Ada sejumlah pekerja kantor yang biasa memindahkan pekerjaannya ke rumah. 5-6 hari per pekan bekerja +/- 8 jam per hari di kantor, ternyata tidak cukup diselesaikan di kantor. Boleh jadi pekerjaan kantor dari hari ke hari semakin bertambah. Tapi, apakah baik membawa pekerjaan kantor ke rumah?
Sementara di rumah bersibuk-sibuk dengan pekerjaan kantornya dan lupa ada suami/istri dan anak-anaknya yang menanti kebahagiaan berkumpul bersama-sama. Tuntutan pekerjaan kantor ternyata kian mengikis hak pekerja. Seolah-olah hidup 24 jam setiap harinya hanya untuk mengurusi pekerjaan kantornya!?
Sudah seharusnya pekerjaan kantor cukup dikerjakan di kantor. Bila memang tiba waktunya jam pulang kantor, sementara pekerjaan kantornya masih ada dan banyak, alangkah lebih baik ditunda dan dilanjutkan esok hari. Jadi pulang ke rumah tidak membebani lagi dengan segala pekerjaan kantor. Waktunya di rumah ya waktunya bersama keluarga, karena inilah seharusnya menjadi hak bagi pekerja.
Tapi tampaknya tidak semua bisa melakukan hal tadi. Tuntutan pekerjaan dari atasan menjadikan anak buahnya/pekerja bagai robot yang tak kenal lelah. Belum selesai satu pekerjaan, datang pekerjaan baru. Terus demikian seterusnya.
Seharusnya pimpinan/atasan menyadari bahwa anak buahnya adalah sama seperti dirinya. Sadar bahwa pekerjaan yang mewajibkan dibawa ke rumah terus-menerus membebani anak buahnya, justru tidaklah baik. Tuntutan yang banyak tersebut, bukan tidak mungkin membuat anak buahnya mengundurkan diri. Tentu bukan pilihan yang tepat di saat dunia pekerjaan tidak banyak terbuka banyak.
Bekerja di rumah
Lain lagi ada orang yang menyukai bekerja di rumah saja. Jadi bisa setiap hari ketemu istri/suami dan anak-anaknya. Sehingga prioritas keluarga selalu menjadi yang utama. Banyak orang yang menginginkan bekerja di rumah saja, tapi tidak semua profesi hanya bisa dilakukan di rumah. Jadi tergantung pilihan profesi yang sesuai, tepat dan memang bisa dilakukan di rumah.
Sunday, July 10, 2011
Sunday, July 03, 2011
Pilih Kaya atau Miskin?
Pasti jawabannya ingin kaya. Tapi, pernahkah berpikir bagaimana agar menjadi kaya? Tidak ada orang tiba-tiba langsung kaya (mendadak). Kalau ada, saya ingin tahu siapa orang kaya yang mendadak itu?
Membaca sejumlah kisah orang-orang kaya yang ditulis berbagai media, terdapat banyak kesamaan di sana. Di antaranya adalah mereka berjuang menjadi kaya dimulai dari hal yang kecil.
Biasanya mereka (orang-orang kaya,red) adalah para pengusaha. Bukan dari kalangan pejabat pemerintahan (eksekutif, legislatif atau yudikatif). Usaha mereka beragam. Banyak sekali yang menarik dipelajari dan diambil hikmahnya.
Saya sering membaca kisah-kisah mereka yang sukses. Tapi, tidak hanya sukses yang diceritakan. Ada pula kisah keprihatinan karena bangkrut sampai usahanya gagal berkali-kali. Bagi saya menarik sebagai bahan pembelajaran untuk saya ke depannya, jika saya terjun seperti mereka.
Berani!?
Sekarang tantangannya adalah apakah berani memilih jalan seperti mereka mulai sekarang? Jujur saya belum berani. Secara mental saya belum terlatih seperti mereka yang barangkali sudah lama bergelut di bidangnya masing-masing. Bahkan, mungkin ada di antara mereka mendapat didikan dari orangtuanya sejak kecil untuk belajar mengenal dan mengelola bisnis. Saya salut kepada mereka.
Tapi tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha. Di dalam bisnis tidak mengenal usia. Muda maupun tua sama-sama bersaing sehat 'merebut' pasar. Tinggal bagaimana teknik dan strateginya. Ada ilmu dan ada pengalaman akan sangat menentukan proses bisnis yang diinginkan.
Selain usaha, perlunya dibarengi dengan do'a. Inilah salah satu yang menguatkan mental dan spiritual bahwa kita tahu yang mengatur rezeki adalah Allah Subhanahu wa ta'ala. Jadi, ikhtiar sudah, hasilnya serahkan kepadaNYA.
Membaca sejumlah kisah orang-orang kaya yang ditulis berbagai media, terdapat banyak kesamaan di sana. Di antaranya adalah mereka berjuang menjadi kaya dimulai dari hal yang kecil.
Biasanya mereka (orang-orang kaya,red) adalah para pengusaha. Bukan dari kalangan pejabat pemerintahan (eksekutif, legislatif atau yudikatif). Usaha mereka beragam. Banyak sekali yang menarik dipelajari dan diambil hikmahnya.
Saya sering membaca kisah-kisah mereka yang sukses. Tapi, tidak hanya sukses yang diceritakan. Ada pula kisah keprihatinan karena bangkrut sampai usahanya gagal berkali-kali. Bagi saya menarik sebagai bahan pembelajaran untuk saya ke depannya, jika saya terjun seperti mereka.
Berani!?
Sekarang tantangannya adalah apakah berani memilih jalan seperti mereka mulai sekarang? Jujur saya belum berani. Secara mental saya belum terlatih seperti mereka yang barangkali sudah lama bergelut di bidangnya masing-masing. Bahkan, mungkin ada di antara mereka mendapat didikan dari orangtuanya sejak kecil untuk belajar mengenal dan mengelola bisnis. Saya salut kepada mereka.
Tapi tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha. Di dalam bisnis tidak mengenal usia. Muda maupun tua sama-sama bersaing sehat 'merebut' pasar. Tinggal bagaimana teknik dan strateginya. Ada ilmu dan ada pengalaman akan sangat menentukan proses bisnis yang diinginkan.
Selain usaha, perlunya dibarengi dengan do'a. Inilah salah satu yang menguatkan mental dan spiritual bahwa kita tahu yang mengatur rezeki adalah Allah Subhanahu wa ta'ala. Jadi, ikhtiar sudah, hasilnya serahkan kepadaNYA.
Subscribe to:
Posts (Atom)