SEJAK saya berada di Jakarta kurang dari dua bulan lamanya, cukup banyak pengalaman yang saya dapatkan. Bukan saja sekedar pengalaman dan tantangan baru, saya bertemu banyak orang baru. Lalu, berkenalan dengan mereka dan saling tukar kartu nama. Tapi, sayangnya saya belum punya kartu nama yang terbaru. Yah, cukup saling tukar nomor HP atau e-mail saja.
Yang lebih bahagia dari itu semua adalah saya bisa bertemu dengan kakak saya ketika ia akan mengikuti pertemuan di sebuah perusahaannya yang berpusat di Jakarta. Namanya Evans. Saya lebih suka memanggilnya Eq. Hampir tidak pernah saya memanggilnya dengan mas (sapaan orang Jawa, red) atau kak. Sudah terbiasa sejak dari kecil memanggilnya tanpa sapaan kakak atau mas. (Foto: suasana senja di lantai atas Blok M Plaza)
Sebuah kebetulan sekali di awal Februari kemarin. Ia datang dari Papua. Perusahaannya menempatkan ia di sana hampir dua tahun lamanya. Sejak hampir satu tahun ini, saya tidak bertemu dengannya. Eq bilang, setelah selesai pertemuan di kantor, ia akan ke Palembang dan menemui ibu dan ayah kami di sana. Sayangnya, saya tidak bisa ikut dengannya ke Palembang.
Eq punya jiwa perantau. Sampai ke pelosok daerah mana pun di Indonesia, ia siap. Ia tidak mundur ketika diminta perusahaannya untuk pindah. Sebelum ditempatkan di Papua, ia ditempatkan di daerah Tulang Bawang, Lampung. Perusahaannya bergerak di bidang industri pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng. Dari ujung sumatera sampai Papua, perusahaannya ini mengelola kelapa sawit yang berpotensi. Tapi, kakak saya bukan di pengelolaan sawitnya. Ia di bidang sipil. Karena ia dulu jebolan sarjana teknik sipil di sebuah universitas di Palembang.
Kebetulan kedua, kemarin sore saya janjian bertemu dengan sepupu saya di Blok M Plaza. Sebelumnya, ayah saya yang mengabari saya kalau sepupu saya sedang berada di Jakarta Namanya Taufik. Beda dengan kakak saya, Eq. Saya akrab memanggil sepupu saya ini dengan Mas Taufik. Entahlah, karena keluarganya di Mojokerto, Jatim lebih sering memanggil sapaan ‘mas’.
Mas Taufik hampir lebih dari lima tahun bekerja di kapal. Di bawah bendera sebuah perusahaan anak mantan presiden Suharto. Ia bukan sebagai nahkoda, tapi bertugas marconi, semacam radio control di kapalnya yang mengangkut minyak BBM.
Senang sekali bisa bertemu lagi dengan sepupu saya ini. Terakhir saya bertemu dengannya ketika saat syukuran nikahannya di Mojokerto, Jatim pada bulan September 2006 lalu. Kami bertiga: Saya, Ibu dan Ayah saya saja dari Palembang yang datang ke acara syukurannya. Sedangkan kakak perempuan saya tidak bisa ikut karena masih sibuk dengan pekerjaannya ketika itu.
Sambil menikmati makan malam di sebuah gerai makan, saya ngobrol banyak dengan Mas Taufik. Katanya, ia sedang diklat di daerah Priok untuk persiapan pindah ke kapal yang akan mengangkut gas (LNG).
Yang lebih bahagia dari itu semua adalah saya bisa bertemu dengan kakak saya ketika ia akan mengikuti pertemuan di sebuah perusahaannya yang berpusat di Jakarta. Namanya Evans. Saya lebih suka memanggilnya Eq. Hampir tidak pernah saya memanggilnya dengan mas (sapaan orang Jawa, red) atau kak. Sudah terbiasa sejak dari kecil memanggilnya tanpa sapaan kakak atau mas. (Foto: suasana senja di lantai atas Blok M Plaza)
Sebuah kebetulan sekali di awal Februari kemarin. Ia datang dari Papua. Perusahaannya menempatkan ia di sana hampir dua tahun lamanya. Sejak hampir satu tahun ini, saya tidak bertemu dengannya. Eq bilang, setelah selesai pertemuan di kantor, ia akan ke Palembang dan menemui ibu dan ayah kami di sana. Sayangnya, saya tidak bisa ikut dengannya ke Palembang.
Eq punya jiwa perantau. Sampai ke pelosok daerah mana pun di Indonesia, ia siap. Ia tidak mundur ketika diminta perusahaannya untuk pindah. Sebelum ditempatkan di Papua, ia ditempatkan di daerah Tulang Bawang, Lampung. Perusahaannya bergerak di bidang industri pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng. Dari ujung sumatera sampai Papua, perusahaannya ini mengelola kelapa sawit yang berpotensi. Tapi, kakak saya bukan di pengelolaan sawitnya. Ia di bidang sipil. Karena ia dulu jebolan sarjana teknik sipil di sebuah universitas di Palembang.
Kebetulan kedua, kemarin sore saya janjian bertemu dengan sepupu saya di Blok M Plaza. Sebelumnya, ayah saya yang mengabari saya kalau sepupu saya sedang berada di Jakarta Namanya Taufik. Beda dengan kakak saya, Eq. Saya akrab memanggil sepupu saya ini dengan Mas Taufik. Entahlah, karena keluarganya di Mojokerto, Jatim lebih sering memanggil sapaan ‘mas’.
Mas Taufik hampir lebih dari lima tahun bekerja di kapal. Di bawah bendera sebuah perusahaan anak mantan presiden Suharto. Ia bukan sebagai nahkoda, tapi bertugas marconi, semacam radio control di kapalnya yang mengangkut minyak BBM.
Senang sekali bisa bertemu lagi dengan sepupu saya ini. Terakhir saya bertemu dengannya ketika saat syukuran nikahannya di Mojokerto, Jatim pada bulan September 2006 lalu. Kami bertiga: Saya, Ibu dan Ayah saya saja dari Palembang yang datang ke acara syukurannya. Sedangkan kakak perempuan saya tidak bisa ikut karena masih sibuk dengan pekerjaannya ketika itu.
Sambil menikmati makan malam di sebuah gerai makan, saya ngobrol banyak dengan Mas Taufik. Katanya, ia sedang diklat di daerah Priok untuk persiapan pindah ke kapal yang akan mengangkut gas (LNG).
Alangkah bahagianya bisa betemu dengan keluarga sendiri. Sekali pun sekedar ngobrol dan menanyakan kabar keluarga di rumah. Tapi, saya melihat dari sorot matanya agak sedih. “Mas ini sebenarnya sedih kalau melaut (berada di laut, red), Rik. Tapi, gimana caranya bisa terlihat senang di depan orang tua,” katanya kapada saya. Saya jadi mengerti dengan kesedihannya berlayar setelah tahu dari ceritanya. Kini, ia bertambah cobaannya. Ia harus meninggalkan istrinya di rumah. Yah, demi mencari nafkah untuk keluarga barunya itu. []
1 comment:
senengnya yang ngumpul sesodaraan...
Post a Comment