelum dimulai. Tapi, ia masih terlihat panik karena sejumlah contoh weblog yang akan ditunjukkan di seminarnya, tidak bisa dimunculkan dengan sempurna. Beberapa foto dan gambar yang ditampilkan di pojector tidak ada. ”Mungkin waktu save dari internet, semua gambar dan foto di dalam folder tidak ikut ter-save,”kata saya mengomentari.

Tapi, meskipun rencana semula tidak sepenuhnya sempurna, tapi saya bisa menilai Wida telah berusaha dengan semampunya. Seminar pun berjalan dengan lancar dan ia menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari saya, Jana, dan para dosen pembimbing, serta pembahas. Tak luput pula ada beberapa kesalahan yang ditulis dalam proposal skripsinya yang segera harus diperbaiki. Namun, seminar selama kurang dari dua jam itu berhasil ia lalui dengan baik. Selamat yah Wid.

Saturday, July 29, 2006

Kita Seperti di Dalam Lingkaran Setan

Musholah Fakultas Hukum Unila dekat dengan gedung C FISIP Unila. Jaraknya kurang dari 50 meter. Ketika waktu Dzuhur tiba sekitar pukul 12 siang, Selasa lalu (25/7), saya ingin salat di mushola anak-anak FH yang dindingnya tampak berwarna hijau dan masih terlihat baru itu. Tapi, agak telat saat saya tiba di sana. Tidak apalah, masih ada beberapa mahasiswa terlihat baru mulai salat, gumam saya.

Saya perhatikan dari samping kiri pintu musholah, beberapa mahasiswa duduk bersila. Ada yang membentuk kelompok. Mereka asik ngobrol. Sebagian lainnya lebih memilih sendiri untuk tilawah Al Quran. Suasana seperti ini pasti tidak asing lagi ketika semua para mahasiswa selesai salat berjamaah di mushola atau masjid kampus.

Ketika saya telah selesai salat, seseorang medekati saya. Wajahnya tak asing bagi saya. Ia mengarahkan tangan kanannya kepada saya, tanda ingin bersalaman. "Apa kabarnya lo?"tanya dia. "Baek," jawab saya singkat. Ia ingat dengan saya, tapi saya benar-benar lupa namanya. Cukup lama kami berdua tidak pernah jumpa. Ia seangkatan dengan saya. Bedanya, teman saya yang kebetulan sama-sama berasal dari Palembang ini kuliah di FH. Meskipun kita berdua sama-sama mengerti bahasa Palembang, tapi lebih asik ngobrol dengan bahasa Indonesia. Kesannya nanti kalau menggunakan bahasa Palembang, terdengar orang lain jadi terlihat aneh. "Rooming dong kalo ngobrol," kata teman saya suatu hari di Teknokra. Maksudnya, menyesuaikan dengan tempat ketika ngobrol dengan teman.

Kemudian, kita ngobrol banyak tentang masalah hukum, karena saya juga tertarik dengan soal hukum. Mulai dari lembaga bantuan hukum sampai teman saya ini cerita ingin sekali bisa diterima kerja di Lampung. Itu pun katanya jika bernasib baik. "Kayaknya, gw pilih kerja di Lampung dulu deh,"katanya kepada saya. Seketika, kita ngobrol santai hingga saya hampir lupa dengan agenda berikutnya di tempat lain. Ada seminar tentang pendidikan di Graha Gading, Teluk Betung.

Sambil membenarkan sepatu saya di luar mushola, kami masih saja asik ngobrol. Terkadang, saya lebih banyak bercerita. Mulai dari persoalan mengapa ketika kita masih mahasiswa bisa idealis, namun saat menjabat di pemerintahan atau punya jabatan, tidak lagi idealis. Bahkan, berbalik 180 derajat. Praktik KKN masih saja bertebaran. Belum lagi lingkungan peradilan pun juga tidak luput dari praktik KKN. "Kita ini seolah-olah sudah berada di dalam lingkaran setan,"kata saya berargumen. Saya berani bicara demikian, karena memang pada kenyataannya begitu kondisi negara Indonesia sekarang. Juga sejak zaman Orde Baru.
***

Tiba-tiba, ada guncangan. gempa bumi. Cukup kencang, tapi tidak lama. Beberapa ikhwan (sebutan akrab buat mahasiswa muslim,red) di mushola langsung berlari keluar. Saya dan teman saya masih duduk di serambi dekat pintu keluar mushola. Saya hanya nyengir lihat mereka yang lari terburu-buru keluar. Ini gempa cukup kuat yang hampir sama ketika terjadi pada malam dini hari, pikir saya. Tapi, kenapa selalu saja terlihat panik saat terjadi gempa. Padahal tidak lama terjadinya. Tidak mungkin seketika dalam waktu singkat, bangunan akan langsung roboh. Saya kira mereka belum sadar benar dengan gempa yang singkat, tidak akan sampai membuat bangunan retak dan roboh seketika. Sepertinya, gempa akhir-akhir ini yang terjadi harus buat saya terbiasa. Intinya jangan panik. Itu saja.

Setelah gempa singkat itu, saya cerita kepada teman saya ini. Di koran diceritakan tentang gempa yang terjadi di Jakarta. Seorang warga Jepang yang kebetulan tinggal di Indonesia terlihat heran melihat perilaku orang Jakarta ketika mereka berada di dalam kantor bergedung tinggi. Semua orang panik dan mereka berlari menuju tangga. Padahal, itu bukan tindakan penyelamatan yang tepat. Justru, hal tersebut lebih berbahaya saat berombongan keluar akan berpotensi terjepit atau terinjak-injak. Saya kira semua orang sekarang mulai merasakan kekhawatiran cukup tinggi dengan adanya gempa yang berturut-turut hampir terjadi di Indonesia dari barat ke timur. Mudah-mudahan kita selalu diberi perlindungan dan keselamatan dari Sang Pencipta. Wallahu 'Alam.

Tuesday, July 25, 2006

Bersyukurlah Masih Sehat

Anugerah yang paling patut kita syukuri sekarang ini adalah masih diberi kesehatan dan usia panjang. Saya kira inilah yang sering kita lupakan. Manusia kadang lupa dan jarang sekali mensyukuri nikmat yang ada sekarang. Bukan maksud menggurui, tapi saya merasakan dan seolah teringat tiba-tiba ketika misalnya menjenguk teman atau keluarga kita yang terbaring sakit di ruang perawatan rumah sakit.

Teman saya, Dede (foto:memegang helm), kemarin, Selasa siang (24/7), harus masuk rumah sakit. Ia sakit tipes. Ketika saya ditemani bersama Doni, Uchy dan Qq menjenguknya sekitar jam 7 malam, mukanya pucat sekali. Saya kasihan melihatnya terbaring lemah. Ketika bersalaman dengan saya, ia menggenggam kuat. Tapi, saya tahu ia mencoba menahan sakitnya. Sambil memegang perutnya, ia sering mengeluh terasa sakit. "Mual rasanya,"katanya kepada saya. Makan atau minum tidak bisa, kecuali saat minum obat harus dipenuhinya. Hanya infus saja yang mengalir sebagai pengganti makanannya.

Dede punya nama lengkap Dede Sopyandi. Ia asli kelahiran Rangkasbitung, Banten. Dede cakap bahasa Sunda. Saya pernah main ke rumahnya bersama teman-teman lainnya awal Januari 2005 lalu. Itu pertama kali buat saya dan mungkin beberapa teman-teman lainnya. Ia sering dipanggil 'bastut' oleh teman-temannya. Entah apa artinya. Saya pun tak mengerti. Tapi, ia dan teman-temannya tak pusing panggilannya berubah menjadi Dede 'Bastut.' Ia pernah aktif di Teknokra selama sekitar empat tahun. Periode tahun 2005 kemarin, ia sempat menjabat sebagai Pemimpin Usaha di Teknokra. Ketika itu, saya sebagai Koordinator Pemasaran. Sering kali kami berdua menangani masalah di bidang usaha. Ia termasuk orang yang aktif dan cekatan. Sekarang, ia sebagai staf ahli di Teknokra. Macam penasehat buat kami yang masih aktif menggerakkan roda organisasi ini.

Saya pikir, Dede memang beruntung sekali sekarang. Saat terbaring lemah di ranjang, ia dirawat Mada (foto:jilbab putih), temannya. Lebih tepatnya sang pacar. Selama Dede tidak bisa mengurus sendiri, dari mulai disuap makan bubur oleh Mada, sampe dibantu urusan perawatan di rumah sakit. Saya pun sempat menginap dan menemani Dede di ruang perawatannya. Untuk berjaga-jaga, siapa tahu ia butuh sesuatu.

Mada cerita kepada saya, hampir setiap tahunnya, pasti ada di antara kru Teknokra yang masuk rumah sakit. Entah itu karena terlalu lelah sering begadang, atau pernah kecelakaan di jalan. Saya merenungi dan mencoba mengingat-ingat kembali, memang tahun demi tahun pasti ada yang mengalami hal itu, masuk rumah sakit. Seperti siklus yang terus berajalan dan tak pernah berhenti, pikir saya. Tapi, saya berdo'a mudah-mudahan kru-kru kita selalu senantiasa dalam keadaan sehat selalu. Kata orang, entah siapa asal mulanya, sakit itu sebagian menggantikan untuk membersihkan dosa-dosanya. Ehm, apa benar itu? Wallahu 'Alam. Cepatlah sembuh my fren!!

Saturday, July 22, 2006

Aksi di Pantai Mutun


Heny "Q-Noyz", berjilbab putih, sedang menunjuk ke arah kamera dan terlihat tertawa lepas. Sedangkan, Mayna, paling depan, hanya tersenyum kecut. Saya dan Rieke, di atas batu, melihat mereka berdua bergaya bak fotogenic (pantai Mutun, 5 Juli 2006)



Kita foto bersama deh sebelum matahari terbenam. Ah,..Yudi tidak ikut diabadikan dalam foto bersama. (pantai Mutun, 5 Juli 2006)





Ciiiaaattt...!!! Tahaaaann!!! Hitungan mundur 10 detik hampir tiba. Tiba-tiba, klik!! Akhirnya terfoto juga kita, meskipun sedikit berantakan. (pantai Mutun, 5 Juli 2006)

Tugu Patung Saibatin


Sebuah Tugu patung adat Pengantin Saibatin di persimpangan jalan Kartini. Bandarlampung. pekan lalu, Sabtu (15/7). baru diresmikan Walikota Bandarlampung Eddy Sutrisno. Saya memfoto tugu itu ketika pulang dari arah Teluk Betung dan akan kembali ke kampus Unila.

Karya Foto Ikeda

Pameran "Dialogue With Nature", Ikeda menuliskan keterangan buat foto di atas: Dari hampir semua foto yang dipamerkan, foto ini yang buat saya kagum. Tertulis dari keterangannya yakni: "Saya ingin tahu siapa yang membuat Kuda Putih berbaring di pasir pantai? (Hawai, USA, Juli 1985)"





Pak Peter Nurhan, Ketua Soka Gakkai Indonesia, yang membantu mensukseskan pameran foto keliling kota-kota di Indonesia, menyempatkan datang ke sekretariatan Teknokra Unila setelah acara pembukaan Pameran Foto "Dialague With Nature" di GSG Unila. (Kiri ke kanan): Pak Peter, Diova (kepala kesekretariat Teknokra), saya dan Mayna (mencoba keberuntungan rasanya menjadi MC acara pembukaan).

Thursday, July 20, 2006

Pulang Kampung Kena Gempa


Pagi tadi, sekitar jam delapan, Rieke (foto: berjilbab hitam) menelpon saya. Ia tanya tentang kabar di sini, dan tentu saja perkembangan majalah yang masih sedang proses lay out di komputer redaksi. Sudah hampir dua minggu dia ada di Serang. Katanya, ia sedang rehat. Saya memakluminya. Mungkin cewek yang punya nama lengkap Rieke Pernama Sari ini, sangat kangen dengan keluarganya di sana.

Rieke cerita kepada saya, kejadian gempa yang getarannya sampai ke tempatnya, Serang Banten. Katanya, getaran gempa cukup kuat dan membuatnya panik. Saya mendengar ceritanya dari seberang telepon dan mencoba membayanginya dengan kepanikan warga di tayangan televisi. “Getarannya tuh katanya sekitar 6 skala Richter. Pokoknya lebih lama dari yang di Lampung. Di Lampung kena gempa, eh gw pulang kampung sama juga,”kata Rieke.

Setelah gempa disusul dengan Tsunami yang terjadi di selatan Jawa ketika hari senin kemarin, rabu kemarin (19/7), gempa dengan kekuatan 6,2 skala Richter terjadi lagi sekitar Pukul 17.57 dan bergetar selama 30 detik. Ini lebih lama dari yang sering saya alami di sini, Bandarlampung. Lokasi pusat gempa berada di Selat Sunda dan sempat menggetarkan kota Jakarta. Di Bandarlampung, saya baca di koran hari ini, warga di Teluk Betung panik. Daerah Teluk Betung memang terletak di daerah paling dekat dengan pantai. Wajar saja warga sangat panik melihat sebelumnya tsunami di selatan Jawa.

Saya punya kekhawatiran, pusat gempa mungkin akan terus mengarah ke Sumatera hingga Aceh. Itu hanya dugaan saya saja, karena melihat gejala akhir-akhir ini terjadi di selatan Jawa dan sampai ke Selat Sunda. Terdekat mungkin pesisir Lampung Barat. Karena tahun 1994, di daerah itu pernah terkena gempa sampai 6,5 skala Richter. Wajar saja warga sangat khawatir dan panik. Mudah-mudahan keadaan ini segera pulih.

Mengagumi Foto Deisaku Ikeda

Sebuah gedung persis di depan Perpustakaan Unila itu tampak megah. Kalau mahasiswa di sana menyebutnya dengan singkat dan hanya tiga huruf saja, GSG. Kepanjangan dari Gedung Serba Guna. Seperti kebanyakan gedung-gedung resmi milik universitas di seluruh Indonesia, biasanya digunakan hajatan wisuda, upacara penerimaan mahasiswa baru, dan dies natalis.

Pagi itu, ada acara besar di GSG. Saya sengaja tidak hadir pada saat itu. Kebetulan sekitar jam 9-an sedang ada perlu di fakultas. Urusan akademik yang baru saya sadari dan sedikit kesal dengan pegawainya karena saya terlambat menyerahkan berkas akademik. Syukurnya, itu tak jadi soal dan ia pun memakluminya. Tapi, saya pulang masih sedikit kesal. Sesekali saya berpikir, birokrasi ‘non sense.’

Acara di GSG itu adalah Pembukaan Pameran Fotografi Keindahan Alam, Karya Presiden Soka Gakkai Internasional, Daisu Ikeda (Dialague With Nature). Ada sekitar 66 karya foto koleksinya dipamerkan sejak 19-24 Juli 2006. Selain itu, dipamerkan pula 30 karya fotografer yang tergabung dalam Indonesian Photographer Organization (IPO), dan 20-an foto dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Saya benar-benar kagum melihat karya foto-foto yang dipamerkan pada hari pertama. Hampir sebagian foto yang dipamerkan itu, saya abadikan ke dalam foto juga. Bahkan, saya tidak sungkan meminta teman saya, Doni dan Mayna, untuk memfoto saya dengan latar belakang foto-foto yang dipamerkan itu.

Doni dan Mayna memang ditugaskan sekretaris Pembantu Rektor IV Unila, untuk membantu acara pameran tersebut. Tidak hanya mereka berdua, ada UKM Bidang Seni dan UKM Fotografi ‘Zoom.’ Cukup banyak dibantu tenaga anak-anak mahasiswa yang punya stamina mantap untuk memperlancar acara pameran itu. Mayna ditunjuk sebagai master of ceremony (MC) pada saat pembukaannya. Ia berduet Desi, kru UKM Bidang Seni, menyambut para tamu pada hari pembukaan. Sayangnya lagi, saya tidak sempat melihat mereka berdua di atas panggung GSG.

Perlu diketahui, bahwa Dr Deisaku Ikeda, Presiden Soka Gakkai Internasional itu seorang fotografer amatir. Diceritakan, ia tidak pernah bertemu dengan kamera sampai ketika ia berusia 43 tahun. Lalu, sebuah kamera Nikkon dihadiahkan kepadanya dari temannya. Sejak itu, ketika ia sedang perjalanan menuju kota Hokkaido dengan mobil, Ikeda merasa sangat terpana dengan bayangan bilan yang terpantul di sebuah kolam sampai akhirnya ia menghentikan mobilnya, lalu mengambil 100 foto pantulan bulan itu. Sejak itulah, Ikeda selama dua tahun berikutnya Ikeda terus menerus mencari dan mengabadikan bulan, matahari terbenam, sampai keseluruhan alam menjadi objek kameranya.

Daisu Ikeda memiliki keunikan dalam mengabadikan setiap gambar. Ia tidak membidik foto dari lubang kamera, tapi memegang kameranya dan diletakkan di depan dada, kemudian mengambil foto menurutnya dengan hatinya. Dengan cara seperti itu, seolah ia yakin dilakukan dari hatinya. Hasil foto-fotonya yang merupakan rangkuman keindahan alam yang dilihatnya dalam perjalanan lebih dari 50 negara. Ikeda pun mempromosikan nilai-nilai pendidikan, perdamaian dan kebudayaan.

Saat Bandarlampung ditunjuk menjadi kota ke-9 dalam perjalanan pameran foto Dialague With Nature ini, Deisu Ikeda tidak bisa hadir. Saya tidak tahu pasti kenapa ia tidak bisa hadir. Perjalanan dimulai dari kota Semarang-Yogyakarta-Surabaya-Bandung-Jakarta-Bogor-
Tangerang-Bekasi-Bandarlampung-
Palembang-Pangkal Pinang-Jambi-Pekan Baru-Pematang Siantar-Medan dan Banda Aceh.
***
Sejak SMP, saya sangat tertarik dan menyukai dunia fotografi. Berbekal kamera SLR tahun 1970-an yang telah usang, tidak buat saya minder belajar banyak dari ayah saya. Sebuah kamera SLR merk Canon FTB dengan lensa standar 50 mm, saya pakai sebagai eksperimen foto. Kamera itu berat. Terkadang buat saya pegal untuk memegang erat-erat. Ternyata awal belajar menggunakan kamera seperti itu tidak gampang. Ada banyak pengaturannya, mulai dari diafragma, kecepatan/speed, sampai jenis-jenis lensa yang digunakan. Manual banget. Saya bingung saat itu. Tapi, saya tidak ingin menyerah dan harus tahu banyak soal kamera.

Perlahan-lahan hingga sampai menginjak kuliah di Unila dengan mengambil ilmu komunikasi. Di mata kuliah Fotografi, saya semakin paham dengan proses cara kerja kamera hingga sampai percetakan. Memang untuk zaman secanggih digital saat ini, bisa dibilang kamera dengan menggunakan film terkesan semakin ditinggalkan, karena kurang praktis. Tapi, buat saya tidak sepakat dengan pendapat itu. Saya masih menyenangi menggunakan kamera SLR dengan film. Yah, karena adanya kamera film. Kalau punya SLR digital malah lebih bagus, cuma sayangnya tidak punya. Hehe...

Apalagi dengan banyaknya perkumpulan fotografer di Indonesia macam Indonesian Photographer Organization (IPO), saya sangat kagum dengan karya foto-foto mereka. Ingin sekali bisa bergabung dengan mereka, hunting foto bersama sampai diskusi tentang foto. Tapi, buat saat ini belum punya kesempatan bergabung di sana. Lagi pula, satu hal yang bikin minder adalah kamera SLR masih sederhana. Sedangkan, mereka pasti tidak hanya mempunyai sebuah kamera SLR digital, tapi lengkap berbagai jenis lensa yang harganya sampai ratusan juta. Buat saya gigit jari saja mendengarnya. Suatu saat nanti, saya keliling dunia mengabadikan gambar dari kamera, kemudian menuliskan narasi dari perjalanan itu, lalu dibukukan dan dinikmati banyak orang, gumam saya. Semoga saja.

Tuesday, July 18, 2006

Kisah Seorang Gadis Di Penjara

Saya terpana membuka lembar demi lembar dan mendapati sebuah kisah seorang gadis menjadi tersangka pembunuhan berencana. Judul dari sebuah majalah berita mingguan itu "Bersama Sinchan di Dalam Tahanan."

Nama gadis itu Lydia Pratiwi. Termuat dua halaman laporan berita yang ditulis reporter dari majalah itu dan ada sebuah foto tergambar jelas raut wajah gadis yang terancam dihukum mati itu. Gadis itu berparas cantik menurut saya. Ia ternyata pernah bermain sejumlah sinetron dan bintang iklan. Wajar saja production house tentu mau mengontrak gadis kelahiran 14 Januari 1987 ini melakoni sinetron yang kebanyakan tentang ABG atau Anak Baru Gede.

Sayangnya, di usianya masih muda, ia harus mengisi ruang tahanan yang di dalamnya ada sepuluh tahanan wanita lainnya. Hanya ditemani komik Sinchan sebagai pelepas suntuk, tulis majalah itu. Saya merasa kasihan setelah membaca kisahnya. Bagaimana mungkin anak usia sekolah seperti dia merencanakan pembunuhan? Rasa kasihan saya kedua, ia harus menanggung malu di hadapan publik karena tidak hanya majalah yang saya baca saat itu, jelas terlihat wajah aslinya, tanpa disamarkan atau ditutup. Ada apa ini? Terkadang media semena-mena memperlihatkan wajah seorang tersangka yang belum tentu dijatuhi hukuman dari pengadilan atas perbuatannya. Terkadang pula media menyamarkan wajah para penjahat di layar televisi. Apa maksud dari para media televisi dan cetak, gelisah saya.

Lebih detailnya, silahkan baca majalah itu. Wah..maaf ngga disebutkan. Beruntung donk nanti kalo saya sebutkan majalah itu. Hehe...

Pantai Mutun di Sore Hari

Pantai Mutun sore itu sepi. Suara deru ombak yang menghempas ke bibir pantai itu agak melemah. Biasanya menjelang terbenam matahari, air laut pasang dan ombak terasa kuat. Saya berangkat ke sana naik motor bersama tujuh teman saya. Ada Aji, Yudi, Dwi “Si kuda liar”, saya, Heni, Rieke, dan May. Mereka begitu pula saya masing-masing berboncengan naik motor.

Saya ke pantai yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari Bandarlampung itu, untuk yang kedua kali dalam waktu dua bulan terakhir. Yang pertama, di awal Juni kemarin dan kedua sere itu, Rabu (5/7) lalu. Pemandangan di pantai itu sungguh menyejukan buat saya. Dari kejauhan ada pulau-pulau kecil. Indah sekali. Pantai itu adalah pantai yang terdekat dari kota. Hampir sepanjang bibir pantai itu berdiri pondokan. Tempat berteduh yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Tapi, di atas masing-masing pondokan itu bertuliskan Rp 15 ribu. Maksudnya disewakan untuk umum.

Kebetulan ketika kami tiba di pantai itu, tak ada tukang keliling yang mengawasi pondokannya. Biasanya orang itu keliling dan menemui orang yang kebetulan singgah di pondok kemudian minta bayaran. Beruntung kami tidak perlu bayar. Orang yang keliling itu tidak ada. Mungkin pikir saya sore itu sepi.

Di pantai itu, kami sempat berfoto bersama. Yah, gayanya pun ngawur tidak menentu. Ketika ditunjuk siapa yang ingin memfoto, tidak seorang pun menginginkan. Nah, saya punya ide. Kamera digital itu saya letakkan di sebuah batu di pinggir pantai, kemudian di-set timer. Maka, jadilah kita semua di pantai yang menawan itu berfoto ria.

Awalnya, saya tidak menyangka kita berniat bersama jalan-jalan ke pantai Mutun. Kebetulan Heni, teman kami yang berkelahiran Serang Banten ini akan segera kembali ke rumahnya. Cewek yang senang dipanggil Q-Noyz ini seangkatan kuliah dengan saya dan telah lulus bulan Maret 2006 lalu. Ia sekarang punya gelas Sarjana Pendidikan dari program studi matematika. Katanya kepada saya, ia akan melanjutkan S2 di UPI Bandung. Sepertinya itu keinginan dari orangtuanya, ketika ia bercerita kepada saya beberapa waktu yang lalu.

Sebetulnya, Q-Noyz bukanlah asli Serang Banten. Bahasa Jaseng (Jawa Serang,red) saja, ia tidak cakap. Ia asli sunda. Tubuhnya kecil, tapi lincah dan sangat cerewet. Terkadang ia pun suka bercanda. Agak terlihat kekanak-kanakan. Kalau sesekali ia berbicara dengan bahasa Sunda, saya hanya bisa terbengong saja. Tidak mengerti sama sekali. Tapi, suatu saat saya bisa berbahasa Sunda, gumam saya.

Suatu ketika saya hanya berpikir, Q-Noyz yang masih berumur 22 tahun itu amat cepat sekali melanjutkan ke S2. Tentu saja usia segitu masih tergolong muda sekaliber angkatan S2 yang kebanyakan telah bekerja dan tentu saja usia di atas kepala 3 atau 4. Saya pun punya keinginan yang sama ingin melanjutkan S2 ketika setelah lulus nanti. Bila perlu ke luar negeri dengan beasiswa. Itu keinginan dalam waktu dekat buat saya melanjutkan kuliah yang masih terkait dengan komunikasi dan media massa. Semoga saja harapan saya itu terkabul. Amin.

Tuesday, July 11, 2006

Wartawan Idealis...Bisakah Sejahtera?

Casing komputer itu ada di samping monitor. Warnanya ungu. Tapi, hanya tampak dari depannya saja. Bentuknya seperti kotak besi dominan warna putih itu sedikit usang, berdiri kokoh membungkus mainboard, harddisk, serta alat-alat elektronik lainn di dalamnya. Meskipun usianya telah genap empat tahun digunakan, tapi masih enak digunakan. Sama usianya dengan saya selama di Teknokra.

Di sisi kiri casing itu sengaja dibuka. Agar udara bisa mendinginkan prosesor AMD yang rentan panas. Sejak 10 menit saya di depan komputer buat nulis, tapi bingung apa yang ingin ditulis. Sepertinya, otak dalam kepala saya ini penuh ide, tapi sayangnya tidak satu pun ketika pagi itu bisa menemukan ide yang bisa buat ditulis.

“Tuit…tuit…tuit….!!” Tiba-tiba suara HP Saya berbunyi di dekat tangan kanan saya pegang mouse optic. Di layar tertulis Bang Yamin. Wah, tumben sekali dia menelpon saya. Tidak lama kemudian, saya jawab panggilan itu.

“Assalamualaikum. Yah Bang, apa kabarnya nih?” kata saya.

“Waalalaikumsalam Bos. Aku baek,” kata Yamin dengan suara khasnya yang gede.

“Bisa maen ke rumah gak Bos? Gw lagi di rumah neh,”

“Ok bisa Bang. Kapan? Pagi ini ntar gw langsung ke sana,” ujar saya.


Bang Yamin, biasa saya panggil demikian. Dia kakak senior saya ketika masih di Teknokra. Lengkapnya, M Yamin Panca Setia. Dia pernah menjabat Pemimpin Redaksi pada periode 2002-2003 lalu. Ketika itu, saya masih magang. Berbadan tinggi, sekitar 180 cm, sedangkan saya hanya 173 cm. Terkadang yang buat saya ikut tertawa karena ia tertawa dengan suara yang menggelegar. Ia asli sumatera.

Dia punya semangat tinggi menjadi wartawan yang idealis. Jangan ditanya soal loyalitasnya, saya nilai dia paling produktif melakukan liputan ketika di Teknokra. Bahkan, setelah selesai dari Teknokra dan lulus kuliah pun, ia punya obsesi menjadi wartawan majalah ternama untuk koresponden Lampung. Tidak lama. Hanya satu tahun saja. Ia pernah mengeluhkan tentang gaji yang diterimanya tidaks sesuai dengan kerja selama reportase. Ia ingin ke Jakarta. Menjadi wartawan di sana. Ternyata, tercapai impiannya bekerja sebagai wartawan di sebuah harian bisnis dan ekonomi terbesar di Indonesia. Meskipun belum berstatus tetap, masih magang, ia menikmati petualangan menjadi wartawan di kota besar Jakarta. Ia pun puas dengan gaji yang diterima dari media itu.

Ketika saya menyanggupi akan ke rumahnya, bergegas saya langsung ke rumahnya. Linda, temen di Teknokra, kebetulan sedang asik nonton TV tiba-tiba bertanya pada saya.

“Mo ke mana Kak Eriek?”

“Ke kostan. Bunda mo ikut juga neh?” saya tanya balik

Linda akrab saya panggil bunda. Begitu pula temen-temen di Teknokra Mungkin kependekan dari Ibu Linda. Orangnya baik, tapi sedikit gendut dan berjilbab seperti aktivis akhwat kebanyakan di kampus. Sering kali temen-temen bergurau dengannya. Kadang saya pun memanggilnya ‘Linda Ndut,’ tentunya sambil bercanda. Tapi, ia bukanlah tipe orang yang pemarah, justru senang bercanda. Saya antar ia ke kostannya naik motor saya. Kebetulan kostannya dekat kostan saya.

***

Rumah Bang Yamin di Teluk Betung. Dari kampus saya ke rumahnya kira-kira berjarak 15 km. Cukup jauh. Dengan mengendarai motor Legenda, saya masuk gang sempit menuju rumahnya. Saya sering ke rumahnya ketika ia kebetulan ingin libur sesaat. Biasalah kerja wartawan kadang buat stres. Makanya, ketika pagi itu (Selasa, 11/7), ia menghubungi saya dan katanya ingin cerita banyak dengan saya. Ia butuh refreshing.

Seperti biasa, ia suka sekali main dan silahturahmi ke rumah tetangganya ketika kebetulan ada di sana. Ia hampir kenal dengan tetangga dekatnya. Bahkan, ia tidak sungkan cerita pengalamannya di Jakarta. Mungkin maksudnya ingin memberitahukan kerjanya sebagai wartawan di sana sangat memberinya tantangan besar.

Ketika sampai di rumahnya, Bang Yamin bilang kepada saya kalau ia sedang mogok kerja. Ada masalah di media tempat dia kerja. Dugaan saya pasti masalah statusnya yang telah satu tahun masih magang belum diangkat menjadi wartawan tetap di sana. “Gw punya harga diri,”katanya kepada saya di ruang tamu rumahnya. Kemudian ia ambil sebatang rokok Mild dan dihidupkan api. Asap menerawang membentuk angka '0.' Sedangkan saya tidak merokok. Karena paling benci dengan asap rokok dan tentu saja tidak buat sehat.

“Masa’ hasil kerja gw selama setahun ditentukan hanya karena tes psikologi,” kata Bang Yamin kesal.

“Bodo amat sama psikotes! Kerja udah produktif, tapi hasilnya kayak gini.”

Ceritanya, ia memang diharuskan mengikuti psikotes oleh media tempatnya bekerja. Ketika ia mengikuti tes tersebut, hasilnya ia tidak lulus. Ia kecewa berat dengan keputusan dari SDM atas dirinya. Makanya, Ia memutus pulang ke rumah. “Gw punya prinsip untuk ini,” katanya. Matanya sambil menerawang memandang langit-langit sambil sesekali menghisap roroknya.

Saya banyak belajar dari Bang Yamin. Ia banyak cerita masalah redaksi sampai pengalamannya ketika liputan di Jakarta. Saya pribadi kaget atas keputusan SDM dari media surat kabar itu tidak meluluskannya. Padahal, ia sudah kerja keras untuk media itu. “Gw mati untuk media itu pun, gw siap!” tekadnya. Tapi, sekali lagi ia sangat kecewa setelah keputusan itu. Katanya, redaktur di sana sering menenangkan ia, agar mau kembali liputan. Tapi, Bang Yamin ingin menenagkan dirinya. “Kalo pun gw ngga lagi di sana, juga ngga apa-apa. Setidaknya gw punya cukup pengalaman selama di media itu,” katanya kepada saya.

Ternyata dia tidak sendiri yang mengalami nasib seperti itu. Kak Tur, begitu saya akrab memanggilnya, punya nasib yang sama. Kak Tur alumni Teknokra juga. Pernah menjabat Pemimpin Redaksi Teknokra periode 2003-2004 lalu. Jadi, Bang Yamin dan Kak Tur bekerja di media yang sama, dan bernasib yang sama saat ini.

Akhirnya, kami berdua mencela media-media besar di Jakarta. Saya sepakat dengan Bang Yamin, katanya perusahaan media kurang peduli dengan nasib para wartawannya. Tapi, sebelumnya Bang Yamin dan Kak Tur termasuk beruntung bisa bekerja di media itu. Gajinya lumayan lebih dari cukup. Saya tanya, apakah hanya media itu yang memberi gaji cukup lumayan buat para wartawannya di media itu? Yah salah satunya. Tapi, masih banyak nasib wartawan yang bergaji kecil di Jakarta. “Mana perjuangan AJI membela hak-hak wartawan yang bergaji kecil?” ujar Bang Yamin.

Saya teringat, ketika membaca posting di milis jurnalisme yang membahas soal gaji wartawan menarik buat saya ikuti. AJI dalam posting itu yang dikutip dari sebuah media online, katanya akan memperjuangkan kenaikkan gaji wartawan menjadi sebesar Rp 3,1 Juta. Luar biasa saya pikir. Tapi, mana buktinya. Kasihan benar nasib para wartawan karena sepertinya kurang diperhatikan soal kesejahteraannya. Bahkan, tidak heran sejumlah wartawan menyukai ‘amplop’ dari narasumber yang diwawancarainya. Seharusnya, seorang wartawan wajib menolak pemberian amplop itu. Ini mempengaruhi si wartawan menjadi tidak objektif dalam menulis tentang si narasumber.

Sebentar lagi, saya akan menghadapi pergulatan di mana idealis dan kepentingan pribadi, keuntungan pribadi. Semoga saya siap dan sanggup menghadapi semua ini.