SAAT mendengar sebutan Jakarta, mungkin terbayang sebuah ibukota Indonesia yang memiliki segudang aktivitas rutinitas manusia yang luar biasa banyak jumlahnya. Bahkan, seolah kota berpenduduk lebih dari 7 juta jiwa ini, aktivitasnya tidak pernah mengenal lelah sekalipun hingga larut malam. (Foto: Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan)
Entah dari mana kebanyakan orang tetap rela berjuang dengan ‘mati-matian’ agar bisa mencapai kota Jakarta dan bekerja di sana. Intinya mencari sesuap nasi dan memperbaiki kualitas hidup agar lebih sejahtera. Berbagai cara yang ditempuh untuk dapat bekerja pun bermacam-macam. Ada yang sebalumnya mempunyai bekal keahlian, ada pula hanya bermodal nekat saja tanpa mempunyai kemampuan yang cukup.
Siapa pun bisa ke Jakarta. Untuk sekedar mencoba peruntungan nasib atau sekedar mencari pengalaman merasakan ‘kerasnya’ hidup di Jakarta. Ada dua pilihan yang akan didapat, berhasil atau kurang beruntung.Itu saja. Jika ia bernasib baik, mungkin akan tetap bertahan dan terus berusaha untuk lebih baik lagi.
Kamis kemarin (17/1), Saya mencoba ke Jakarta untuk kerja praktek di sebuah media massa. ‘Aura’ Jakarta begitu memikat saya sehingga ingin sekali mencoba ke sana. Yah, meskipun hanya sekedar kerja praktek untuk melengkapi mata kuliah yang kurang. Siapa tahu setelah lulus atau wisuda, langsung mendapat tawaran bekerja di Jakarta. Sebuah rezeki bukan?
Saya berangkat dari kostan sekitar pukul 09.37 WIB. Tak ada persiapan khusus saat mau berangkat ke Jakarta menggunakan motor Legenda hitam saya. Baju-baju kemeja buat persiapan di sana pun, baru saya strika pagi hari. Saya bawa dua tas ransel. Yang satu isinya pakaian-pakaian buat persiapan di sana. Yang satunya lagi, untuk bawaan perlengkapan-perlengkapan saat kerja praktek nanti.
Selama perjalanan dari kostan menuju pelabuhan penyeberangan Bakauheni, Lampung Selatan, kira-kira saya menghabiskan waktu selama dua jam perjalanan. Kecepatan motor biasanya saya kendarai rata-rata 70-an Km per jamnya. Selama perjalanan, terkadang hujan gerimis lalu kembali cerah lagi sampai di pelabuhan penyeberangan Bakauheni.
Memasuki Pelabuhan Bakauheni, sebelum naik ke kapal Ferry (sebutan semua kapal penyeberangan Bakauheni-Merak), kendaraan bermotor dan penumpang harus membayar biaya penyeberangan. Saya yang mengendarai sepeda motor dikenakan sebesar Rp23 ribu rupiah untuk satu kali perjalanan penyeberangan. Sedangkan untuk penumpang biasa per orang Rp7 ribu rupiah. Saya lupa berapa biaya penyeberangan untuk mobil. Karena tidak menggunakan mobil, jadi ya malas mau melihat-lihat tarif biaya penyeberangannya. Hehe..
Saya pikir setelah membeli tiket di loket tiket kendaraan, kemudian segera masuk ke dalam kapal Ferry. Sayangnya, dugaan saya salah. Kapal Ferry dari Pelabuhan Merak baru saja akan merapat di darmaga Bakauheni. Satu per satu mobil yang baru datang pun mengantri di belakang. Menunggu kapal segera bersandar. Cukup lama sehingga terkadang membosankan buat saya hanya melihat kapal itu pelan-pelan mendekat. Kira-kira ada satu jam hanya menunggu kapal itu.
Di belakang, ada beberapa kendaraan bermotor sudah mengantri ingin secepatnya masuk ke dalam kapal. Seperti kebanyakan truk angkutan barang juga telah rapi berjejer mengarah ke kapal Ferry.
Akhirnya, kepal berhasil bersandar. Seorang petugas di atas kapal melempar tali ke arah darmaga, lalu ditambatkan ke pengaitnya oleh petugas jaga di bawah. Satu per satu kendaraan bermotor keluar dari kapal itu. Ada bus, truk, mobil pribadi, dan sepeda motor. Terlihat nomor kendaraan dari berbagai daerah. Saya pun segera masuk kapal bersama dengan puluhan sepeda motor lainnya. Beriringan masuk dan naik ke tingkat atas kapal. Yang di bawah hanya untuk bus dan truk. Sedangkan yang di atas untuk seluruh kendaraan pribadi.
Di atas kapal Ferry, dimulailah perjalanan menuju pelabuhan Merak kurang lebih dua jam. Saya merapatkan sepeda motor saya dekat dengan pegangan di tepi kapal itu. Selain sepeda motor saya, ada tiga sepeda motor diparkir di sana. Sambil memandangi pelabuhan di saat kapal mulai berlayar, saya mengambil beberapa momen foto dari saku kamera digital yang saya bawa. Ada beberapa anak remaja melompat dari atas kapal kemudian menceburkan diri ke dalam laut. Sempat kaget juga tiba-tiba ada beberapa anak itu melompat tanpa rasa takut.
Sejak awal kapal mulai berangkat, saya menikmati setiap pemandangan di laut dan darmaga yang ditinggalkan. Ada kapal Ferry dan kapal penumpang capat (ukurannya lebih kecil daripada kapal Ferry dan hanya dapat mengangkut penumpang saja, red) masih bersandar.
Dari arah jauh saat kapal mulai meninggalkan darmaga, terlihat gedung Siger berdiri mega di atas bukit. Entahlah, apa isi dari gedung itu. Sekalipun saya belum pernah masuk ke sana. (Foto: Kapal Ferry yang terbakar beberapa waktu yang lalu. Berlabuh di Darmaga Merak, Banten)
Lama-lama di atas kapal terasa bosan juga melihat laut yang itu-itu juga. Berombak, luas dan saya tak melihat ikan satu pun dari atas kapal. Ada juga sampah-sampah plastik yang mengapung di atas permukaan laut sepanjang perjalanan kapal ke Pelabuhan Merak, Banten.
Di atas kapal pula, saya baru menyadari belum makan siang. Saya pikir kalau membeli nasi buat makan siang, pasti mahal. Akhirnya, saya hanya membeli sekaleng minuman dingin ‘Pocari Sweat’. Segar sekali setelah seteguk demi seteguk saya meminumnya. Tapi, alangkah kagetnya setelah saya mendengar kata penjual harganya Rp12 ribu. Ya sudahlah, tak apa-apa pikir saya. Kaleng sudah saya buka dan telah diminum juga. Lain kali untuk persiapan makan atau minum, tidak lagi membelinya di atas kapal. Mahal sekali bok!
***
Saya baru sempat makan siang setelah tiba di Kota Serang. Kira-kira pukul 16 sore. Saya beristirahat sekaligus salat Ashar dan dijamak dengan Dzuhur di Masjid Agung kota Serang, Banten. Di depan masjid ini, ada sebuah rumah tempat tinggal Kak Ferry, alumni Teknokra yang pernah menjadi Pemimpin Umum periode 2003-2004. Sekarang ia telah bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Sereng, Banten. Tapi, Kak Ferry tidak lagi tinggal di sana.
Setelah makan di dekat masjid itu, saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Mungkin nanti sampai di Jakarta sudah malam, pikir saya. Tak apalah. Langit terkadang mendung. Tanda bakal hujan. Sore menjelang malam, hujan mulai mengguyur saat saya masuk kota Tangerang. Saya teruskan perjalanan sekalipun hujan gerimis. Tapi, lama-lama hujan menjadi deras sampai saya tiba di Jakarta Barat. Yah, celana sampai sepatu saya harus rela karena basah oleh guyuran hujan.
Sampai saya tiba di Universitas Trisakti di daerah Grogol sekitar pukul 8 malam. Di sana saya berhenti sejenak untuk melepas lelah. Baju yang saya kenakan basah, karena sepanjang perjalanan tidak berhenti. Terkadang terkena siram air di jalan dari mobil yang mendahului. Byuuurr…!!
Handphone di kantong celana saya tiba-tiba error. Ah, satu-satunya alat komunikasi ini bisa rusak saat dibutuhkan. Di layar LCD-nya tertulis,”Insert Card.” Berkali-kali saya matikan, lalu dihidupkan dan begitu pun seteruskan, selalu saja muncul pesan itu. Tangan saya lembab. Baju kaos yang saya pakai untuk mengeringkan HP tidak cukup berguna. Kan selama perjalanan basah oleh siraman hujan.
Akhirnya HP itu saya coba buka baterai dari dalam cassing-nya, kemudian SIM Card saya cabut dan dikeringkan dengan handuk di tas saya. Syukurlah, ternyata hanya terkena air saja dan HP segera men-detect sinyal. Tapi, tiba-tiba HP saya setelah itu tidak bisa menekan semua tombol-tombolnya. Waduuuhh…saya tiba-tiba panik. Saya pikir tidak ada gunanya menekan semua tombolnya. Sekalipun ada beberapa sms masuk ke HP saya itu. Tak bekerja sama sekali. Dimatikan, lalu dihidupkan kembali pun sama saja tidak mau kembali normal seperti biasa.
Tidak jauh dari pintu gerbang masuk Univ Trisakti itu, saya coba menemui seseorang di sebuah ruangan kantor BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) kampus itu. Sepertinya mereka adalah mahasiswa. Ada tiga orang di dalam. Saya minta tolong di antara mereka bertiga meminjamkan saya HP-nya untuk menghubungi teman saya yang ada di Jakarta.
Cukup menenangkan dan lega setelah menghubungi teman saya itu. Tapi, saya masih belum dapat menggunakan HP saya untuk sms ataupun menghubungi teman saya yang lainnya. Yah sudah, saya kemudian memutuskan melanjutkan perjalanan sampai saya menemukan wartel.
Terkadang HP saya itu dipukul beberapa kali ke tangan saya. Namun, tak juga berfungsi kembali seperti semula. Semua tombol seolah tidak berfungsi sama sekali. Beberapa sms yang telah masuk tidak bisa saya baca. Bahkan, ketika saya dihubungi teman saya tidak dapat menjawab. Aduh, saya hanya bisa berdo’a dan pasrah saja. Tak lama dari itu, akhirnya saya bisa memfungsikan beberapa tombol HP saya. Langsung saja saya menghubungi teman saya. Kata teman saya ini, kita bertemu di depan gedung Jakarta Design Center. Kalau tidak salah itu daerah Slipi yang lebih dekat menuju Kebayoran Lama, tempat kostan teman saya ini.
Syukur alhamdulillah, saya ketemu dengan teman saya ini di depan gedung itu. Saya bakal ‘ngegembel’ malam itu jika tidak bisa ketemu dengan teman saya. Lega sekali bisa beristirahat dan mengeringkan badan setelah selama perjalanan diguyur hujan. Welcome to Jakarta! []
No comments:
Post a Comment